Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [PART VII]

PART 13

.

Semua yang Ben katakan semalam, perlahan-lahan mampu membawa kedamaian dalam hatiku. Untuk pertama kalinya sejak kejadian empat hari yang lalu, aku bisa tidur dengan nyenyak. Aku bahkan sama sekali tidak bermimpi. Seolah-olah beban berat yang selama ini berada di pundakku mendadak hilang.
Aku membuka mataku ketika sinar matahari yang menyusup melalui jendela kamarku menyentuh wajahku yang sembab akibat tangisanku semalam. Perlahan-lahan aku bangkit dari tidurku. Menutup mata sejenak untuk kembali mengingat kejadian semalam.
“Apa yang kau hadapi memang berat. Tapi kau tidak boleh melupakan bahwa sekalipun mereka telah pergi, kasih sayang mereka tidak akan hilang.”
Ben tidak harus mengatakannya karena sebenarnya aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan betapa besar cinta mereka kepadaku dalam setiap hembusan nafasku dan derap langkahku di dunia ini. Hanya saja selama ini aku melupakan bahwa aku merasakannya. Kasih sayang Mom dan Dad tidak akan pernah hilang sekalipun mereka sudah pergi. Mereka memang tidak ada di hadapanku ketika aku membuka mata, tapi mereka berada dekat di hatiku setiap saat, tersenyum di dalam ingatanku dan hidup di dalam jiwaku.

***

Aku sarapan dengan lahap pagi ini bukan hanya untuk meyakinkan bibi Corinne bahwa aku sudah sembuh tapi juga karena aku kelaparan. Well, bisa dibilang aku tidak makan apa-apa selama empat hari ini.
Aku tidak melihat Ben pagi ini. Bibi Corinne bilang Ben sudah pergi ke kampus pagi-pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menunjukan kepada Ben bahwa aku sudah sembuh. Aku juga ingin berterimakasih kepadanya atas apa yang sudah dia lakukan untukku.
Bibi Corinne kembali mengantarku ke sekolah. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk meyakinkan bibi Corinne bahwa aku sudah sehat untuk kembali ke sekolah. Aku bahkan sempat berjanji akan pergi ke rumah sakit jika kondisiku kembali memburuk.
“Kau ada kegiatan klub hari ini?” tanya bibi Corinne ketika mobilnya berhenti di depan gerbang RVH.
“Tidak ada,” jawabku.
“Kalau begitu bibi jemput jam tiga,” kata bibi Corinne.
Aku mengangguk setuju sebelum membuka pintu mobil. Ketika aku memasuki halaman sekolah aku berpikir akan lebih baik jika aku menemui Dylan. Aku belum melupakan kejadian empat hari yang lalu. Aku harus berterimakasih kepadanya karena sudah membawaku ke klinik sekolah. Aku juga harus meminta maaf atas ketidaksopananku menolak semua panggilannya.
Hari ini adalah hari Jumat, itu berarti Dylan sedang melakukan latihan paginya di lapangan indoor. Sebelum aku pergi ke sana, aku memutuskan untuk membeli sebotol air mineral di kantin. Well, mungkin aku bisa menggunakannya untuk menjernihkan suasana yang akan menjadi sedikit keruh nanti.

***

“Selamat pagi!” seruku menyapa Dylan yang sedang duduk di pinggir lapangan.
Melihat kedatanganku yang tiba-tiba, Dylan terperanjat kaget nyaris tersungkur ke belakang. Aku langsuh meraih tangannya untuk mencegahnya mendarat di lantai.
“Aku mengagetkanmu ya?” tanyaku terkekeh geli.
Dylan hanya menatapku dengan tatapan kosong yang menggelikan Maksudku dia terlihat seperti orang yang baru saja melihat hantu. Aku memutuskan untuk menghiraukannya dan memilih untuk duduk di sampingnya
“Kau mau minum?” tanyaku menyodorkan sebotol air mineral yang sudah kulepas tutupnya.
Akhirnya Dylan kembali ke dunia nyata dalam beberapa kali kedipan mata yang dramatik. Dylan mengalihkan tatapannya dariku menuju air mineral yang kupegang lalu mengambilnya.
“Terimakasih,” katanya.
“Sama-sama,” kubilang.
Setelah itu aku melihat ke lapangan yang saat ini sedang memainkan laga three on three yang kelihatannya seru berdasarkan sorak-sorai penonton yang membahana di seluruh gedung. Aku melihat Luke bermain untuk salah satu tim. Dia baru saja melakukan tembakan three point yang sempurna yang membuat penonton menjerit histeris. Aku mendengar suara jeritan Carly dari salah satu penonton yang berada di seberang lain lapangan, tapi aku tidak bisa melihatnya.
“Bagaimana kau tahu aku ada di sini?” tanya Dylan kemudian.
“Semua orang tahu itu,” sahutku, menolak untuk melihatnya. Aku ragu-ragu untuk berhadapan-hadapan dengan sepasang bola mata biru samudera yang tidak berdosa itu. Aku takut akan menemukan sesuatu yang berbeda yang seharusnya tidak ada di sana.  
“Lalu apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dylan terdengar kesal sekaligus frustasi.
Aku hanya ingin melihatmu berlatih, jawabku masih enggan untuk melihatnya, “Apa aku tidak boleh?” tanyaku kemudian.
“Ayolah, Irene. Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini setelah kau menghilang selama tiga hari? Apakah kau tahu betapa paniknya aku ketika kau pingsan tidak sadarkan diri?”
Aku seharusnya tahu Dylan adalah manusia yang memiliki batas kesabaran. Perlahan aku memutar badanku untuk melihat Dylan sedang menatapku dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Kupikir dia marah tapi dia lebih terlihat kesal dari pada marah.
“Sekarang jelaskan padaku,” kata Dylan menuntut sambil memegang bahuku untuk menjagaku agar tidak menghindar dari tatapannya, “Mengapa kau tidak mau mengangkat telponku? Kau tahu sudah berapa kali aku mencoba untuk menelpomu?”
Sekarang Dylan lebih terlihat khawatir dari pada kesal. Dia menatapku dengan tatapan yang seakan-akan memohon dan memintaku untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku. Kupikir urusanku dengan Dylan akan selesai dengan aku muncul di hadapannya dalam keadaan sehat. Namun kelihatnya dia menginginkan lebih dari itu. Bukan untuk memenuhi rasa penasarannya melainkan karena kekhawatirannya yang tulus. Tapi aku tidak mengerti mengapa dia begitu khawatir dengan apa yang terjadi padaku.
“Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskannya padamu, Dylan. Tapi aku minta maaf, kataku kemudian tidak bisa menemukan kata-kata lain yang lebih baik dari itu.
Aku bisa merasakan pegangan Dylan di bahuku melonggar.
“Aku minta maaf karena menolak semua panggilanmu. Aku minta maaf karena sudah membuatmu khawatir. Aku-”
“Sudahlah,” kata Dylan memotong, “Yang penting sekarang kau sudah sehat. Itu sudah cukup bagiku,” katanya membuatku terharu kerena kepedulian yang dia tunjukan.
“Carly bilang kau akan ikut serta dalam konser amal nanti. Kau sudah tahu itu?” tanya Dylan kemudian.
Aku terkejut mendengar pertanyaan Dylan karena aku tidak tahu mengenai hal itu. Pada saat pertemuan mingguan klub, beberapa hari yang lalu sebelum aku jatuh sakit, Mrs Hale memang sempat membicarakan mengenai konser malam amal denganku. Dia bilang dia ingin melihat aku tampil memainkan piano.
“Kau tidak tahu?” tanya Dylan setelah melihat reaksiku.
Aku menggelengkan kepalaku, “Aku akan menanyakannya nanti,” kataku.

***
“Irene!” seru Carly memanggilku ketika aku sedang mengeluarkan buku-buku dari dalam loker.
Aku menoleh, melihat Carly berlari-lari menerobos keramaian koridor, membuat rambut pirangnya yang tergerai berkibar-kibar.
“Hey!” seruku sembari melambaikan tangan kepada Carly.
Carly kehabisan nafas ketika dia sampai di hadapanku. Keringat bercucuran di sekitar wajahnya yang menatapku dengan antusias sekaligus cemas.
“Oh, Irene. Kau sudah sembuh?” tanyanya setelah beberapa saat.
Aku tersenyum simpul mendengar pertanyaannya, “Tentu saja,” kataku.
Carly mengamatiku sejenak dengan bola mata sebiru langit miliknya yang berkeliaran di wajahku, seolah-olah ingin memastikan sendiri jawaban dari pertanyaannya itu.
Setelah menemukan jawabannya, Carly mengembangkan senyuman lebar yang membuatku lega. Well, setidaknya Carly tidak memberondongku dengan sejumlah pertanyaan yang akan sulit kujawab, seperti yang dilakukan oleh Dylan tadi.
“Syukurlah,” katanya.
Lalu kami pun mulai berjalan menuju kelas, “Dylan memberitahuku mengenai konser amal,” kataku kemudian.
“Oh, iya!” seru Carly, menepuk dahinya dengan cukup keras yang sepertinya akan membekas di kulitnya yang pucat, “Kau tahu, Mrs Hale ingin kau ikut serta dalam konser amal. Dia sudah mempersiapkan format yang bagus untuk kita bedua,” jawabnya terdengar sangat antusias dengan apa yang dia katakan.
Aku mengangguk mengerti, “Well, sepertinya akan sangat menyenangkan,”
Carly mengangguk-angguk setuju, “Hey, ngomong-ngomong soal Dylan,” gumamnya, “Kau harus melihat betapa syoknya dia ketika kau pingsan. Kau tahu, dia seperti orang tersesat yang kehilangan segelanya ketika kau tidak ada,”
Aku mengerling, melihat Carly memasang ekspresi wajah yang serius. Maksudku, terkadang Carly menjadi terlalu dramatis dalam beberapa hal. Namun sekarang, sepertinya dia mengatakan yang sebenarnya dengan apa adanya.
“Wow,” hanya itu reaksiku.
Carly menatapku, “Kupikir Dylan benar-benar menyukaimu,” katanya membuatku kehilangan kata-kata.
Mendengar ‘pernyataan’ Carly membuatku teringat dengan reaksi yang ditunjukan oleh Dylan tadi ketika aku menemuinya. Aku memang merasa ada yang berubah dari sikap Dylan terhadapku. Tapi kupikir itu hanyalah reaksi yang biasa ditunjukan oleh teman kepada temannya. Maksudku, semua orang pasti mengkhawatirkan teman mereka yang jatuh sakit. Itu adalah sikap yang normal dalam persahabatan.
“Itu tidak mungkin,” kataku mengambil kesimpulan.
Aku mendengar Carly menghela nafas panjang mendengar jawabanku. Entahlah, mungkin dia kecewa dengan apa yang kukatakan. Tapi, memangnya apa yang dia harapkan?
“Hey, apa kau pernah jatuh cinta?” tanya Carly membuatku terkesiap.
Pertanyaan macam apa itu?
Aku baru menyadari bahwa kami sudah sampai di depan kelas. Sekarang Carly berdiri di hadapanku dengan punggungnya yang bersandar pada dinding. Kedua tangannya dilipat di depan dada, membuatnya terlihat seperti superior yang sama sekali tidak cocok dengan penampilannya yang manis.
Don’t get me wrong! Aku menyukai Carly. Aku senang berada di dekatnya. Hanya saja aku selalu memiliki masalah dalam mengatakan hal-hal pribadi seperti mengatakan perasaanku kepada orang lain. Well, aku hanya melakukan hal itu dengan orang tuaku dan Ben.
“Belum pernah,” jawabku kemudian.
Bohong jika Carly tidak terkejut mendengar jawabanku. Tapi Carly memilih untuk tidak mempercayai perkataanku jadi dia mencoba untuk tidak terlihat terkejut walaupun usahanya itu gagal.
“Tidak mungkin,” sahutnya skeptis.
Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Orang lain mungkin berpikir  itu aneh, karena seorang gadis remaja sepertiku ‘seharusnya’ memiliki seorang cowok impian yang membuatnya jatuh cinta. Tapi selama ini aku hanya mencintai Mom dan Dad. Dan setelah kehilangan mereka, aku mulai berpikir bahwa mencintai seseorang itu akan sangat menyakitkan ketika kita harus kehilangan mereka suatu saat nanti.
Oh, percaya padaku, kau tidak mau mengalaminya!
Aku menatap Carly yang masih menunggu penjelasan dariku. Well, aku tidak bisa menyalahkan Carly karena bersikap seperi layaknya seorang sahabat. Aku harus lebih membuka diri jika aku ingin persahabatan kami berlanjut.
 “Cepat atau lambat seseorang akan memasuki kehidupanku. Aku hanya harus menunggu sampai itu tiba. Aku percaya bahwa cinta semua orang ada di luar sana. Beberapa hanya sedang terjebak macet dalam perjalanan mereka untuk menemukan kita,” kataku.
Carly nampak bingung dengan jawabanku. Tapi tak lama dia mulai rileks.
“Kau memiliki konsep yang aneh mengenai jatuh cinta,” kata Carly membuatku menyeringai memperlihatkan gigi-gigiku.

***

Awalnya aku sama sekali tidak peduli ketika sebuah mobil mewah berwarna cool black metallic berhenti di hadapanku. Sampai aku melihat siapa pengemudi yang membuka pintu mobilnya lalu berjalan menghampiriku.
Ben Floyd.
Seperti biasa Ben  tampil dengan busana serba gelap yang kontras dengan kulit putih pucatnya. Dia mengenakan kemeja navy blue yang begitu gelap nyaris hitam dengan lengannya yang digulung sampai siku. Dipadukan dengan celana jins hitam slim to fit yang membungkus kaki-kaki panjangnya dengan sempurna.  Sneakers hitam dengan garis putih yang menjadi alas kakinya semakin menyempurnakan penampilan casual namun berkelas ciri khas Ben.
“Sampai kapan kau akan berdiri di situ?” tanya Ben.
Aku hanya diam menatap Ben. Rasanya seperti kakiku sudah tertanam di bawah tanah tempatku berpijak sehingga aku tidak bisa menggerakannya. Aku terhipnotis oleh pikiranku sendiri tentang Ben. Aku teringat dengan kejadian semalam ketika aku berada dalam pelukannya yang hangat dan nyaman. Aku bisa merasakan wajahku memanas memikirkan hal itu.
Jantungku nyaris menerobos tulang rusukku sankin kagetnya ketika aku merasakan telapak tangan lebar dan hangat milik Ben melingkar di pergelangan tanganku.
Sejak kapan Ben berada di hadapanku?
“Cepatlah, kita harus pergi ke suatu tempat dulu,” kata Ben membuatku bingung.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut ketika Ben menyeretku menuju mobilnya.
“Kita mau kemana?” tanyaku setelah Ben membawa Maybach 62S miliknya keluar dari RVH.
“Lihat saja nanti,” katanya.
Aku menatap Ben bingung, keberatan dengan jawabannya yang tidak memuaskan. Tapi setelah aku melihat ekspresi wajahnya yang serius menatap jalanan perkotaan yang ramai, aku memutuskan untuk membiarkannya. Well, jika Ben sudah berkata seperti itu, tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk mengetahui kemana kami akan pergi selain menunggu sampai di tempat mana pun yang dia inginkan.
“Kemana bibi Corinne? Tadi pagi bibi bilang akan datang menjemputku,” kataku bertanya ketika aku mengingat perkataan bibi Corinne tadi pagi.
“Kau keberatan jika aku yang menjemputmu?” tanya Ben skeptis melemparkan tatapan dingin padaku.
Aku tersentak mendengarnya, “Tidak, tentu saja tidak!” kataku agak panik, takut membuatnya tersinggung.
Ben hanya mengangkat bahu sebelum memalingkan wajahnya kembali ke depan, menatap jalanan yang membentang di hadapan kami. Namun sekilas aku bisa melihat Ben menyunggingkan senyuman tipis yang terlalu singkat untuk aku mengerti apa maksudnya.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b