Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB I]



PART 1

.



Banyak hal terjadi mengguncang dunia kecilku yang damai. Seketika kehidupanku yang indah direnggut-Nya tanpa ampun. Tanpa memberikanku kesempatan untuk menghindar, takdir yang teramat kejam menerkamku hingga membuatku menjadi pengecut yang takut kehilangan.  Kini, kehilangan cinta telah membelenggu jiwaku hingga mencederai akal sehatku.
Aku,  Irene Gilmore, seorang remaja berusia tujuh belas tahun yang masih cukup labil (menurut Mom dan Dad). Bisa dibilang aku adalah seorang remaja malang yang haus cinta. Tetapi itu untuk sekarang, tidak sebelumnya. Sebelum aku kehilangan dua orang manusia yang paling kucintai. Mereka pergi meninggalkanku seorang diri di dunia yang penuh ketamakan ini. Sebelumnya kehidupanku selalu dikelilingi oleh limpahan kasih sayang dari Mom dan Dad. Terkutuk aku bila kubilang aku haus cinta. Mom dan Dad menurutku begitu menyanyangiku. Mom rutin mengecup pipiku setiap kali dia melihat batang hidungku. Dan Dad, entahlah, kurasa dia terlalu menyayangiku hingga dia tidak mengijinkan seekor nyamuk pun menghisap darahku.
Berlebihan mungkin, tapi begitulah Mom dan Dad.
Kehidupanku begitu sempurna, begitu indah bak kisah puteri raja di negeri dongeng. Hingga tiba suatu malam kelabu di musim gugur yang sungguh tidak ingin kuingat lagi. Peristiwa tragis yang selalu menjadi racun dalam kembang tidurku. Peristiwa kecelakaan antara mobil kami yang dikendarai oleh Dad dengan truk pengangkut semen yang dikendarai oleh supir mabuk.
Adalah sebuah keajaiban ketika aku selamat dari kecelakan maut itu tanpa kehilangan bagian manapun dari tubuhhku. Aku hanya mengalami gegar otak ringan dan patah tulang paha.
Well, fisikku memang baik-baik saja, akan tetapi lebih parah dari itu, separuh jiwaku seakan pergi ke dunia lain bersama dengan Mom dan DadSelama sebulan terakhir ini aku nampak seperti mayat hidup, tak berjiwa, hampa dan tanpa cinta. Aku telah kehilangan cintaku.
Semua kerabatku berusaha untuk menyelamatkan anak yatim piatu yang merangkap mayat hidup ini. Termasuk bibi Corinne, seorang single mother yang telah menjadi sahabat Mom sejak mereka kecil sampai sekarang. Well, setidaknya sampai Mom meninggal. Bibi Corinne adalah orang yang selalu ada untuk menemaniku selama aku dirawat di rumah sakit. Bibi Corinne memberikanku kekuatan untuk menghadiri pemakaman Mom dan Dad. Ketika jasad kedua orang tuaku dikebumikan, bibi Corinne terus menggenggam tanganku yang mati rasa, menolak untuk melepaskannya karena dia tahu aku akan ambruk jika dia melakukannya.
Ketika jiwaku meninggalkan ragaku pada hari-hari pertama pasca kecelakaan, para kerabatku sibuk menyusun rencana untuk menyelamatkanku. Hasilnya bibi Corinne mengajakku untuk tinggal di rumahnya yang terletak di kota Auckland, seratus empat belas kilo meter jauhnya dari kota yang kutinggali saat ini. Ketika mendengarnya, beberapa hari yang lalu, aku tidak memperdebatkan keputusan yang mereka ambil tanpa sepengetahuanku. Aku tidak memiliki alasan-alasan untuk membantah pendapat mereka mengenai apa yang terbaik untukku. Karena saat ini aku tidak tahu apa yang terbaik untukku. Bahkan aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan untuk melanjutkaan kehidupanku.

***

Sepuluh menit sudah aku duduk di lobi rumah sakit, menunggu sesosok wanita paruh baya yang berjanji akan menjemputku pukul dua siang.
Satu bulan sudah berlalu sejak aku dirawat di rumah sakit Waikato di kota Hamilton, kota terbesar ke empat di Selandia Baru yang sudah aku tinggali sejak delapan tahun yang lalu. Padahal seperti yang tadi kukatakan, aku tidak mengalami luka serius apapun. Orang-orang berkata bahwa aku dikelilingi oleh keajaiban. Bersyukur aku tidak kehilangan kakiku. Aku tidak kehilangan ingatanku atau apapun itu. Hanya saja aku kosong. Aku tidak bicara jika tidak ditanya. Bahkan aku tidak bergerak jika terpaksa (tetapi aku masih ingat saat yang tepat bagiku untuk pergi ke toilet). Semuanya khawatir. Mungkin ada beberapa saraf di otakku yang putus yang menyebabkan aku menjadi seperti ini.
Tetapi nihil. Karena secara fisik aku memang baik-baik sajaKurasa saat ini adalah saat yang tepat bagiku untuk keluar dari rumah sakit. Toh, diagnosa dokter tidak bisa menyembuhkan lubang besar yang menganga di hatiku. Satu hal yang kutahu harus kulakukan adalah berhenti membuat kerabatku khawatir. Setidaknya dengan aku meninggalkan rumah sakit ini mereka akan berasumsi bahwa aku sudah sembuh. Wellakan lebih baik seperti itu dari pada aku mendengar mereka berkata,
‘Mungkin dia mulai gila.’
Jam besar yang menempel di dinding lobi rumah sakit di hadapanku telah menunjukan  pukul empat belas lewat lima belas menitAkan tetapi aku belum juga melihat tanda-tanda kehadiran bibi Corinne.
Perlahan, aku merunduk, menatap lengan pucat nan kurus yang terkulai lemah di atas pangkuanku. Dengan agak gemetar, jari-jariku menyentuh arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Benda ini sudah rusak. Walaupun jarum jamnya masih bergerak, kacanya sudah retak, talinya yang terbuat dari kulit sudah robek di sana sini. Memakai benda rusak ini, sejujurnya mengingatkanku pada kengerian malam itu. Aku sempat berpikir untuk membuangnya ketika bibi Corinne memintaku untuk melakukannya. Katanya itu bisa membuatku merasa lebih baik. Namun aku tidak bisa membuang hadiah terakhir yang diberikan oleh Dad untukku. Arloji ini diberikan oleh Dad sebagai hadiah atas suksesnya konser orkestra simfoni di sekolahku dua bulan yang lalu.
Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang berkecambuk di dalam hatiku yang tinggal separuh atau bahkan hanya berupa serpihan kecil yang berantakan.
Bahagia?
Sedih?
Takut?
Atau, entahlah.
Mungkin bahagia karena aku akan meninggalkan rumah sakit ini beserta obat-obatan dan makanan yang hanya memperparah kondisi jiwa ragaku. Mungkin bahagia karena dengan keluar dari tempat ini aku bisa menikmati es krim corn besar dengan topping choco chips di atasnyaAtau kurasa aku patut berbahagia karena aku akan tinggal di kota metropolitan terbesar di negara ini yang jauh lebih ramai dari pada kota kecil yang kutinggali saat ini.
Bukan, mungkin bukan keramaian yang akan membuatku bahagia. Namun apapun itu, yang terpenting mungkin aku akan bahagia karena aku masih diberi kesempatan untuk hidup dan melanjutkan kehidupanku yang sebelumnya tanpa Mom dan Dad di sisiku.
Atau mungkin sebaliknya.
Bagaimana jika aku tidak sanggup menata kembali duniaku yang runtuh? Bagaimana jika kehadiranku di rumah bibi Corinne nanti hanya akan merepotkannya dan anak laki-lakinya yang belum kukenal itu? Atau bagaimana jika Yang Maha Kuasa benar-benar mengambil semua orang yang kucintai hingga aku hanya akan hidup sebatang kara tanpa adanya cinta dan kasih sayang yang tersisa untukku?
Oh, Mom dan Dad.
Mendadak dadaku terasa nyeri di titik tertentu yang tidak kuketahui, membuatku sulit untuk bernafas. Badanku kian lemas. Tulang-tulangku seolah-olah remuk, tidak sanggup lagi menopang bobot tubuhku yang kosong tanpa jiwaOh, Tuhan, aku semakin kesulitan menghirup oksigen di sekelilingku, seakan aku kalah bersaing untuk mendapatkannya.
Aku terlalu sibuk dengan ketakutanku sehingga tidak menyadari ada sosok lain yang sedang memperhatikanku saat ini. Nenek tua berusia senja duduk di sampingku, menatapku melalui matanya yang keruh.
Kau baik-baik saja, nak?” tanya nenek itu, suaranya serak dan dalam, seperti suara orang yang sedang terkena demam.
Aku baik-baik saja,” jawabku lemah.
Nenek itu hanya mengangguk-angguk sebelum mengalihkan perhatiannya ke pintu masuk rumah sakit.
Jarum jam sudah menunjukan pukul empat belas lewat dua puluh lima menit ketika suasana rumah sakit terlihat semakin ramai. Dari luar terdengar suara sirine ambulans yang mengaung-ngaung begitu menakutkan. Seketika para dokter dan perawat sibuk berlarian menuju pintu masuk, menyambut kedatangan pasien yang dibawa oleh ambulans tersebut. Bau darah langsung tercium menusuk hidungku, menyeruak melewati keramaian dan kepanikan. Jika aku boleh menebak, sepertinya ada korban kecelakaan yang baru saja dilarikan ke UGD. Kejadiannya mungkin sama sepertiku dulu, membuatku bergidik ngeri membayangkannya.
Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanya nenek itu lagi.
Aku menatap nenek tua di sampingku yang kulit wajahnya sudah dipenuhi oleh keriput. Usianya mungkin sudah lebih dari tujuh puluh tahun.
Aku menunggu seseorang yang akan menjemputku, jawabku kemudian.
Nenek itu tersenyum memamerkan giginya yang hanya tersisa beberapa biji lagiKau menuggu pangeranmu sang puteri?” tanyanya menggoda.
Aku terkejut mendengarnya. Well, kurasa nenek tua di sampingku ini salah paham. Bibi Corinne yang sedang kutunggu jelas-jelas bukan seorang pangeran gagah berani yang datang untuk menjemput sang puteri yang sekarat seperti yang ada dalam cerita-cerita negeri dongeng yang klise.
Lihat! Kurasa pangeranmu sudah datang!” seru nenek itu menunjuk kearah pintu masuk rumah sakit.
Dengan enggan aku melirik mengikuti telunjuk nenek itu. Entah siapa yang seharusnya aku lihat. Tidak ada bibi Corinne di antara gerombolan orang yang memasuki lobi rumah sakit.
Di antara mereka memang tidak ada bibi Corinne, akan tetapi perhatianku tertuju pada sesosok laki-laki dengan tinggi yang menjulang. Kurasa dia dua puluh lima senti lebih tinggi dariku. Rambutnya berwarna cokelat gelap, agak berantakan seperti orang yang baru bangun tidurDia mengenakan mantel tebal yang kuyakin cukup tebal untuk menenggelamkanku di dalamnya. Aku tidak tahu siapa gerangan dirinya, namun wajahnya terlihat familiar. Aku rasa aku pernah melihatnya di suatu tempat.
Walaupun begitu, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya. Bukan dia orang yang sedang aku nanti. Hanya saja tingkah nenek tua di sampingku ini semakin membuatku ngeri. Dia tertawa cekikikan seperti nenek sihir yang sedang menawan puteri salju.
Oh, sejak kapan aku mengumpamakan diriku sebagai puteri?
Merasa aneh dengan pikiranku sendiri, aku memutuskan untuk mengalihkan perhatianku pada jam besar di dinding lobi yang sampai detik ini jarum jamnya telah menyentuh angka empat belas lewat tiga puluh menit.
Pikiranku kembali melanglang buana. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya, mungkinkah bibi Corinne lupa akan janjinya? Tapi setahuku bibi Corinne belum pikun. Dia masih terlalu muda untuk itu. Tidak mungkin dia melupakan janji yang begitu penting. Well, setidaknya begitu penting untukku. Atau mungkinkah sesuatu telah terjadi padanya?
Oh, tidak. Aku tidak mau memikirkan hal bodoh itu lagi. Tidak untuk yang kesekian kalinya.
Camkan itu Irene!
Bibi Corinne mungkin sedang terjebak macet dalam perjalanannya kemari. Atau mungkin mendadak dia sakit perut atau bisa saja migrennya mendadak kambuh sehingga dia harus berhenti dulu di suatu tempat. Semua kemungkinan tersebut bisa menjawab keterlambatannya bukan?
Kepalaku terasa semakin berat dipenuhi oleh pikiran-pikiran bodoh yang menakutkan. Rasanya berat sekali sehingga nyaris mematahkan leherku. Bak dililit oleh pakaianku sendiri, dadaku kembali terasa sesak.
Mungkinkah paru-paruku bermasalah?
Oh, tidak! Sejak kapan aku menjadi begitu paranoid?
Tanpa kusadari keringat dingin mulai bercucuran membasahi tubuhku. Ujung rambut hingga ujung kakiku gemetar hebat.
Mungkinkah aku kekurangan mantel? Atau mungkinkah mesin penghangat rumah sakit ini mendadak rusak?
Aku sungguh sudah tidak bisa mengendalikan diriku lagi. Aku tidak bisa berhenti bepikir sehingga membuat kepalaku sakit. Terlebih lagi dengan cekikikan nenek tua di sampingku yang semakin melengking tinggi. Kali ini walau samar cekikikannya terdengar seperti,
Lihat dia menuju kemari!”
Cukup sudah! Sebaiknya aku segera pergi meninggalkan nenek tua ini sebelum aku kehilangan kewarasanku sepenuhnyaAku bergegas beranjak dari sofa yang kududuki lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apapun kepada nenek tua yang menatapku bingung. Namun mendadak seseorang muncul di hadapanku, membuatku berhenti. Aku tidabisa melihat wajahnya karena kepalaku tertunduk menatap kosong lantai marmer tempatku berpijak.
Apakah kau Irene Gilmore?” tanya sesosok suara yang terdengar dingin dan kurang bersahabat.
Kontan aku langsung mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya. Ternyata dia adalah laki-laki dengan tinggi yang menjulang yang tadi sempat kulihat memasuki lobi rumah sakit.
Siapa dia? Bagaimana dia bisa mengetahui namaku?
Iya, aku Irene,” kataku mengangguk pelan, K.. Kau siapa?” tanyaku dengan suara yang gemetar.
Dia hanya menatapku selama beberapa saat seakan hendak memastikan sesuatu, Syukurlah, tidak sulit untuk menemukanmu” katanya kemudian.
Aku mengerutkan dahi bingungAku tidak suka dengan ekspresi yang dia tunjukan padaku saat ini, seolah-olah dia sedang menyaksikan suatu adegan yang menyedihkan atau menyebalkan dalam film. Entahlah, aku tidak bisa memutuskan adegan yang mana.
Aku mengatur aliran nafasku agar suara yang keluar dari mulutku tidak terdengar terlalu menyedihkan. Well, dikasihani oleh orang asing adalah hal terakhir yang aku inginkan hari ini.
Apa maksudmu?” tanyaku menuntut, “Dan jawab pertanyaanku tadi, siapa gerangan dirimu?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah diam. Sepasang bola matanya yang berwarna cokelat terang dengan arsir keemasan, menerawang kemana-mana, tapi menolak untuk melihatku yang berdiri tepat di hadapannya. Tak lama mulutnya kembali terbuka menarik perhatianku kembali padanya.
Namaku Ben Flyod. Ibuku, yang kau panggil bibi Corinne memintaku untuk menjemputmu,” katanya menjelaskan.
Aku menatapnya bingung selama beberapa saat, tidak begitu mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan olehnya.
“Ibuku tidak bisa datang menjemputmu. Ada pekerjaan penting yang harus dia kerjakan,” imbuhnya.
Mendengar perkataannya membuat aliran nafasku kembali normal. Seolah-olah paru-paruku membesar dua kali lipat dari ukuran semula sehingga mampu menghisap sebanyak mungkin oksigen di udara. Lega rasanya. Setidaknya pikiran-pikiran negatifku tadi tidak terjadi.
Sejenak aku memperhatikan sosok yang berdiri di hadapanku. Sekarang aku yakin pernah melihat laki-laki ini jauh sebelum hari ini. Ya, jika dia, Ben, adalah putera bibi Corinne, maka ada kemungkinan aku pernah bertemu dengannya. Walaupun aku tidak tahu pasti dimana dan kapanNamun seperti yang tadi kukatakan, wajahnya terlihat familiar.
Baiklah, lebih baik kita berangkat sekarang,” katanya.
Tanpa menunggu jawabanku, dia menarik tanganku lalu menyeretku meninggalkan cekikikan nenek tua di belakangku yang kali ini terdengar,
Kalian akan bahagia selamanya!

***

Dengan telapak tangan lebarnya yang menggengam erat pergelangan tanganku, Ben menyeretku menuju halaman depan rumah sakit yang dingin.
Well, pantas saja Ben mengenakan mantel tebal yang sepertinya sanggup untuk menenggelamkan sekujur tubuhku jika aku memakainya. Suhu di luar rumah sakit memang luar biasa dingin. Aku bisa merasakan gigi-gigiku saling beradu di dalam mulutku yang terkatup rapat.
“Tunggu dulu disini. Mobilku kuparkir tidak jauh,” katanya sejurus lewat tanpa melihatku.
Melihat sikapnya yang tidak kalah dingin dengan udara di sekitarku, membuatku sangsi apa dia benar-benar berniat menjemputku. Well, tempat parkir mobil memang terletak tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri saat ini, akan tetapi dengan suhu sedingin ini kurasa sudah cukup untuk membekukanku.
Tiba-tiba Ben yang sudah beberapa meter melangkah dari posisi awal, berhenti. Dia berbalik kearahku berdiri lalu melangkah mendekatiku. Tanpa kumengerti apa gerangan maksudnya, dia berhenti tepat di hadapanku. Melepas mantel tebalnya lalu memakaikannya padaku. Aku diam tidak bergerak sankin kagetnya.
Lalu tanpa berucap sepatah kata pun dia berbalik lalu berlari menuju tempat parkir mobil.
Apa itu?
Tak lama sebuah Chevrollet abu-abu berhenti di hadapanku. Jendela pengemudinya terbuka memperlihatkan Ben yang melihatku tanpa ekspresi di wajahnya.
Ayo masuk,” perintahnya.
Tidak mau membuat Ben menunggu lebih lama, aku bergegas mendekati mobil. Aku sudah menyentuh knop pintu mobil dan siap membukanya ketika kilatan peristiwa yang sungguh tidak ingin kuingat lagi mendadak muncul di kepalaku.

Aku melihat cahaya, cahaya yang sangat terang yang nyaris membutakanku.  Lalu aku mendengar suara jeritan Mom sesaat sebelum truk semen itu melindas Volkswagen DadMobil kami terlempar jauh sekali, aku serasa terbang di dalamnya sebelum kegelapan menguasaiku.
Ketika aku membuka mata, aku menyadari posisi mobil kami terbalik. Kepalaku menekan atap mobil dengan keras. Kemudian bau darah dan bau hangus bercampur aduk menjadi satu membuat perutku mual. Lalu aku merasakan sakit, sakit yang teramat sangat yang tidak kuketahui dimana sumbernya. Ketika aku mencoba untuk bergerak, aku melihat wajah berlumuran darah Mom dan Dad yang sudah tidak bernyawa di hadapanku. Aku menjerit begitu keras hingga tenggorakanku seakan terbakar, sebelum aku kehilangan kesadaran untuk ke dua kalinya.
Aku terbangun di ranjang rumah sakit yang sempit dengan kanula nasal ditempelkan di hidungku. Aku tidak bisa menggerakan tubuhku yang mati rasa. Hanya mataku yang bergerak, memeriksa seluruh ruangan yang berwarna putih yang memberi kesan seolah-olah aku berada di tempat lain selain di dunia. Aku mendengar suara seorang wanita yang memanggil namaku. Aku mengenal suara itu, tapi itu bukan suara Mom.
Mom..
“Irene,”
“Kau bisa mendengarku,”

“Irene!”
Aku tersentak kaget, menatap Ben yang berdiri begitu dekat di hadapanku. Tapi aku tidak bisa bergerak. Tubuhku seperti membeku. Bukan karena suhu udara di sekitarku yang berada di bawah sepuluh derajat celsius, melainkan karena aku ketakutan. Aku takut masuk ke dalam mobil ini.
Mungkinkah aku mengalami trauma?
Oh, seharusnya aku mengajukan alternatif kendaraan lain untuk menjemputku. Betapa bodohnya aku iniSeharusnya aku tahu kondisi diriku sendiri. Seharusnya aku tahu bahwa aku belum siap untuk menaiki kendaraan yang sudah membunuh kedua orang tuaku di dalamnya.
Telapak tangan Ben tiba-tiba berada di atas telapak tanganku yang masih memegang erat knop pintu mobil. Kuyakin Ben bisa merasakan tanganku yang gemetar hebatTapi dia menghiraukannya karena tak lama dia malah membuka pintu mobil.
Ayo, kita pergi,” katanya terdengar seperti ancaman tanpa ampun.
Aku ingin menolak tapi Ben malah membantuku duduk di jok mobil lalu menutup pintunya untukku. Aku tahu ini tidak baik, tapi mau bagaimana lagi? Apakah aku harus menangis sambil menjerit-jerit minta untuk diturunkan? Aku tidak bisa melakukannya. Sudah cukup aku merepotkan ibunya.
Oh Tuhan, tolong lindungilah aku.

***

Perjalanan kami sudah mencapai menit ke lima puluh ketika aku mulai menjerit untuk yang ke sembilan kalinya. Kami sedang melewati daerah pertambangan Huntly, ketika sebuah Nissan Juke yang hendak memutar ke jalur lain nyaris menabrak mobil kami.
Aku benar-benar tidak tenang. Jok mobil yang kududuki terasa terlalu keras untuk tubuhku yang kian lemas. Tanganku yang basah oleh keringat dingin terus mencengkram handle yang berada di atas jendela mobil, membuat buku-buku jariku memutih. Indahnya pemandangan tebing-tebing yang membeku di kanan dan kiri tidak mampu menembus mataku yang kian remang. Hanya udara dingin menusuk kalbu yang bisa kurasakan.
Kau baik-baik saja?” tanya Ben.
Ini adalah kali pertama Ben berbicara sejak menit pertama dia menginjak pedal mobilnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakanTentu saja jawaban bisuku itu bohong. Wellkenyataannya aku sudah sembilan kali menjerit di atas mobilnya.
Ok, baiklah. Kurasa Ben sudah muak denganku. Untuk pertama kalinya sejak menit pertama bersamanya, akhirnya Ben menatapku dengan tajam. Tatapannya aneh. Entahlah, aku tidak bisa menebak ekspresinya. Yang jelas antara ngeri, kasihan dan jijik. Tapi aku tidak peduli dengan tatapannya. Yang kupedulikan adalah jalanannya. Karena ketika Ben menatapku itu berarti dia tidak memperhatikan jalanan luas yang membentang di hadapan kami. Dan aku yakin pada saat jeritanku yang ke sepuluh, pita suaraku akan benar-benar putus.
Kau yakin?” tanyanya lagi dengan dahi yang mengernyit.
Ben masih menatapku dan menghiraukan jalanannya. Sebisa mungkin aku menyunggingkan senyuman. Setidaknya inilah yang bisa kulakukan untuk meyakinkan Ben bahwa aku baik-baik sajaAku tidak bisa mengutarakan ketakutanku kepadanya. Tidak kepada Ben yang sepertinya tidak peduli juga.
Kurasa sebaiknya kau perhatikan jalanannya, ucapku akhirnya.
Sesaat Ben hanya menatapku dengan tatapan aneh tadi seakan-akan dia tidak mengerti dengan apa yang kukatakan. Kemudian barulah dia memfokuskan pandangannya kembali ke jalanan bersalju yang membentang di hadapan kami.
Terkadang memang berguna untuk merasa takut, karena itu menyiagakanmu untuk menghadapi kejadian buruk. Atau itu sama sekali tidak berguna karena kejadian buruk itu akan terjadi entah ketika kau ketakutan ataupun tidak,” kata Ben tiba-tiba.
Butuh sepersekian detik bagiku untuk mencerna kata-katanyaAku tidak mengerti apakah Ben sedang mencoba untuk terdengar sarkastis atau peduli. Tapi yang jelas Ben mengetahuinyaYa, Ben menyadari ketakutan yang aku rasakan di sepanjang perjalanan. Well, siapa yang tidak akan tahu?
“Pikirkanlah hal-hal lain yang positif. Itu akan  menutupi ketakutanmu,” katanya kemudian.
 Sejenak aku memberanikan diri untuk mengamati sosok yang duduk di sampingku. Ben kembali fokus menyetir. Dia menatap jalanan dengan lesu. Kurasa dia bosan atau mungkin dia lelah. Well, aku baru menyadari bahwa Ben cukup tampan. Ok, baiklah, sangat tampan. Dia memiliki bentuk wajah yang tegas dengan rahang persegi yang kuat, dagu yang lebar, tulang pipi yang tinggi serta hidung yang ramping dan mancung. Alis matanya tebal, berwarna lebih gelap dari warna rambutnya. Bola matanya cukup besar, berwarna cokelat tua yang terlihat teduh sekaligus dingin. Penampilan fisiknya memang terlihat gelap dan misterius namun tetap menawan, sama seperti ibunya.
Aku benar-benar terlarut dalam fantasiku sampai realitas menghantam kepalaku ketika Ben mengeluarkan ponselnya yang berdering menyanyikan chorus lagu yang tidak aku kenal.
Ya, Mom. Dia ada disampingku sekarang,
Dari sela derungan halus mesin Chevrollet, samar-samar aku bisa mendengar suara bibi Corinne yang kali ini berbunyi;
Apa dia baik-baik saja?”
Kurasa tidak,” jawab Ben singkat.
Bibi Corinne memekik panik. Kontan secara refleks Ben menarik ponselnya sekitar tiga puluh senti untuk menyelamatkan telinganya.
Kali ini kupaksa diriku untuk melirik keluar. Aku tidak mau melihat ekspresi wajah Ben ketika menceritakan tentang aku kepada ibunya.
Kelihatannya kami sudah sampai di AucklandMobil kami sudah memasuki Queen Street, jalan raya utama di kota ini. Pemandangan yang kulihat sekarang bukan lagi tebing-tebing beku melainkan gedung-gedung pencakar langit yang menjadi saksi bisu dari peradaban termaju di negara kecil ini. Aku bisa melihat Sky Tower, sebuah menara semen setinggi tiga ratus dua puluh delapan meter dengan gelombang di tengah-tengah yang seolah-olah memotong menara menjadi dua bagian. Sky Tower merupakan menara pertama di dunia yang akan melemparkan kembang api ke udara ketika malam pergantian tahun.
Mom ingin bicara, kata Ben menyodorkan ponselnya padaku, membuatku menoleh padanya.
Sebisa mungkin aku menyunggingkan senyuman, namun gagal karena wajahku seolah-olah mengeras.
Irene, bagaimana keadaanmu? Apa kau baik-baik saja?” tanya bibi Corinne dari seberang telpon.
Ya. Aku baik-baik saja,” jawabku bohong.
Aku bisa merasakan tatapan Ben padaku, tapi aku menghiraukannya.
Jangan bohong! Ben bilang kau tidak baik!
Sesaat aku melirik Ben dengan ekor mataku, Aku hanya kedinginan.
Kupikir kalian sudah sampai di Auckland?”
Well, Auckland memiliki iklim yang cukup moderat. Salah satu daerah terhangat di Selandia Baru. Musim dingin di kota ini tidak sedingin di kota Hamilton.
Oleh karena itu aku sudah tidak apa-apa, kudengar bibi Corinne menghela nafas lega.
“Syukurlah,” ucapnya, “Kalau begitu sampai jumpa di rumah barumu. Dah! serunya  sebelum menutup telpon membuatku lega untuk beberapa saat.
Rumah baru?
Entah mengapa itu tidak terdengar terlalu baik untukku.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b