PART 13
.
Semua yang Ben katakan semalam, perlahan-lahan mampu
membawa kedamaian dalam hatiku. Untuk pertama kalinya sejak kejadian empat hari
yang lalu, aku bisa tidur dengan nyenyak. Aku bahkan sama sekali tidak
bermimpi. Seolah-olah beban berat yang selama ini berada di pundakku mendadak
hilang.
Aku membuka mataku ketika sinar matahari yang menyusup
melalui jendela kamarku menyentuh wajahku yang sembab akibat tangisanku
semalam. Perlahan-lahan aku bangkit dari tidurku. Menutup mata sejenak untuk
kembali mengingat kejadian semalam.
“Apa
yang kau hadapi memang berat. Tapi kau tidak boleh melupakan bahwa sekalipun
mereka telah pergi, kasih sayang mereka tidak akan hilang.”
Ben tidak harus mengatakannya karena sebenarnya aku
bisa merasakannya. Aku bisa merasakan betapa besar cinta mereka kepadaku dalam
setiap hembusan nafasku dan derap langkahku di dunia ini. Hanya saja selama ini
aku melupakan bahwa aku merasakannya. Kasih sayang Mom dan Dad tidak akan
pernah hilang sekalipun mereka sudah pergi. Mereka memang tidak ada di
hadapanku ketika aku membuka mata, tapi mereka berada dekat di hatiku setiap
saat, tersenyum di dalam ingatanku dan hidup di dalam jiwaku.
***
Aku sarapan dengan lahap pagi ini bukan hanya untuk
meyakinkan bibi Corinne bahwa aku sudah sembuh tapi juga karena aku kelaparan. Well,
bisa dibilang aku tidak makan apa-apa selama empat hari ini.
Aku tidak melihat Ben pagi ini. Bibi Corinne bilang Ben
sudah pergi ke kampus pagi-pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menunjukan kepada
Ben bahwa aku sudah sembuh. Aku juga ingin berterimakasih kepadanya atas apa
yang sudah dia lakukan untukku.
Bibi Corinne kembali mengantarku ke sekolah. Butuh
waktu sekitar sepuluh menit untuk meyakinkan bibi Corinne bahwa aku sudah sehat
untuk kembali ke sekolah. Aku bahkan sempat berjanji akan pergi ke rumah sakit
jika kondisiku kembali memburuk.
“Kau ada kegiatan klub hari ini?” tanya bibi Corinne
ketika mobilnya berhenti di depan gerbang RVH.
“Tidak ada,” jawabku.
“Kalau begitu bibi jemput jam tiga,” kata bibi Corinne.
Aku mengangguk setuju sebelum membuka pintu mobil. Ketika aku memasuki
halaman sekolah aku berpikir akan lebih baik jika aku menemui Dylan. Aku belum melupakan
kejadian empat
hari yang lalu. Aku harus berterimakasih kepadanya karena sudah membawaku
ke klinik sekolah. Aku juga harus meminta maaf atas ketidaksopananku
menolak semua panggilannya.
Hari
ini adalah hari Jumat, itu berarti Dylan sedang melakukan latihan paginya di lapangan
indoor. Sebelum aku pergi ke sana, aku memutuskan
untuk membeli sebotol air mineral di kantin. Well, mungkin aku bisa menggunakannya untuk menjernihkan suasana
yang akan menjadi sedikit keruh nanti.
***
“Selamat
pagi!”
seruku menyapa Dylan
yang sedang duduk di pinggir lapangan.
Melihat kedatanganku yang tiba-tiba, Dylan terperanjat
kaget nyaris tersungkur ke belakang. Aku langsuh meraih tangannya untuk
mencegahnya mendarat di lantai.
“Aku mengagetkanmu ya?” tanyaku terkekeh geli.
Dylan hanya menatapku dengan tatapan kosong yang
menggelikan Maksudku dia terlihat seperti orang yang baru saja melihat hantu. Aku
memutuskan untuk menghiraukannya dan memilih untuk duduk di sampingnya
“Kau mau minum?” tanyaku menyodorkan sebotol air
mineral yang sudah kulepas tutupnya.
Akhirnya Dylan kembali ke dunia nyata dalam beberapa
kali kedipan mata yang dramatik. Dylan mengalihkan tatapannya dariku menuju air
mineral yang kupegang lalu mengambilnya.
“Terimakasih,”
katanya.
“Sama-sama,” kubilang.
Setelah itu aku melihat ke lapangan yang saat ini sedang
memainkan laga three on three yang
kelihatannya seru berdasarkan sorak-sorai penonton yang membahana di seluruh
gedung. Aku melihat Luke bermain untuk salah satu tim. Dia baru saja
melakukan tembakan three point yang
sempurna yang membuat penonton menjerit histeris. Aku mendengar suara jeritan
Carly dari salah satu penonton yang berada di seberang lain lapangan, tapi aku
tidak bisa melihatnya.
“Bagaimana
kau tahu aku ada di sini?” tanya Dylan kemudian.
“Semua
orang tahu itu,” sahutku, menolak untuk melihatnya. Aku ragu-ragu untuk
berhadapan-hadapan dengan sepasang bola mata biru samudera yang tidak berdosa itu. Aku takut akan menemukan sesuatu
yang berbeda yang seharusnya tidak ada di sana.
“Lalu
apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dylan terdengar kesal sekaligus frustasi.
“Aku hanya ingin melihatmu
berlatih,” jawabku
masih enggan untuk melihatnya, “Apa aku tidak boleh?” tanyaku kemudian.
“Ayolah,
Irene.
Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini setelah kau menghilang selama tiga hari? Apakah kau tahu betapa paniknya
aku ketika kau pingsan tidak sadarkan diri?”
Aku
seharusnya tahu Dylan adalah manusia yang memiliki batas kesabaran.
Perlahan aku memutar badanku untuk melihat Dylan sedang menatapku dengan
tatapan yang tidak aku mengerti. Kupikir dia marah tapi dia lebih terlihat
kesal dari pada marah.
“Sekarang
jelaskan padaku,” kata
Dylan menuntut sambil memegang bahuku untuk menjagaku agar tidak menghindar dari tatapannya, “Mengapa kau tidak mau
mengangkat telponku? Kau tahu sudah berapa kali aku mencoba untuk menelpomu?”
Sekarang Dylan lebih terlihat khawatir dari pada
kesal. Dia menatapku dengan tatapan yang seakan-akan memohon dan memintaku
untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku. Kupikir urusanku dengan Dylan akan
selesai dengan aku muncul di hadapannya dalam keadaan sehat. Namun kelihatnya
dia menginginkan lebih dari itu. Bukan untuk memenuhi rasa penasarannya
melainkan karena kekhawatirannya yang tulus. Tapi aku tidak mengerti mengapa
dia begitu khawatir dengan apa yang terjadi padaku.
“Aku
tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskannya padamu, Dylan. Tapi aku minta maaf,” kataku
kemudian tidak bisa menemukan kata-kata lain yang lebih baik dari itu.
Aku bisa merasakan pegangan Dylan di bahuku melonggar.
“Aku minta maaf karena menolak semua panggilanmu. Aku
minta maaf karena sudah membuatmu khawatir. Aku-”
“Sudahlah,” kata Dylan memotong, “Yang penting
sekarang kau sudah sehat. Itu sudah cukup bagiku,” katanya membuatku terharu
kerena kepedulian yang dia tunjukan.
“Carly bilang kau akan ikut serta dalam konser amal
nanti. Kau sudah tahu itu?” tanya Dylan kemudian.
Aku terkejut mendengar pertanyaan Dylan karena aku
tidak tahu mengenai hal itu. Pada saat pertemuan mingguan klub, beberapa hari
yang lalu sebelum aku jatuh sakit, Mrs Hale memang sempat membicarakan mengenai
konser malam amal denganku. Dia bilang dia ingin melihat aku tampil memainkan
piano.
“Kau tidak tahu?” tanya Dylan setelah melihat
reaksiku.
Aku menggelengkan kepalaku, “Aku akan menanyakannya
nanti,” kataku.
***
“Irene!” seru Carly memanggilku ketika aku sedang
mengeluarkan buku-buku dari dalam loker.
Aku menoleh, melihat Carly berlari-lari menerobos keramaian
koridor, membuat rambut pirangnya yang tergerai berkibar-kibar.
“Hey!” seruku sembari melambaikan tangan kepada Carly.
Carly kehabisan nafas ketika dia sampai di hadapanku.
Keringat bercucuran di sekitar wajahnya yang menatapku dengan antusias
sekaligus cemas.
“Oh, Irene. Kau sudah sembuh?” tanyanya setelah
beberapa saat.
Aku tersenyum simpul mendengar pertanyaannya, “Tentu
saja,” kataku.
Carly mengamatiku sejenak dengan bola mata sebiru
langit miliknya yang berkeliaran di wajahku, seolah-olah ingin memastikan sendiri
jawaban dari pertanyaannya itu.
Setelah menemukan jawabannya, Carly mengembangkan
senyuman lebar yang membuatku lega. Well,
setidaknya Carly tidak memberondongku dengan sejumlah pertanyaan yang akan
sulit kujawab, seperti yang dilakukan oleh Dylan tadi.
“Syukurlah,” katanya.
Lalu kami pun mulai berjalan menuju kelas, “Dylan
memberitahuku mengenai konser amal,” kataku kemudian.
“Oh, iya!” seru Carly, menepuk dahinya dengan cukup
keras yang sepertinya akan membekas di kulitnya yang pucat, “Kau tahu, Mrs Hale
ingin kau ikut serta dalam konser amal. Dia sudah mempersiapkan format yang
bagus untuk kita bedua,” jawabnya terdengar sangat antusias dengan apa yang dia
katakan.
Aku mengangguk mengerti, “Well, sepertinya akan sangat menyenangkan,”
Carly mengangguk-angguk setuju, “Hey, ngomong-ngomong
soal Dylan,” gumamnya, “Kau harus melihat betapa syoknya dia ketika kau
pingsan. Kau tahu, dia seperti orang tersesat yang kehilangan segelanya ketika
kau tidak ada,”
Aku mengerling, melihat Carly memasang ekspresi wajah
yang serius. Maksudku, terkadang Carly menjadi terlalu dramatis dalam beberapa
hal. Namun sekarang, sepertinya dia mengatakan yang sebenarnya dengan apa
adanya.
“Wow,” hanya itu reaksiku.
Carly menatapku, “Kupikir Dylan benar-benar
menyukaimu,” katanya membuatku kehilangan kata-kata.
Mendengar ‘pernyataan’ Carly membuatku teringat dengan
reaksi yang ditunjukan oleh Dylan tadi ketika aku menemuinya. Aku memang merasa
ada yang berubah dari sikap Dylan terhadapku. Tapi kupikir itu hanyalah reaksi
yang biasa ditunjukan oleh teman kepada temannya. Maksudku, semua orang pasti
mengkhawatirkan teman mereka yang jatuh sakit. Itu adalah sikap yang normal
dalam persahabatan.
“Itu tidak mungkin,” kataku mengambil kesimpulan.
Aku mendengar Carly menghela nafas panjang mendengar
jawabanku. Entahlah, mungkin dia kecewa dengan apa yang kukatakan. Tapi,
memangnya apa yang dia harapkan?
“Hey, apa kau pernah jatuh cinta?” tanya Carly membuatku
terkesiap.
Pertanyaan macam apa itu?
Aku baru menyadari bahwa kami sudah sampai di depan
kelas. Sekarang Carly berdiri di hadapanku dengan punggungnya yang bersandar
pada dinding. Kedua tangannya dilipat di depan dada, membuatnya terlihat
seperti superior yang sama sekali tidak cocok dengan penampilannya yang manis.
Don’t
get me wrong! Aku menyukai Carly. Aku senang berada di dekatnya.
Hanya saja aku selalu memiliki masalah dalam mengatakan hal-hal pribadi seperti
mengatakan perasaanku kepada orang lain. Well,
aku hanya melakukan hal itu dengan orang tuaku dan Ben.
“Belum pernah,” jawabku kemudian.
Bohong jika Carly tidak terkejut mendengar jawabanku.
Tapi Carly memilih untuk tidak mempercayai perkataanku jadi dia mencoba untuk
tidak terlihat terkejut walaupun usahanya itu gagal.
“Tidak mungkin,” sahutnya skeptis.
Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Orang lain
mungkin berpikir itu aneh, karena seorang
gadis remaja sepertiku ‘seharusnya’ memiliki seorang cowok impian yang
membuatnya jatuh cinta. Tapi selama ini aku hanya mencintai Mom dan Dad. Dan setelah kehilangan mereka, aku mulai berpikir bahwa
mencintai seseorang itu akan sangat menyakitkan ketika kita harus kehilangan
mereka suatu saat nanti.
Oh, percaya padaku, kau tidak mau mengalaminya!
Aku menatap Carly yang masih menunggu penjelasan
dariku. Well, aku tidak bisa
menyalahkan Carly karena bersikap seperi layaknya seorang sahabat. Aku harus
lebih membuka diri jika aku ingin persahabatan kami berlanjut.
“Cepat atau
lambat seseorang akan memasuki kehidupanku. Aku hanya harus menunggu sampai itu
tiba. Aku percaya bahwa cinta semua orang ada di luar sana. Beberapa hanya
sedang terjebak macet dalam perjalanan mereka untuk menemukan kita,” kataku.
Carly nampak bingung dengan jawabanku. Tapi tak lama
dia mulai rileks.
“Kau memiliki konsep yang aneh mengenai jatuh cinta,”
kata Carly membuatku menyeringai memperlihatkan gigi-gigiku.
***
Awalnya aku sama sekali tidak peduli ketika sebuah
mobil mewah berwarna cool black metallic berhenti di hadapanku. Sampai
aku melihat siapa pengemudi yang membuka pintu mobilnya lalu berjalan
menghampiriku.
Ben Floyd.
Seperti biasa Ben
tampil dengan busana serba gelap yang kontras dengan kulit putih
pucatnya. Dia mengenakan kemeja navy blue yang begitu gelap nyaris hitam
dengan lengannya yang digulung sampai siku. Dipadukan dengan celana jins hitam slim to fit yang membungkus kaki-kaki
panjangnya dengan sempurna. Sneakers hitam
dengan garis putih yang menjadi alas kakinya semakin menyempurnakan penampilan casual
namun berkelas ciri khas Ben.
“Sampai kapan kau akan berdiri di situ?” tanya Ben.
Aku hanya diam menatap Ben. Rasanya seperti kakiku
sudah tertanam di bawah tanah tempatku berpijak sehingga aku tidak bisa
menggerakannya. Aku terhipnotis oleh pikiranku sendiri tentang Ben. Aku
teringat dengan kejadian semalam ketika aku berada dalam pelukannya yang hangat
dan nyaman. Aku bisa merasakan wajahku memanas memikirkan hal itu.
Jantungku nyaris menerobos tulang rusukku sankin
kagetnya ketika aku merasakan telapak tangan lebar dan hangat milik Ben
melingkar di pergelangan tanganku.
Sejak kapan Ben berada di hadapanku?
“Cepatlah, kita harus pergi ke suatu tempat dulu,” kata
Ben membuatku bingung.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut ketika
Ben menyeretku menuju mobilnya.
“Kita mau kemana?” tanyaku setelah Ben membawa Maybach
62S miliknya keluar dari RVH.
“Lihat saja nanti,” katanya.
Aku menatap Ben bingung, keberatan dengan jawabannya
yang tidak memuaskan. Tapi setelah aku melihat ekspresi wajahnya yang serius
menatap jalanan perkotaan yang ramai, aku memutuskan untuk membiarkannya. Well, jika Ben sudah berkata seperti
itu, tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk mengetahui kemana kami akan pergi
selain menunggu sampai di tempat mana pun yang dia inginkan.
“Kemana bibi Corinne? Tadi pagi bibi bilang akan
datang menjemputku,” kataku bertanya ketika aku mengingat perkataan bibi Corinne
tadi pagi.
“Kau keberatan jika aku yang menjemputmu?” tanya Ben
skeptis melemparkan tatapan dingin padaku.
Aku tersentak mendengarnya, “Tidak, tentu saja tidak!”
kataku agak panik, takut membuatnya tersinggung.
Ben hanya mengangkat bahu sebelum memalingkan wajahnya
kembali ke depan, menatap jalanan yang membentang di hadapan kami. Namun
sekilas aku bisa melihat Ben menyunggingkan senyuman tipis yang terlalu singkat
untuk aku mengerti apa maksudnya.
TBC
Semua yang Ben katakan semalam, perlahan-lahan mampu
membawa kedamaian dalam hatiku. Untuk pertama kalinya sejak kejadian empat hari
yang lalu, aku bisa tidur dengan nyenyak. Aku bahkan sama sekali tidak
bermimpi. Seolah-olah beban berat yang selama ini berada di pundakku mendadak
hilang.
Aku membuka mataku ketika sinar matahari yang menyusup
melalui jendela kamarku menyentuh wajahku yang sembab akibat tangisanku
semalam. Perlahan-lahan aku bangkit dari tidurku. Menutup mata sejenak untuk
kembali mengingat kejadian semalam.
“Apa
yang kau hadapi memang berat. Tapi kau tidak boleh melupakan bahwa sekalipun
mereka telah pergi, kasih sayang mereka tidak akan hilang.”
Ben tidak harus mengatakannya karena sebenarnya aku
bisa merasakannya. Aku bisa merasakan betapa besar cinta mereka kepadaku dalam
setiap hembusan nafasku dan derap langkahku di dunia ini. Hanya saja selama ini
aku melupakan bahwa aku merasakannya. Kasih sayang Mom dan Dad tidak akan
pernah hilang sekalipun mereka sudah pergi. Mereka memang tidak ada di
hadapanku ketika aku membuka mata, tapi mereka berada dekat di hatiku setiap
saat, tersenyum di dalam ingatanku dan hidup di dalam jiwaku.
***
Aku sarapan dengan lahap pagi ini bukan hanya untuk
meyakinkan bibi Corinne bahwa aku sudah sembuh tapi juga karena aku kelaparan. Well,
bisa dibilang aku tidak makan apa-apa selama empat hari ini.
Aku tidak melihat Ben pagi ini. Bibi Corinne bilang Ben
sudah pergi ke kampus pagi-pagi sekali. Sebenarnya aku ingin menunjukan kepada
Ben bahwa aku sudah sembuh. Aku juga ingin berterimakasih kepadanya atas apa
yang sudah dia lakukan untukku.
Bibi Corinne kembali mengantarku ke sekolah. Butuh
waktu sekitar sepuluh menit untuk meyakinkan bibi Corinne bahwa aku sudah sehat
untuk kembali ke sekolah. Aku bahkan sempat berjanji akan pergi ke rumah sakit
jika kondisiku kembali memburuk.
“Kau ada kegiatan klub hari ini?” tanya bibi Corinne
ketika mobilnya berhenti di depan gerbang RVH.
“Tidak ada,” jawabku.
“Kalau begitu bibi jemput jam tiga,” kata bibi Corinne.
Aku mengangguk setuju sebelum membuka pintu mobil. Ketika aku memasuki
halaman sekolah aku berpikir akan lebih baik jika aku menemui Dylan. Aku belum melupakan
kejadian empat
hari yang lalu. Aku harus berterimakasih kepadanya karena sudah membawaku
ke klinik sekolah. Aku juga harus meminta maaf atas ketidaksopananku
menolak semua panggilannya.
Hari
ini adalah hari Jumat, itu berarti Dylan sedang melakukan latihan paginya di lapangan
indoor. Sebelum aku pergi ke sana, aku memutuskan
untuk membeli sebotol air mineral di kantin. Well, mungkin aku bisa menggunakannya untuk menjernihkan suasana
yang akan menjadi sedikit keruh nanti.
***
“Selamat
pagi!”
seruku menyapa Dylan
yang sedang duduk di pinggir lapangan.
Melihat kedatanganku yang tiba-tiba, Dylan terperanjat
kaget nyaris tersungkur ke belakang. Aku langsuh meraih tangannya untuk
mencegahnya mendarat di lantai.
“Aku mengagetkanmu ya?” tanyaku terkekeh geli.
Dylan hanya menatapku dengan tatapan kosong yang
menggelikan Maksudku dia terlihat seperti orang yang baru saja melihat hantu. Aku
memutuskan untuk menghiraukannya dan memilih untuk duduk di sampingnya
“Kau mau minum?” tanyaku menyodorkan sebotol air
mineral yang sudah kulepas tutupnya.
Akhirnya Dylan kembali ke dunia nyata dalam beberapa
kali kedipan mata yang dramatik. Dylan mengalihkan tatapannya dariku menuju air
mineral yang kupegang lalu mengambilnya.
“Terimakasih,”
katanya.
“Sama-sama,” kubilang.
Setelah itu aku melihat ke lapangan yang saat ini sedang
memainkan laga three on three yang
kelihatannya seru berdasarkan sorak-sorai penonton yang membahana di seluruh
gedung. Aku melihat Luke bermain untuk salah satu tim. Dia baru saja
melakukan tembakan three point yang
sempurna yang membuat penonton menjerit histeris. Aku mendengar suara jeritan
Carly dari salah satu penonton yang berada di seberang lain lapangan, tapi aku
tidak bisa melihatnya.
“Bagaimana
kau tahu aku ada di sini?” tanya Dylan kemudian.
“Semua
orang tahu itu,” sahutku, menolak untuk melihatnya. Aku ragu-ragu untuk
berhadapan-hadapan dengan sepasang bola mata biru samudera yang tidak berdosa itu. Aku takut akan menemukan sesuatu
yang berbeda yang seharusnya tidak ada di sana.
“Lalu
apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dylan terdengar kesal sekaligus frustasi.
“Aku hanya ingin melihatmu
berlatih,” jawabku
masih enggan untuk melihatnya, “Apa aku tidak boleh?” tanyaku kemudian.
“Ayolah,
Irene.
Bagaimana bisa kau bersikap seperti ini setelah kau menghilang selama tiga hari? Apakah kau tahu betapa paniknya
aku ketika kau pingsan tidak sadarkan diri?”
Aku
seharusnya tahu Dylan adalah manusia yang memiliki batas kesabaran.
Perlahan aku memutar badanku untuk melihat Dylan sedang menatapku dengan
tatapan yang tidak aku mengerti. Kupikir dia marah tapi dia lebih terlihat
kesal dari pada marah.
“Sekarang
jelaskan padaku,” kata
Dylan menuntut sambil memegang bahuku untuk menjagaku agar tidak menghindar dari tatapannya, “Mengapa kau tidak mau
mengangkat telponku? Kau tahu sudah berapa kali aku mencoba untuk menelpomu?”
Sekarang Dylan lebih terlihat khawatir dari pada
kesal. Dia menatapku dengan tatapan yang seakan-akan memohon dan memintaku
untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku. Kupikir urusanku dengan Dylan akan
selesai dengan aku muncul di hadapannya dalam keadaan sehat. Namun kelihatnya
dia menginginkan lebih dari itu. Bukan untuk memenuhi rasa penasarannya
melainkan karena kekhawatirannya yang tulus. Tapi aku tidak mengerti mengapa
dia begitu khawatir dengan apa yang terjadi padaku.
“Aku
tidak tahu bagaimana cara untuk menjelaskannya padamu, Dylan. Tapi aku minta maaf,” kataku
kemudian tidak bisa menemukan kata-kata lain yang lebih baik dari itu.
Aku bisa merasakan pegangan Dylan di bahuku melonggar.
“Aku minta maaf karena menolak semua panggilanmu. Aku
minta maaf karena sudah membuatmu khawatir. Aku-”
“Sudahlah,” kata Dylan memotong, “Yang penting
sekarang kau sudah sehat. Itu sudah cukup bagiku,” katanya membuatku terharu
kerena kepedulian yang dia tunjukan.
“Carly bilang kau akan ikut serta dalam konser amal
nanti. Kau sudah tahu itu?” tanya Dylan kemudian.
Aku terkejut mendengar pertanyaan Dylan karena aku
tidak tahu mengenai hal itu. Pada saat pertemuan mingguan klub, beberapa hari
yang lalu sebelum aku jatuh sakit, Mrs Hale memang sempat membicarakan mengenai
konser malam amal denganku. Dia bilang dia ingin melihat aku tampil memainkan
piano.
“Kau tidak tahu?” tanya Dylan setelah melihat
reaksiku.
Aku menggelengkan kepalaku, “Aku akan menanyakannya
nanti,” kataku.
***
“Irene!” seru Carly memanggilku ketika aku sedang
mengeluarkan buku-buku dari dalam loker.
Aku menoleh, melihat Carly berlari-lari menerobos keramaian
koridor, membuat rambut pirangnya yang tergerai berkibar-kibar.
“Hey!” seruku sembari melambaikan tangan kepada Carly.
Carly kehabisan nafas ketika dia sampai di hadapanku.
Keringat bercucuran di sekitar wajahnya yang menatapku dengan antusias
sekaligus cemas.
“Oh, Irene. Kau sudah sembuh?” tanyanya setelah
beberapa saat.
Aku tersenyum simpul mendengar pertanyaannya, “Tentu
saja,” kataku.
Carly mengamatiku sejenak dengan bola mata sebiru
langit miliknya yang berkeliaran di wajahku, seolah-olah ingin memastikan sendiri
jawaban dari pertanyaannya itu.
Setelah menemukan jawabannya, Carly mengembangkan
senyuman lebar yang membuatku lega. Well,
setidaknya Carly tidak memberondongku dengan sejumlah pertanyaan yang akan
sulit kujawab, seperti yang dilakukan oleh Dylan tadi.
“Syukurlah,” katanya.
Lalu kami pun mulai berjalan menuju kelas, “Dylan
memberitahuku mengenai konser amal,” kataku kemudian.
“Oh, iya!” seru Carly, menepuk dahinya dengan cukup
keras yang sepertinya akan membekas di kulitnya yang pucat, “Kau tahu, Mrs Hale
ingin kau ikut serta dalam konser amal. Dia sudah mempersiapkan format yang
bagus untuk kita bedua,” jawabnya terdengar sangat antusias dengan apa yang dia
katakan.
Aku mengangguk mengerti, “Well, sepertinya akan sangat menyenangkan,”
Carly mengangguk-angguk setuju, “Hey, ngomong-ngomong
soal Dylan,” gumamnya, “Kau harus melihat betapa syoknya dia ketika kau
pingsan. Kau tahu, dia seperti orang tersesat yang kehilangan segelanya ketika
kau tidak ada,”
Aku mengerling, melihat Carly memasang ekspresi wajah
yang serius. Maksudku, terkadang Carly menjadi terlalu dramatis dalam beberapa
hal. Namun sekarang, sepertinya dia mengatakan yang sebenarnya dengan apa
adanya.
“Wow,” hanya itu reaksiku.
Carly menatapku, “Kupikir Dylan benar-benar
menyukaimu,” katanya membuatku kehilangan kata-kata.
Mendengar ‘pernyataan’ Carly membuatku teringat dengan
reaksi yang ditunjukan oleh Dylan tadi ketika aku menemuinya. Aku memang merasa
ada yang berubah dari sikap Dylan terhadapku. Tapi kupikir itu hanyalah reaksi
yang biasa ditunjukan oleh teman kepada temannya. Maksudku, semua orang pasti
mengkhawatirkan teman mereka yang jatuh sakit. Itu adalah sikap yang normal
dalam persahabatan.
“Itu tidak mungkin,” kataku mengambil kesimpulan.
Aku mendengar Carly menghela nafas panjang mendengar
jawabanku. Entahlah, mungkin dia kecewa dengan apa yang kukatakan. Tapi,
memangnya apa yang dia harapkan?
“Hey, apa kau pernah jatuh cinta?” tanya Carly membuatku
terkesiap.
Pertanyaan macam apa itu?
Aku baru menyadari bahwa kami sudah sampai di depan
kelas. Sekarang Carly berdiri di hadapanku dengan punggungnya yang bersandar
pada dinding. Kedua tangannya dilipat di depan dada, membuatnya terlihat
seperti superior yang sama sekali tidak cocok dengan penampilannya yang manis.
Don’t
get me wrong! Aku menyukai Carly. Aku senang berada di dekatnya.
Hanya saja aku selalu memiliki masalah dalam mengatakan hal-hal pribadi seperti
mengatakan perasaanku kepada orang lain. Well,
aku hanya melakukan hal itu dengan orang tuaku dan Ben.
“Belum pernah,” jawabku kemudian.
Bohong jika Carly tidak terkejut mendengar jawabanku.
Tapi Carly memilih untuk tidak mempercayai perkataanku jadi dia mencoba untuk
tidak terlihat terkejut walaupun usahanya itu gagal.
“Tidak mungkin,” sahutnya skeptis.
Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Orang lain
mungkin berpikir itu aneh, karena seorang
gadis remaja sepertiku ‘seharusnya’ memiliki seorang cowok impian yang
membuatnya jatuh cinta. Tapi selama ini aku hanya mencintai Mom dan Dad. Dan setelah kehilangan mereka, aku mulai berpikir bahwa
mencintai seseorang itu akan sangat menyakitkan ketika kita harus kehilangan
mereka suatu saat nanti.
Oh, percaya padaku, kau tidak mau mengalaminya!
Aku menatap Carly yang masih menunggu penjelasan
dariku. Well, aku tidak bisa
menyalahkan Carly karena bersikap seperi layaknya seorang sahabat. Aku harus
lebih membuka diri jika aku ingin persahabatan kami berlanjut.
“Cepat atau
lambat seseorang akan memasuki kehidupanku. Aku hanya harus menunggu sampai itu
tiba. Aku percaya bahwa cinta semua orang ada di luar sana. Beberapa hanya
sedang terjebak macet dalam perjalanan mereka untuk menemukan kita,” kataku.
Carly nampak bingung dengan jawabanku. Tapi tak lama
dia mulai rileks.
“Kau memiliki konsep yang aneh mengenai jatuh cinta,”
kata Carly membuatku menyeringai memperlihatkan gigi-gigiku.
***
Awalnya aku sama sekali tidak peduli ketika sebuah
mobil mewah berwarna cool black metallic berhenti di hadapanku. Sampai
aku melihat siapa pengemudi yang membuka pintu mobilnya lalu berjalan
menghampiriku.
Ben Floyd.
Seperti biasa Ben
tampil dengan busana serba gelap yang kontras dengan kulit putih
pucatnya. Dia mengenakan kemeja navy blue yang begitu gelap nyaris hitam
dengan lengannya yang digulung sampai siku. Dipadukan dengan celana jins hitam slim to fit yang membungkus kaki-kaki
panjangnya dengan sempurna. Sneakers hitam
dengan garis putih yang menjadi alas kakinya semakin menyempurnakan penampilan casual
namun berkelas ciri khas Ben.
“Sampai kapan kau akan berdiri di situ?” tanya Ben.
Aku hanya diam menatap Ben. Rasanya seperti kakiku
sudah tertanam di bawah tanah tempatku berpijak sehingga aku tidak bisa
menggerakannya. Aku terhipnotis oleh pikiranku sendiri tentang Ben. Aku
teringat dengan kejadian semalam ketika aku berada dalam pelukannya yang hangat
dan nyaman. Aku bisa merasakan wajahku memanas memikirkan hal itu.
Jantungku nyaris menerobos tulang rusukku sankin
kagetnya ketika aku merasakan telapak tangan lebar dan hangat milik Ben
melingkar di pergelangan tanganku.
Sejak kapan Ben berada di hadapanku?
“Cepatlah, kita harus pergi ke suatu tempat dulu,” kata
Ben membuatku bingung.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut ketika
Ben menyeretku menuju mobilnya.
“Kita mau kemana?” tanyaku setelah Ben membawa Maybach
62S miliknya keluar dari RVH.
“Lihat saja nanti,” katanya.
Aku menatap Ben bingung, keberatan dengan jawabannya
yang tidak memuaskan. Tapi setelah aku melihat ekspresi wajahnya yang serius
menatap jalanan perkotaan yang ramai, aku memutuskan untuk membiarkannya. Well, jika Ben sudah berkata seperti
itu, tidak ada lagi yang bisa kulakukan untuk mengetahui kemana kami akan pergi
selain menunggu sampai di tempat mana pun yang dia inginkan.
“Kemana bibi Corinne? Tadi pagi bibi bilang akan
datang menjemputku,” kataku bertanya ketika aku mengingat perkataan bibi Corinne
tadi pagi.
“Kau keberatan jika aku yang menjemputmu?” tanya Ben
skeptis melemparkan tatapan dingin padaku.
Aku tersentak mendengarnya, “Tidak, tentu saja tidak!”
kataku agak panik, takut membuatnya tersinggung.
Ben hanya mengangkat bahu sebelum memalingkan wajahnya
kembali ke depan, menatap jalanan yang membentang di hadapan kami. Namun
sekilas aku bisa melihat Ben menyunggingkan senyuman tipis yang terlalu singkat
untuk aku mengerti apa maksudnya.
TBC
Komentar
Posting Komentar