Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB IV]

PART 8

.

Berjalan sesuai dengan rencana bibi Corinne, orang-orang mulai berdatangan pada pukul enam ketika langit berubah menjadi gelap menyambut datangnya malam. Ada banyak orang yang datang, lebih banyak dari yang kubayangkan. Sankin banyaknya, teman sekelasku, Dylan, ikut datang. Pemuda berambut pirang berantakan itu datang dengan mengenakan Polo t-shirt berwarna biru dongker yang kasual, celana denim berwarna hitam serta sneaker putih.  Dylan menyapaku dengan senyuman lebar yang mengembang di wajahnya yang tidak berdosa ketika aku menyambutnya di pintu masuk.
 Entah siapa gerangan yang mengundangnya?
Aku bercanda!
Sebenarnya tidak sebegitu banyaknya sehingga orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan keluarga bibi Corinne ikut diundang. Dan Dylan, atau lebih tepatnya Dylan Craig, dia datang karena dia memang diundang. Bukan karena dia teman sekelasku, melainkan karena dia adalah sepupu Ben. Bibi Corinne mengatakan kepadaku bahwa ibu Dylan adalah adiknya.
Well, aku masih belum bisa mempercayai semua itu.
“Jadi, Irene, kau suka tinggal di sini?” tanya bibi Caitlin ketika aku menyambutnya di pintu masuk.
Bibi Caitlin adalah adik bibi Corinne. Melihat penampilan fisik mereka, semua orang akan tahu bahwa mereka berdua bersaudara. Bibi Caitlin memiliki struktur wajah yang hampir sama dengan bibi Corinne, kecuali matanya yang berwarna lebih gelap. Rambutnya berwarna lebih terang dari warna rambut bibi Corinne, cokelat keemasan yang hampir terlihat pirang. Kulitnya juga lebih gelap dari kulit bibi Corinne, agak kecokelatan yang mengingatkanku pada Dylan. Aku berpikir, mungkin keluarga mereka pernah menetap di sebuah negara tropis di Asia Tenggara sebelum kembali ke Selandia Baru.
“Suka,” jawabku kepada bibi Caitlin.
Bibi Caitlin tersenyum kepadaku sebelum meninggalkanku untuk menghampiri bibi Corinne.
“Irene!” panggil Taylor.
Aku menoleh, melihat Taylor berjalan menghampiriku. Tapi Taylor tidak sendirian, dia memiliki Ben yang berada dekat di sampingnya. Well, kenyataannya malah Taylor memeluk lengan kiri Ben dengan erat, seolah-olah ingin menunjukan kepada setiap orang bahwa mereka berdua saling memiliki. Seandainya memang benar begitu, maka mereka akan menjadi pasangan yang sangat serasi. Keserasian paras mereka yang sempurna kurasa akan membuat siapapun iri. Walaupun aku tidak merasa kepribadian mereka akan cocok satu sama lain. Maksudku, Ben terlalu dingin untuk Taylor yang begitu hangat. Atau mungkin mereka bisa saling melengkapi.
Well, sekarang aku membayangkan, bagaimana seandainya aku yang berada di posisi Taylor? Bagaimana seandainya aku yang memegang tangan Ben dengan erat? Mungkin aku akan terlihat seperti bocah kecil penakut yang minta diseberangkan oleh pemuda tampan yang pemarah.
Kupikir ada yang salah dengan imajinasiku. 
“Ayo ke ruang makan. Yang lain sudah menunggu,” kata Taylor.
Aku mengangguk, menghiraukan tatapan aneh yang diberikan oleh Ben, lalu mengikuti mereka menuju ruang makan.
Aku cukup terkejut ketika melihat ruang makan yang biasanya sepi kini mendadak penuh oleh orang-orang yang mengisi hampir semua kursi yang tersedia. Meja makan yang biasanya lebih terlihat seperti pajangan di toko furniture, kini terisi oleh berbagai macam makanan dan minuman yang lezat.
“Irene!” panggil Dylan berdiri dari kursinya.
Dylan melambaikan tangan memberikan isyarat padaku untuk duduk di sampingnya. Aku hampir melupakan kehadirannya di rumah ini. Well, setelah menyambutnya, aku belum bertemu lagi dengannya. Mungkin dia sengaja menghindariku karena dia tahu aku memiliki sejumlah pertanyaan yang harus dijawab olehnya.
Dylan menarik keluar kursi di sampingnya, lalu dengan amat sopan dia mempersilahkanku duduk. Aku hanya menatapnya bingung selama beberapa saat sebelum duduk.
Terimakasih,ungkapku.
“Sama-sama,” jawab Dylan dengan senyuman lebar di wajahnya.
Aku menatap Dylan heran sesaat sebelum pandanganku kembali menangkap sosok Taylor dan Ben. Mereka duduk berdampingan di kursi yang terlalu jauh bagiku untuk mendengar apa yang sedang mereka bicarakan dengan kedua orangtua Dylan yang duduk berhadap-hadapan dengan mereka.
Kau sudah mengenal Taylor?tanya Dylan menyadari pandanganku pada Taylor.
Aku bertemu dengannya tadi siang,” jawabku.
Aku memalingkan wajahku dari Dylan, mencari-cari sosok bibi Corinne yang tidak ada dimana pun. Bukan aku kelaparan sehingga aku ingin segera merobek daging yang ada di hadapanku., aku hanya ingin acara ini cepat selesai agar aku bisa beristirahat di kamarku yang hangat.
Akhirnya kuputuskan untuk mengalihkan perhatianku dengan memulai perbincangan dengan Dylan. Well, aku memiliki pertanyaan untuk pemuda aneh di sampingku itu.
Jadi,” gumamku menarik perhatian Dylan, “Apakah kau tidak terkejut?” tanyaku.
Terkejut? tanya Dylan tidak mengerti.
Well, apa kau tidak terkejut melihatku di sini?” tanyaku mendesak, “Kau adalah sepupu Ben. Tentunya kau sering datang ke rumah ini,imbuhku.
Dylan menatapku sejenak, Kau sendiri?” tanyanya.
Aku menatap Dylan kesal, “Apa kau tidak melihat tampang konyolku  tadi saat kau menyapaku,” kataku menggerutu.
Dylan malah tertawa, “Well, aku suka melihat ekspresimu yang tadi itu,”
Karena kesal aku memalingkan wajahku dari Dylan menuju Taylor dan Ben. Aku mengamati mereka sejenak. Mereka terlihat seperti sedang membicarakan sesuatu. Akan tetapi itu terlihat seperti pembicaraan satu arah. Maksudku, aku melihat Taylor membicara panjang lebar, tapi aku tidak melihat Ben mengatakan apa pun untuk memberikan tanggapan.
 Hey, hey. Aku hanya bercanda,kata Dylan kemudian sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahku untuk menarik perhatianku.
Dylan berhasil, seratus persen perhatianku tertuju padanya.
“Baiklah, aku tidak terkejut,” ungkap Dylan, ”Aku sudah diberitahu oleh bibi Corinne sebelumnya,”
Aku menatap Dylan tidak mengerti, “Benarkah?”
Dylan mengangguk pelan, “Ya. Bibi Corinne bilang kau akan sekolah di sekolahku. Ben juga sempat bercerita sedikit tentangmu,” katanya menjelaskan.
 “Ben bercerita tentangku?” tanyaku tidak percaya.
Dylan kembali mengangguk mengiyakan.
“Bercerita tentang apa?” tanyaku lagi.
Dylan terdiam sejenak. Bola mata berwarna biru samudera miliknya menatapku dengan sendu.
Oh, aku tidak suka dengan tatapannya. Seolah-olah dia melihatku sebagai orang yang paling menyedihkan di dunia ini.
“Aku tur-,”
“Aku tidak ingin membahasnya,” kataku tegas memotong perkataan Dylan.
Aku mengambil segelas air putih yang ada di hadapanku lalu meneguknya sampai habis. Dengan cairan segar yang mengalir dalam kerongkonganku setidaknya bisa menjaga agar emosiku tetap terkendali.
“Maafkan aku, Irene. Seharusnya aku memberitahumu sejak awal,” ucap Dylan menyesal.
“Sudahlah. Toh sekarang aku sudah tahu,” kataku terdengar lebih tajam dari yang kuinginkan.
“Kau marah?” tanya Dylan khawatir.
Kali ini aku menatapnya, “Untuk apa aku marah?” aku balik bertanya.
Dylan mengamatiku sejenak untuk memastikan apakah aku bersungguh-sungguh, “Baguslah kalau begitu,” katanya sambil tersenyum lega.
 Aku membalas senyumannya untuk menyakinkan bahwa aku memang tidak marah. Kemudian mataku kembali menerobos keramaian menuju sesosok pria yang saat ini sedang meneguk air putihnya. Dia adalah orang yang menjemputku di rumah sakit menuju rumah baruku, orang yang menyebalkan yang melihatku menangis dan menghapus air mataku.
Sebenarnya Ben menganggapku apa? Mengapa sikapnya berubah-ubah terhadapku? Walaupun dia lebih sering bertindak menyebalkan tapi ada kalanya dia melunak. Maksudku dia sudah mengantar-jemputku selama beberapa hari. Walaupun aku tahu dia dalam keadaan terpaksa., tapi siapa tahu kalau hatinya tulus.
Tiba-tiba bola mata cokelat milik Ben mendarat kepadaku. Sepertinya Ben menyadari tatapanku kepadanya. Ben membalas tatapanku dengan ekspresi wajah yang tidak kumengerti. Selalu tidak kumengerti.
Tidak sanggup lagi menerima tatapannya yang seolah-olah mengintimidasiku, aku merendahkan pandanganku. Lalu tak lama bibi Corinne pun muncul, membuatku menghembuskan nafas yang tidak sengaja kutahan.
Tunggu apa lagi? Mari kita menyantap hidangan yang lezat ini,” seru bibi Corinne.
Hey, kau baik-baik saja?” tanya Dylan  khawatir.
Aku tersenyum lemah menanggapi pertanyaannya. Tak lama ruang makan dipenuhi oleh denting pertemuan antara sendok dan mangkuk.
Bibi memang pandai memasak,gumam Dylan dengan mulut yang dipenuhi makanan.
Kau sering makan di sini?” tanyaku.
Dylan mengangguk, Tak terhitung,

END - BAB IV

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b