Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [VI]

PART 11

.

 “Hey, sepertinya Mr. Goyle tidak datang hari ini,” kata Carly yang duduk di bangku Dylan yang sedang kosong.
Tumben, memang ada apa dengannya?” tanyaku tidak terlalu peduli karena aku sedang sibuk menelusuri setiap baris kisah Sherlock Holmes dan Laskar Baker Street. Aku mendapatkan novel keren ini dari Taylor. Awalnya aku sempat bingung mengapa Taylor memberikannya padaku. Tapi setelah melihat bibi Corinne mendapatkan buku resep Sophie Hale dan Ben mendapatkan buku biografi Steve Jobs, kutariklah sebuah kesimpulan bahwa Taylor baru saja memborong setumpuk buku dari toko buku. Well, lebih dari itu, sepertinya Taylor adalah jelmaan Santa yang gemar memberi hadiah.
Entahlah, tapi kuharap dia tidak sakit,”
Sesaat aku mengamati Carly yang hari ini mengikat rambutnya dengan ikatan longgar. Wajahnya benar-benar menunjukan kekhawatiran. Kurasa pesona guru matematika itu telah menyengatnya. Sebenarnya bukan hanya Carly yang tergila-gila padanya, kurasa nyaris seluruh gadis di sekolah ini terpikat oleh sosok Mr. Goyle yang kharismatik.
Hey, apa yang sedang kau pikirkan? tanya Carly ketika menyadari tatapanku padanya.
 Aku sedang menghitung berapa jumlah murid cewek di sekolah ini yang tergila-gila pada titisan Stephen Hawking itu,”
Mendadak terlihat semburat merah di wajah Carly. Bola mata birunya berbinar-binar.
Ka..Kau tahu?”
Siapa yang tidak akan tahu,” kataku menyeringai geli.
Wajah Carly sudah benar-benar merah padam seperti tomat matang yang siap dipetik. Kemudian Carly memutar badanya untuk menyembunyikan wajahnya dariku.
Hey, jangan marah,” kataku. Aku tidak bermaksud untuk menggodanya seperti itu
Setelah beberapa saat Carly kembali memutar badannya untuk melihatku yang sedang memasang senyuman bersalah. Dia melemparkan tatapan menyimpit yang aneh. Kemudian dari sudut bibirnya dia bergumam.
"Well, setidaknya bukan hanya aku yang sedang dilanda demam cinta,"
Carly tidak lagi melihatku. Ekor matanya melirik ke arah kerumunan orang-orang di depan kelas dimana terdapat beberapa cowok sedang memamerkan keahlian mereka dalam menjinakkan bola basket. Sesaat aku meneliti kemana arah tatapan aneh Carly itu. Sepertinya tatapannya tertuju pada Dylan yang sedang sibuk menyeimbangkan bola basket yang kini sedang berputar di ujung telunjuk tangan kirinya. Para gadis menyorakinya dengan nada-nada centil yang menggelikan. Termasuk Kimberly seorang gadis yang berisik dengan rambut pirang ikal yang liar dari kelompok pemandu sorak. Luke juga ada di sana, melakukan hal yang sama persis dengan Dylan. Well, sepertinya sedang ada kompetisi adu skill  di sana. Konyol.
Sepertinya kau dan Dylan semakin dekat,” kata Carly tiba-tiba.
Sepertinya aku baru saja menangkap maksud Carly, “Jangan konyol! Aku tidak tertarik pada sahabatmu si tukang pamer itu! sergahku dengan nada defensif.
Tapi Carly malah tertawa mendengarnya, “Benarkah? sulit kupercaya kau menolak pesonanya,”
Kemudian Carly kembali mengamati Dylan yang kini sedang sibuk menyeimbangkan dua bola basket sekaligus di telunjuk tangan kanan dan kirinya.
Berani taruhan, dia suka padamu,” katanya.
“Jangan mengada-ada,” kubilang, “Bisa-bisa aku dibunuh oleh fangirlsnya yang gila itu,” imbuhku bergidik ngeri.
Carly terkekeh mendengarnya, “Kau benar,” ucapnya, “Oh iya, apa kau menyaksikan pertandingan Ben kemarin? tanya Carly mengganti topik pembicaraan.
Aku mengagguk pelan sambil membuka kembali novelku. Entah mengapa aku tidak tertarik untuk membahas hal itu. Maksudku membahas mengenai Ben. Seiring dengan berjalannya waktu, Ben mulai menunjukan sisi lain dirinya yang membuatku takut. Takut karena sisi lain dirinya membuatku semakin tidak mengerti dirinya.
“Jika Dylan tidak mengatakannya, aku tidak akan percaya kau adalah kerabatnya Ben Floyd. Maksudku, beruntung sekali kau bisa tinggal satu rumah dengannya!” seru Carly berbinar-binar.
Well, aku tidak mengerti mengapa Dylan memberitahu Carly mengenai hubunganku dengan Ben. Menurutku  akan lebih baik jika Carly tidak pernah tahu itu.
Sepertinya kau adalah seorang pemuja. Tak jauh berbeda dengan Kimberly centil itu,” kataku dengan tatapan yang kembali fokus pada novel di tanganku.
Hey, hey! Tidak ada salahnya jika aku mengidolakan Ben. Dia memang layak diidolakan oleh seantero gadis di dunia ini. Jangan bilang kau tidak?”
Aku memutar bola mataku mendengarnya, “Well, setidaknya aku bukan maniak cowok tampan,” sahutku enteng.
Seseorang tiba-tiba membanting pintu kelas kami sampai terbuka. Suaranya begitu kencang berdebam membuat semua orang terlonjak kaget. Aku nyaris menjatuhkan novelku ke lantai.  Bola basket yang sejak tadi terus dipertahankan oleh Dylan di telunjuknya kini menggelinding di lantai. Carly langsung berdiri dari kursinya. Dan Kimberly yang sejak tadi begitu serius menyaksikan aksi Dylan kini melotot penuh amarah. Dia orang pertama yang menghampiri sosok Mrs. Bred yang muncul dari balik pintu dengan wajah pucat pasi.
Mrs Bred, anda mengagetkan kami,” kata Kimberly bukan dengan kemarahan melainkan dengan kesopanan yang dibuat-buat. Terang saja karena dia sedang berhadapan dengan wakil kepala sekolah.
Mrs Bred tidak menggubris Kimberly. Dia terus berjalan dengan langkah kaki yang gontai. Setelah dia sampai di tengah ruangan, dia menghadap ke arah semua murid yang masih keheranan dengan tingkah lakunya. Setelah beberapa detik dalam kebisuan, dia mulai bersuara.
Aku baru saja mendapat kabar buruk. Wali kelas kalian, Mr Goyle mengalami kecelakaan mobil pagi ini, sekarang dia sedang berada di ruangan ICU rumah sakit Park Road. Dia sedang berjuang untuk melewati masa kritisnya. Dan sekarang marilah kita berdoa untuk keselamatannya,”

***

Suasana kelas XII-B yang tadinya begitu gaduh dengan pekikan histeris para gadis, obrolan gosip, senadung tak jelas dan lain sebagainya kini hening. Hanya isak tangis yang samar-samar terdengar.
Carly bersandar di bahu Luke, terisak. Mulutnya berkomat-kamit begitu cepat, berdoa untuk keselamatan Mr Goyle. Dylan sudah duduk di kursinya yang berada tepat di sampingku. Dia sudah mencampakan dua bola basketnya yang kini tergeletak begitu saja di lantai.
Sedangkan aku.
Kecelakan mobil di persimpangan jalan Ruthland Street dan Wakefield Street dekat Aoeta Square, tidak jauh dari sini. Truk pengantar paket yang menabrak Porsche guru matematika itu. Dia pasti berlumuran darah. Mobilnya pasti hancur. Sama sepertiku dulu.
“Irene,” panggil Dylan yang terdengar sayup-sayup di telingaku yang berdengung, “Irene,”
Aku hendak menjawab panggilan Dylan ketika mendadak kepalaku terasa sakit. Dunia di sekelilingku mulai berputar. Pandanganku mulai buram. Lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika aku membuka mata, dunia di sekelilingku berubah. Sejauh mata memandang aku berada di tempat gelap yang menyesakkan. Hanya ada sekitar empat titik cahaya yang menggantung begitu tinggi dari dasar yang gelap. Sejenak aku mendongak ke atas. Sepertinya aku berada di ruang terbuka. Langit malam yang terhampar di atas kepalaku hanya menyiratkan dua titik cahaya bintang yang kelabu. Selebihnya ditutupi oleh awan mendung yang memberikan kesan penuh kepedihan.
Aku mulai melangkahkan kakiku. Mendadak udara di sekelilingku terasa begitu dingin menusuk hingga ke dasar sanubariku. Langkahku langsung terhenti, tubuhku membeku. Aku tidak bisa bergerak. Tubuhku terasa begitu lemas tak bertenaga. Tulang-tulang dalam tubuhku seakan remuk hingga akhirnya aku roboh ke lantai yang terasa begitu kasar seperti aspal.
Aspal.
Bagaikan tersengat aliran listrik, aku kontan terlonjak kaget. Seluruh urat saraf dan ototku menegang. Jantungku serasa berpacu secepat kuda.  
Di tempat aku berdiri. Tikungan 120 rute pegunungan. Jalanan sepi yang gelap dan berangin. Hanya terdapat sekitar empat buah lampu jalan yang remang-remang sebagai pencahayaannya.  Di tempat inilah kecelakaan itu terjadi. Kecelakaan maut antara Volkswagen Dad dengan truk pengangkut semen itu.
 Benar! Walau samar tapi aku tahu di sinilah tempatnya.
Dengan langkah kaki yang terseok-seok, kutegaskan hati untuk melihat sekeliling. Bagaikan penderita asma, di setiap derap langkahku aku merasa dadaku dililit oleh tali tambang dengan begitu kencangnya hingga nafasku sesak.
Memang inilah tempatnya! Inilah jalanannya! Inilah lokasi kecelakaan itu!
Tapi, bagaimana mungkin aku bisa berada di sini?
Tiba-tiba dari arah puncak terdengar derung mesin mobil yang berpacu kencang menuju ke arahku. Itu adalah suara mesin Volkswagen hitam keluaran tahun 2007 yang sangat kukenal. Itu mobil Dad! Dari arah berlawanan terdengar raungan mesin kendaraan berat yang melaju ke arahku secepat kilat.
Tidak! Tidak! Itu tidak boleh terjadi!
Kedua kendaraan itu semakin mendekati satu sama lain dengan kecepatan yang semakin menggila.
50 meter.
Oh, kepalaku serasa mau pecah!
40 meter.
Paru-paruku serasa dibakar!
30 meter.
Tidak. Aku tidak bisa bergerak!
20 meter.
Oh, aku harus melakukan sesuatu! Aku harus menghentikannya!
Sial! Apa yang harus kulakukan?! Tidak boleh terjadi!
Suara kedua kendaraan itu semakin menggila! Tubuhku kembali roboh ke aspal.
10 meter.
Mom, Dad.
5meter
3meter
2meter
TIDAK!!!

***

Irene!
Ketika aku membuka mata yang pertama kulihat adalah sepasang bola mata biru samudera milik Dylan yang menatapku dengan cemas. Wajahnya yang pucat berada tepat di hadapanku.
“Irene, kau bisa mendengarku?” tanya Dylan khawatir, telapak tangannya yang hangat menyentuh pipiku.
 “Dylan,” ucapku dengan suara yang tercekat di ujung tenggorokan.
Dylan tersenyum lega mendengarnya, “Syukurlah,” katanya pelan sebelum beranjak untuk memberikan ruang untukku.
Irene, kau baik-baik saja? tanya Carly yang muncul di balik punggung Dylan.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. Sesaat aku mengamati suasana di sekelilingku. Sepertinya aku berada di klinik sekolah. Syukurlah, ternyata semua itu hanya mimpi. Mimpi yang sangat menyeramkan.
Ketika aku hendak bangkit dari ranjang yang kutiduri kepalaku mendadak kembali terasa sakit. Berdenyut-denyut perih seperti ditusuk oleh ratusan jarum pintal yang tajam. Dunia di sekelilingku kembali berputar membuat tubuhku kembali roboh ke ranjang. Lalu semuanya kembali gelap.


TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b