PART 11
.
“Hey, sepertinya Mr. Goyle tidak datang hari
ini,” kata Carly yang duduk di bangku Dylan yang
sedang kosong.
“Tumben, memang ada apa dengannya?” tanyaku tidak terlalu peduli karena
aku sedang sibuk menelusuri setiap
baris kisah Sherlock Holmes dan Laskar Baker Street. Aku
mendapatkan novel keren ini dari Taylor. Awalnya aku sempat bingung mengapa Taylor
memberikannya padaku. Tapi setelah melihat bibi Corinne mendapatkan buku resep
Sophie Hale dan Ben mendapatkan buku biografi Steve Jobs, kutariklah sebuah
kesimpulan bahwa Taylor baru saja memborong setumpuk buku dari toko buku. Well,
lebih dari itu, sepertinya Taylor adalah jelmaan Santa yang gemar memberi
hadiah.
“Entahlah, tapi kuharap dia tidak sakit,”
Sesaat aku mengamati
Carly yang
hari ini mengikat rambutnya dengan ikatan longgar. Wajahnya benar-benar menunjukan kekhawatiran. Kurasa
pesona guru matematika itu telah menyengatnya. Sebenarnya bukan hanya Carly
yang tergila-gila padanya, kurasa nyaris seluruh gadis di sekolah ini terpikat
oleh sosok Mr. Goyle yang kharismatik.
“Hey, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Carly ketika menyadari tatapanku padanya.
“Aku sedang menghitung berapa jumlah murid cewek di sekolah ini yang
tergila-gila pada titisan Stephen Hawking itu,”
Mendadak
terlihat semburat
merah di wajah Carly. Bola mata birunya berbinar-binar.
“Ka..Kau tahu?”
“Siapa yang tidak akan tahu,” kataku menyeringai geli.
Wajah
Carly
sudah benar-benar merah padam seperti tomat matang yang siap dipetik. Kemudian Carly memutar
badanya untuk
menyembunyikan wajahnya dariku.
“Hey, jangan marah,” kataku. Aku tidak bermaksud untuk menggodanya seperti itu
Setelah beberapa saat Carly kembali memutar badannya untuk
melihatku yang sedang memasang senyuman bersalah. Dia melemparkan tatapan menyimpit yang
aneh. Kemudian dari sudut bibirnya dia bergumam.
"Well,
setidaknya bukan hanya aku yang sedang dilanda demam cinta,"
Carly tidak lagi melihatku. Ekor matanya melirik ke arah kerumunan
orang-orang
di depan kelas dimana terdapat beberapa cowok sedang memamerkan keahlian
mereka dalam menjinakkan bola basket. Sesaat aku meneliti kemana arah tatapan
aneh Carly itu. Sepertinya tatapannya tertuju pada Dylan yang sedang sibuk
menyeimbangkan bola basket yang kini sedang berputar di ujung telunjuk tangan
kirinya. Para gadis menyorakinya dengan nada-nada centil yang menggelikan. Termasuk
Kimberly seorang gadis yang berisik dengan rambut pirang ikal yang liar dari
kelompok pemandu sorak. Luke
juga ada di sana, melakukan hal yang sama persis dengan Dylan. Well, sepertinya sedang ada kompetisi
adu skill di sana. Konyol.
“Sepertinya kau dan Dylan semakin dekat,” kata Carly
tiba-tiba.
Sepertinya aku baru saja menangkap maksud Carly, “Jangan konyol! Aku tidak tertarik pada
sahabatmu si tukang pamer itu!” sergahku dengan nada defensif.
Tapi
Carly malah tertawa mendengarnya, “Benarkah? sulit kupercaya kau menolak pesonanya,”
Kemudian Carly
kembali mengamati
Dylan yang kini sedang sibuk menyeimbangkan dua bola basket sekaligus di
telunjuk tangan kanan dan kirinya.
“Berani taruhan, dia suka padamu,” katanya.
“Jangan mengada-ada,” kubilang, “Bisa-bisa aku dibunuh oleh fangirlsnya
yang gila itu,”
imbuhku
bergidik ngeri.
Carly terkekeh mendengarnya, “Kau benar,” ucapnya, “Oh iya, apa
kau menyaksikan pertandingan Ben kemarin?” tanya Carly mengganti topik pembicaraan.
Aku mengagguk pelan sambil membuka kembali novelku.
Entah mengapa aku tidak tertarik untuk membahas hal itu. Maksudku membahas
mengenai Ben. Seiring dengan berjalannya waktu, Ben mulai menunjukan sisi lain
dirinya yang membuatku takut. Takut karena sisi lain dirinya membuatku semakin
tidak mengerti dirinya.
“Jika Dylan tidak mengatakannya, aku tidak akan
percaya kau
adalah kerabatnya Ben Floyd. Maksudku, beruntung sekali kau bisa tinggal satu rumah dengannya!” seru
Carly berbinar-binar.
Well, aku tidak mengerti mengapa Dylan memberitahu Carly
mengenai hubunganku dengan Ben. Menurutku akan lebih baik jika Carly tidak pernah tahu itu.
“Sepertinya kau adalah seorang pemuja. Tak jauh berbeda
dengan Kimberly centil itu,” kataku dengan tatapan yang kembali fokus pada novel
di tanganku.
“Hey, hey! Tidak ada salahnya jika aku mengidolakan Ben. Dia memang layak
diidolakan oleh seantero gadis di dunia ini. Jangan bilang kau tidak?”
Aku memutar bola mataku mendengarnya, “Well, setidaknya aku bukan
maniak cowok tampan,” sahutku enteng.
Seseorang tiba-tiba membanting pintu kelas kami sampai terbuka. Suaranya begitu
kencang berdebam membuat semua orang terlonjak kaget. Aku
nyaris menjatuhkan novelku ke lantai. Bola basket yang
sejak tadi terus dipertahankan oleh Dylan di telunjuknya kini menggelinding di lantai. Carly
langsung berdiri dari kursinya. Dan Kimberly yang sejak tadi begitu serius menyaksikan aksi Dylan kini
melotot penuh amarah. Dia orang pertama yang menghampiri sosok Mrs. Bred yang muncul dari
balik pintu dengan wajah pucat pasi.
“Mrs Bred, anda mengagetkan kami,” kata Kimberly bukan dengan kemarahan melainkan dengan kesopanan yang dibuat-buat.
Terang saja karena dia sedang berhadapan dengan wakil kepala sekolah.
Mrs
Bred tidak menggubris Kimberly. Dia terus berjalan dengan langkah kaki yang gontai. Setelah dia sampai di tengah ruangan, dia menghadap ke arah
semua murid yang masih keheranan dengan tingkah lakunya. Setelah beberapa detik dalam
kebisuan, dia mulai bersuara.
“Aku baru saja mendapat kabar buruk. Wali kelas kalian, Mr
Goyle
mengalami kecelakaan mobil pagi ini, sekarang dia sedang berada di ruangan ICU rumah sakit Park
Road. Dia sedang berjuang untuk
melewati masa kritisnya. Dan sekarang marilah kita berdoa untuk keselamatannya,”
***
Suasana
kelas XII-B
yang tadinya begitu gaduh dengan pekikan histeris para gadis, obrolan gosip,
senadung tak jelas dan lain sebagainya kini hening. Hanya isak tangis yang samar-samar
terdengar.
Carly
bersandar di bahu Luke, terisak. Mulutnya berkomat-kamit begitu cepat,
berdoa
untuk keselamatan Mr Goyle. Dylan sudah duduk di kursinya yang berada tepat di
sampingku. Dia sudah mencampakan dua bola basketnya yang kini tergeletak begitu
saja di lantai.
Sedangkan
aku.
Kecelakan
mobil di
persimpangan jalan Ruthland Street dan Wakefield Street dekat Aoeta Square, tidak jauh dari
sini.
Truk
pengantar paket yang menabrak Porsche guru matematika itu. Dia pasti berlumuran
darah. Mobilnya pasti hancur. Sama sepertiku dulu.
“Irene,” panggil Dylan yang terdengar sayup-sayup di
telingaku yang berdengung, “Irene,”
Aku hendak menjawab panggilan Dylan ketika mendadak kepalaku terasa sakit. Dunia di sekelilingku
mulai berputar. Pandanganku mulai buram. Lalu semuanya menjadi gelap.
Ketika aku membuka mata, dunia
di sekelilingku berubah. Sejauh mata memandang aku berada di tempat gelap yang
menyesakkan. Hanya ada sekitar empat titik cahaya yang menggantung begitu tinggi dari
dasar yang gelap. Sejenak aku mendongak ke atas. Sepertinya aku berada di ruang
terbuka. Langit malam yang terhampar di atas kepalaku hanya menyiratkan dua titik cahaya bintang
yang kelabu. Selebihnya ditutupi oleh awan mendung yang memberikan kesan penuh
kepedihan.
Aku mulai melangkahkan kakiku.
Mendadak udara di sekelilingku terasa begitu dingin menusuk hingga ke dasar
sanubariku. Langkahku langsung terhenti, tubuhku membeku. Aku tidak bisa
bergerak. Tubuhku terasa begitu lemas tak bertenaga. Tulang-tulang dalam
tubuhku seakan remuk hingga akhirnya aku roboh ke lantai yang terasa begitu
kasar seperti aspal.
Aspal.
Bagaikan tersengat aliran
listrik, aku kontan
terlonjak kaget. Seluruh urat saraf dan ototku menegang. Jantungku serasa
berpacu secepat kuda.
Di tempat aku berdiri. Tikungan 120⁰ rute
pegunungan. Jalanan sepi yang gelap dan berangin. Hanya terdapat sekitar
empat buah
lampu jalan yang remang-remang sebagai pencahayaannya. Di tempat
inilah kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan maut antara Volkswagen Dad dengan truk pengangkut semen itu.
Benar! Walau samar tapi aku tahu di sinilah tempatnya.
Dengan langkah kaki yang terseok-seok,
kutegaskan hati untuk melihat sekeliling. Bagaikan penderita asma, di setiap
derap langkahku aku merasa dadaku dililit oleh tali tambang dengan begitu
kencangnya hingga nafasku sesak.
Memang inilah tempatnya! Inilah jalanannya! Inilah lokasi kecelakaan
itu!
Tapi,
bagaimana mungkin aku bisa berada di sini?
Tiba-tiba dari arah puncak
terdengar derung mesin mobil yang berpacu kencang menuju ke arahku. Itu adalah
suara mesin Volkswagen hitam keluaran tahun 2007 yang sangat kukenal. Itu
mobil Dad! Dari arah
berlawanan terdengar raungan mesin kendaraan berat yang melaju ke arahku
secepat kilat.
Tidak!
Tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Kedua kendaraan itu semakin
mendekati satu sama lain dengan kecepatan yang semakin menggila.
50 meter.
Oh, kepalaku serasa mau pecah!
40 meter.
Paru-paruku serasa dibakar!
30 meter.
Tidak. Aku tidak bisa bergerak!
20 meter.
Oh, aku harus melakukan sesuatu! Aku harus
menghentikannya!
Sial!
Apa yang harus kulakukan?! Tidak boleh terjadi!
Suara kedua kendaraan itu
semakin menggila!
Tubuhku kembali roboh ke aspal.
10 meter.
Mom,
Dad.
5meter
3meter
2meter
TIDAK!!!
***
“Irene!”
Ketika
aku membuka mata yang pertama kulihat adalah sepasang bola mata biru samudera
milik Dylan yang menatapku dengan cemas. Wajahnya yang pucat berada tepat di
hadapanku.
“Irene, kau bisa mendengarku?” tanya Dylan khawatir,
telapak tangannya yang hangat menyentuh pipiku.
“Dylan,” ucapku
dengan suara yang tercekat di ujung tenggorokan.
Dylan tersenyum lega mendengarnya, “Syukurlah,”
katanya pelan sebelum beranjak untuk memberikan ruang untukku.
“Irene, kau baik-baik saja?” tanya Carly
yang muncul di balik punggung Dylan.
Aku
mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Sesaat aku mengamati suasana di sekelilingku. Sepertinya aku berada di
klinik sekolah.
Syukurlah,
ternyata semua
itu hanya mimpi. Mimpi yang sangat menyeramkan.
Ketika
aku hendak bangkit dari ranjang yang kutiduri kepalaku mendadak kembali terasa
sakit. Berdenyut-denyut perih seperti ditusuk oleh ratusan jarum pintal yang
tajam. Dunia
di sekelilingku kembali berputar membuat tubuhku kembali roboh ke ranjang. Lalu
semuanya kembali gelap.
TBC
“Hey, sepertinya Mr. Goyle tidak datang hari
ini,” kata Carly yang duduk di bangku Dylan yang
sedang kosong.
“Tumben, memang ada apa dengannya?” tanyaku tidak terlalu peduli karena
aku sedang sibuk menelusuri setiap
baris kisah Sherlock Holmes dan Laskar Baker Street. Aku
mendapatkan novel keren ini dari Taylor. Awalnya aku sempat bingung mengapa Taylor
memberikannya padaku. Tapi setelah melihat bibi Corinne mendapatkan buku resep
Sophie Hale dan Ben mendapatkan buku biografi Steve Jobs, kutariklah sebuah
kesimpulan bahwa Taylor baru saja memborong setumpuk buku dari toko buku. Well,
lebih dari itu, sepertinya Taylor adalah jelmaan Santa yang gemar memberi
hadiah.
“Entahlah, tapi kuharap dia tidak sakit,”
Sesaat aku mengamati
Carly yang
hari ini mengikat rambutnya dengan ikatan longgar. Wajahnya benar-benar menunjukan kekhawatiran. Kurasa
pesona guru matematika itu telah menyengatnya. Sebenarnya bukan hanya Carly
yang tergila-gila padanya, kurasa nyaris seluruh gadis di sekolah ini terpikat
oleh sosok Mr. Goyle yang kharismatik.
“Hey, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Carly ketika menyadari tatapanku padanya.
“Aku sedang menghitung berapa jumlah murid cewek di sekolah ini yang
tergila-gila pada titisan Stephen Hawking itu,”
Mendadak
terlihat semburat
merah di wajah Carly. Bola mata birunya berbinar-binar.
“Ka..Kau tahu?”
“Siapa yang tidak akan tahu,” kataku menyeringai geli.
Wajah
Carly
sudah benar-benar merah padam seperti tomat matang yang siap dipetik. Kemudian Carly memutar
badanya untuk
menyembunyikan wajahnya dariku.
“Hey, jangan marah,” kataku. Aku tidak bermaksud untuk menggodanya seperti itu
Setelah beberapa saat Carly kembali memutar badannya untuk
melihatku yang sedang memasang senyuman bersalah. Dia melemparkan tatapan menyimpit yang
aneh. Kemudian dari sudut bibirnya dia bergumam.
"Well,
setidaknya bukan hanya aku yang sedang dilanda demam cinta,"
Carly tidak lagi melihatku. Ekor matanya melirik ke arah kerumunan
orang-orang
di depan kelas dimana terdapat beberapa cowok sedang memamerkan keahlian
mereka dalam menjinakkan bola basket. Sesaat aku meneliti kemana arah tatapan
aneh Carly itu. Sepertinya tatapannya tertuju pada Dylan yang sedang sibuk
menyeimbangkan bola basket yang kini sedang berputar di ujung telunjuk tangan
kirinya. Para gadis menyorakinya dengan nada-nada centil yang menggelikan. Termasuk
Kimberly seorang gadis yang berisik dengan rambut pirang ikal yang liar dari
kelompok pemandu sorak. Luke
juga ada di sana, melakukan hal yang sama persis dengan Dylan. Well, sepertinya sedang ada kompetisi
adu skill di sana. Konyol.
“Sepertinya kau dan Dylan semakin dekat,” kata Carly
tiba-tiba.
Sepertinya aku baru saja menangkap maksud Carly, “Jangan konyol! Aku tidak tertarik pada
sahabatmu si tukang pamer itu!” sergahku dengan nada defensif.
Tapi
Carly malah tertawa mendengarnya, “Benarkah? sulit kupercaya kau menolak pesonanya,”
Kemudian Carly
kembali mengamati
Dylan yang kini sedang sibuk menyeimbangkan dua bola basket sekaligus di
telunjuk tangan kanan dan kirinya.
“Berani taruhan, dia suka padamu,” katanya.
“Jangan mengada-ada,” kubilang, “Bisa-bisa aku dibunuh oleh fangirlsnya
yang gila itu,”
imbuhku
bergidik ngeri.
Carly terkekeh mendengarnya, “Kau benar,” ucapnya, “Oh iya, apa
kau menyaksikan pertandingan Ben kemarin?” tanya Carly mengganti topik pembicaraan.
Aku mengagguk pelan sambil membuka kembali novelku.
Entah mengapa aku tidak tertarik untuk membahas hal itu. Maksudku membahas
mengenai Ben. Seiring dengan berjalannya waktu, Ben mulai menunjukan sisi lain
dirinya yang membuatku takut. Takut karena sisi lain dirinya membuatku semakin
tidak mengerti dirinya.
“Jika Dylan tidak mengatakannya, aku tidak akan
percaya kau
adalah kerabatnya Ben Floyd. Maksudku, beruntung sekali kau bisa tinggal satu rumah dengannya!” seru
Carly berbinar-binar.
Well, aku tidak mengerti mengapa Dylan memberitahu Carly
mengenai hubunganku dengan Ben. Menurutku akan lebih baik jika Carly tidak pernah tahu itu.
“Sepertinya kau adalah seorang pemuja. Tak jauh berbeda
dengan Kimberly centil itu,” kataku dengan tatapan yang kembali fokus pada novel
di tanganku.
“Hey, hey! Tidak ada salahnya jika aku mengidolakan Ben. Dia memang layak
diidolakan oleh seantero gadis di dunia ini. Jangan bilang kau tidak?”
Aku memutar bola mataku mendengarnya, “Well, setidaknya aku bukan
maniak cowok tampan,” sahutku enteng.
Seseorang tiba-tiba membanting pintu kelas kami sampai terbuka. Suaranya begitu
kencang berdebam membuat semua orang terlonjak kaget. Aku
nyaris menjatuhkan novelku ke lantai. Bola basket yang
sejak tadi terus dipertahankan oleh Dylan di telunjuknya kini menggelinding di lantai. Carly
langsung berdiri dari kursinya. Dan Kimberly yang sejak tadi begitu serius menyaksikan aksi Dylan kini
melotot penuh amarah. Dia orang pertama yang menghampiri sosok Mrs. Bred yang muncul dari
balik pintu dengan wajah pucat pasi.
“Mrs Bred, anda mengagetkan kami,” kata Kimberly bukan dengan kemarahan melainkan dengan kesopanan yang dibuat-buat.
Terang saja karena dia sedang berhadapan dengan wakil kepala sekolah.
Mrs
Bred tidak menggubris Kimberly. Dia terus berjalan dengan langkah kaki yang gontai. Setelah dia sampai di tengah ruangan, dia menghadap ke arah
semua murid yang masih keheranan dengan tingkah lakunya. Setelah beberapa detik dalam
kebisuan, dia mulai bersuara.
“Aku baru saja mendapat kabar buruk. Wali kelas kalian, Mr
Goyle
mengalami kecelakaan mobil pagi ini, sekarang dia sedang berada di ruangan ICU rumah sakit Park
Road. Dia sedang berjuang untuk
melewati masa kritisnya. Dan sekarang marilah kita berdoa untuk keselamatannya,”
***
Suasana
kelas XII-B
yang tadinya begitu gaduh dengan pekikan histeris para gadis, obrolan gosip,
senadung tak jelas dan lain sebagainya kini hening. Hanya isak tangis yang samar-samar
terdengar.
Carly
bersandar di bahu Luke, terisak. Mulutnya berkomat-kamit begitu cepat,
berdoa
untuk keselamatan Mr Goyle. Dylan sudah duduk di kursinya yang berada tepat di
sampingku. Dia sudah mencampakan dua bola basketnya yang kini tergeletak begitu
saja di lantai.
Sedangkan
aku.
Kecelakan
mobil di
persimpangan jalan Ruthland Street dan Wakefield Street dekat Aoeta Square, tidak jauh dari
sini.
Truk
pengantar paket yang menabrak Porsche guru matematika itu. Dia pasti berlumuran
darah. Mobilnya pasti hancur. Sama sepertiku dulu.
“Irene,” panggil Dylan yang terdengar sayup-sayup di
telingaku yang berdengung, “Irene,”
Aku hendak menjawab panggilan Dylan ketika mendadak kepalaku terasa sakit. Dunia di sekelilingku
mulai berputar. Pandanganku mulai buram. Lalu semuanya menjadi gelap.
Ketika aku membuka mata, dunia
di sekelilingku berubah. Sejauh mata memandang aku berada di tempat gelap yang
menyesakkan. Hanya ada sekitar empat titik cahaya yang menggantung begitu tinggi dari
dasar yang gelap. Sejenak aku mendongak ke atas. Sepertinya aku berada di ruang
terbuka. Langit malam yang terhampar di atas kepalaku hanya menyiratkan dua titik cahaya bintang
yang kelabu. Selebihnya ditutupi oleh awan mendung yang memberikan kesan penuh
kepedihan.
Aku mulai melangkahkan kakiku.
Mendadak udara di sekelilingku terasa begitu dingin menusuk hingga ke dasar
sanubariku. Langkahku langsung terhenti, tubuhku membeku. Aku tidak bisa
bergerak. Tubuhku terasa begitu lemas tak bertenaga. Tulang-tulang dalam
tubuhku seakan remuk hingga akhirnya aku roboh ke lantai yang terasa begitu
kasar seperti aspal.
Aspal.
Bagaikan tersengat aliran
listrik, aku kontan
terlonjak kaget. Seluruh urat saraf dan ototku menegang. Jantungku serasa
berpacu secepat kuda.
Di tempat aku berdiri. Tikungan 120⁰ rute
pegunungan. Jalanan sepi yang gelap dan berangin. Hanya terdapat sekitar
empat buah
lampu jalan yang remang-remang sebagai pencahayaannya. Di tempat
inilah kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan maut antara Volkswagen Dad dengan truk pengangkut semen itu.
Benar! Walau samar tapi aku tahu di sinilah tempatnya.
Dengan langkah kaki yang terseok-seok,
kutegaskan hati untuk melihat sekeliling. Bagaikan penderita asma, di setiap
derap langkahku aku merasa dadaku dililit oleh tali tambang dengan begitu
kencangnya hingga nafasku sesak.
Memang inilah tempatnya! Inilah jalanannya! Inilah lokasi kecelakaan
itu!
Tapi,
bagaimana mungkin aku bisa berada di sini?
Tiba-tiba dari arah puncak
terdengar derung mesin mobil yang berpacu kencang menuju ke arahku. Itu adalah
suara mesin Volkswagen hitam keluaran tahun 2007 yang sangat kukenal. Itu
mobil Dad! Dari arah
berlawanan terdengar raungan mesin kendaraan berat yang melaju ke arahku
secepat kilat.
Tidak!
Tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Kedua kendaraan itu semakin
mendekati satu sama lain dengan kecepatan yang semakin menggila.
50 meter.
Oh, kepalaku serasa mau pecah!
40 meter.
Paru-paruku serasa dibakar!
30 meter.
Tidak. Aku tidak bisa bergerak!
20 meter.
Oh, aku harus melakukan sesuatu! Aku harus
menghentikannya!
Sial!
Apa yang harus kulakukan?! Tidak boleh terjadi!
Suara kedua kendaraan itu
semakin menggila!
Tubuhku kembali roboh ke aspal.
10 meter.
Mom,
Dad.
5meter
3meter
2meter
TIDAK!!!
***
“Irene!”
Ketika
aku membuka mata yang pertama kulihat adalah sepasang bola mata biru samudera
milik Dylan yang menatapku dengan cemas. Wajahnya yang pucat berada tepat di
hadapanku.
“Irene, kau bisa mendengarku?” tanya Dylan khawatir,
telapak tangannya yang hangat menyentuh pipiku.
“Dylan,” ucapku
dengan suara yang tercekat di ujung tenggorokan.
Dylan tersenyum lega mendengarnya, “Syukurlah,”
katanya pelan sebelum beranjak untuk memberikan ruang untukku.
“Irene, kau baik-baik saja?” tanya Carly
yang muncul di balik punggung Dylan.
Aku
mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Sesaat aku mengamati suasana di sekelilingku. Sepertinya aku berada di
klinik sekolah.
Syukurlah,
ternyata semua
itu hanya mimpi. Mimpi yang sangat menyeramkan.
Ketika
aku hendak bangkit dari ranjang yang kutiduri kepalaku mendadak kembali terasa
sakit. Berdenyut-denyut perih seperti ditusuk oleh ratusan jarum pintal yang
tajam. Dunia
di sekelilingku kembali berputar membuat tubuhku kembali roboh ke ranjang. Lalu
semuanya kembali gelap.
TBC
Komentar
Posting Komentar