PART 8
.
Berjalan sesuai dengan rencana
bibi Corinne, orang-orang mulai berdatangan pada pukul enam ketika langit berubah menjadi gelap menyambut datangnya
malam. Ada banyak orang yang datang, lebih banyak dari
yang kubayangkan. Sankin banyaknya, teman sekelasku, Dylan, ikut datang. Pemuda berambut pirang berantakan itu datang dengan mengenakan Polo t-shirt berwarna biru dongker yang kasual, celana denim berwarna
hitam serta sneaker putih. Dylan menyapaku dengan senyuman lebar yang mengembang di wajahnya yang tidak berdosa
ketika aku menyambutnya di pintu masuk.
Entah siapa
gerangan yang mengundangnya?
Aku bercanda!
Sebenarnya tidak sebegitu banyaknya sehingga orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan keluarga bibi Corinne
ikut diundang. Dan Dylan, atau lebih
tepatnya Dylan Craig, dia datang karena dia memang diundang. Bukan karena dia teman sekelasku, melainkan karena dia adalah sepupu Ben.
Bibi Corinne mengatakan kepadaku bahwa ibu Dylan adalah adiknya.
Well, aku masih belum bisa mempercayai semua itu.
“Jadi, Irene, kau suka
tinggal di sini?” tanya bibi Caitlin ketika aku menyambutnya di pintu masuk.
Bibi Caitlin adalah
adik bibi Corinne. Melihat penampilan fisik mereka, semua orang akan tahu bahwa
mereka berdua bersaudara. Bibi Caitlin memiliki struktur wajah yang hampir sama
dengan bibi Corinne, kecuali matanya yang berwarna lebih gelap. Rambutnya
berwarna lebih terang dari warna rambut bibi Corinne, cokelat keemasan yang
hampir terlihat pirang. Kulitnya juga lebih gelap dari kulit bibi Corinne, agak
kecokelatan yang mengingatkanku pada Dylan. Aku berpikir, mungkin keluarga
mereka pernah menetap di sebuah negara tropis di Asia Tenggara sebelum kembali
ke Selandia Baru.
“Suka,” jawabku kepada
bibi Caitlin.
Bibi Caitlin tersenyum
kepadaku sebelum meninggalkanku untuk menghampiri bibi Corinne.
“Irene!” panggil
Taylor.
Aku menoleh, melihat
Taylor berjalan menghampiriku. Tapi Taylor tidak sendirian, dia memiliki Ben
yang berada dekat di sampingnya. Well,
kenyataannya malah Taylor memeluk lengan kiri Ben dengan erat, seolah-olah
ingin menunjukan kepada setiap orang bahwa mereka berdua saling memiliki.
Seandainya memang benar begitu, maka mereka akan menjadi pasangan yang sangat
serasi. Keserasian paras mereka yang
sempurna kurasa akan membuat siapapun iri. Walaupun aku tidak merasa
kepribadian mereka akan cocok satu sama lain. Maksudku, Ben terlalu dingin
untuk Taylor yang begitu hangat. Atau mungkin mereka bisa saling melengkapi.
Well, sekarang aku membayangkan, bagaimana seandainya aku yang
berada di posisi Taylor? Bagaimana seandainya aku yang memegang tangan Ben
dengan erat? Mungkin aku akan terlihat seperti bocah kecil penakut yang minta
diseberangkan oleh pemuda tampan yang pemarah.
Kupikir ada yang salah
dengan imajinasiku.
“Ayo ke ruang makan.
Yang lain sudah menunggu,” kata Taylor.
Aku mengangguk,
menghiraukan tatapan aneh yang diberikan oleh Ben, lalu mengikuti mereka menuju
ruang makan.
Aku cukup terkejut
ketika melihat ruang makan yang
biasanya sepi kini mendadak penuh oleh orang-orang yang mengisi hampir
semua kursi yang tersedia. Meja
makan yang biasanya lebih
terlihat seperti pajangan di toko furniture, kini terisi oleh berbagai macam
makanan dan minuman yang lezat.
“Irene!” panggil Dylan berdiri dari kursinya.
Dylan melambaikan
tangan memberikan isyarat padaku untuk duduk di sampingnya. Aku hampir
melupakan kehadirannya di rumah ini. Well,
setelah menyambutnya, aku belum bertemu lagi dengannya. Mungkin dia sengaja
menghindariku karena dia tahu aku memiliki sejumlah pertanyaan yang harus
dijawab olehnya.
Dylan menarik keluar kursi di sampingnya, lalu dengan amat sopan dia
mempersilahkanku duduk. Aku hanya menatapnya bingung selama beberapa
saat sebelum duduk.
“Terimakasih,” ungkapku.
“Sama-sama,” jawab Dylan dengan senyuman
lebar di wajahnya.
Aku menatap Dylan heran
sesaat sebelum pandanganku kembali menangkap sosok Taylor dan Ben. Mereka duduk berdampingan di kursi yang terlalu jauh bagiku
untuk mendengar apa yang sedang mereka bicarakan dengan kedua orangtua Dylan yang duduk berhadap-hadapan dengan mereka.
“Kau sudah mengenal Taylor?” tanya Dylan menyadari pandanganku pada Taylor.
“Aku bertemu dengannya tadi siang,” jawabku.
Aku memalingkan wajahku
dari Dylan, mencari-cari sosok bibi Corinne yang tidak ada dimana pun. Bukan
aku kelaparan sehingga aku ingin segera merobek daging yang ada di hadapanku.,
aku hanya ingin acara ini cepat selesai agar aku bisa beristirahat di kamarku
yang hangat.
Akhirnya kuputuskan untuk
mengalihkan perhatianku dengan memulai perbincangan dengan Dylan. Well, aku memiliki pertanyaan untuk
pemuda aneh di sampingku itu.
“Jadi,” gumamku menarik perhatian Dylan, “Apakah kau tidak terkejut?” tanyaku.
“Terkejut?” tanya Dylan tidak mengerti.
“Well, apa kau tidak
terkejut melihatku di sini?” tanyaku mendesak, “Kau adalah sepupu Ben. Tentunya kau sering datang ke rumah
ini,” imbuhku.
Dylan menatapku sejenak,
“Kau sendiri?” tanyanya.
Aku menatap Dylan kesal, “Apa kau tidak melihat
tampang konyolku tadi saat kau menyapaku,” kataku menggerutu.
Dylan malah tertawa, “Well, aku suka melihat ekspresimu yang tadi itu,”
Karena kesal aku memalingkan wajahku dari Dylan menuju Taylor dan Ben.
Aku mengamati mereka sejenak. Mereka terlihat seperti sedang membicarakan
sesuatu. Akan tetapi itu terlihat seperti pembicaraan satu arah. Maksudku, aku
melihat Taylor membicara panjang lebar, tapi aku tidak melihat Ben mengatakan
apa pun untuk memberikan tanggapan.
“Hey, hey. Aku hanya bercanda,” kata Dylan kemudian sambil
mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahku untuk menarik perhatianku.
Dylan berhasil, seratus
persen perhatianku tertuju padanya.
“Baiklah, aku tidak terkejut,” ungkap Dylan, ”Aku
sudah diberitahu oleh bibi Corinne sebelumnya,”
Aku menatap Dylan tidak
mengerti, “Benarkah?”
Dylan mengangguk pelan,
“Ya. Bibi Corinne bilang kau akan sekolah di sekolahku. Ben juga sempat
bercerita sedikit tentangmu,” katanya menjelaskan.
“Ben bercerita tentangku?” tanyaku tidak
percaya.
Dylan kembali
mengangguk mengiyakan.
“Bercerita tentang
apa?” tanyaku lagi.
Dylan terdiam sejenak.
Bola mata berwarna biru samudera
miliknya menatapku dengan sendu.
Oh, aku tidak suka
dengan tatapannya. Seolah-olah dia melihatku sebagai orang yang paling
menyedihkan di dunia ini.
“Aku tur-,”
“Aku tidak ingin
membahasnya,” kataku tegas memotong perkataan Dylan.
Aku mengambil segelas
air putih yang ada di hadapanku lalu meneguknya sampai habis. Dengan cairan segar
yang mengalir dalam kerongkonganku setidaknya bisa menjaga agar emosiku tetap
terkendali.
“Maafkan aku, Irene. Seharusnya
aku memberitahumu sejak awal,” ucap Dylan menyesal.
“Sudahlah. Toh sekarang
aku sudah tahu,” kataku terdengar lebih tajam dari yang kuinginkan.
“Kau marah?” tanya
Dylan khawatir.
Kali ini aku
menatapnya, “Untuk apa aku marah?” aku balik bertanya.
Dylan mengamatiku
sejenak untuk memastikan apakah aku bersungguh-sungguh, “Baguslah kalau begitu,”
katanya sambil tersenyum lega.
Aku membalas senyumannya untuk menyakinkan
bahwa aku memang tidak marah. Kemudian mataku kembali menerobos
keramaian menuju sesosok pria yang saat ini sedang meneguk air putihnya. Dia adalah orang yang
menjemputku di rumah sakit menuju rumah baruku, orang yang menyebalkan yang melihatku menangis dan
menghapus air mataku.
Sebenarnya Ben menganggapku
apa? Mengapa sikapnya berubah-ubah terhadapku? Walaupun dia lebih sering
bertindak menyebalkan tapi ada kalanya dia melunak. Maksudku dia sudah
mengantar-jemputku selama beberapa hari. Walaupun aku tahu dia dalam keadaan
terpaksa., tapi siapa tahu kalau hatinya tulus.
Tiba-tiba bola mata cokelat
milik Ben mendarat kepadaku. Sepertinya Ben menyadari tatapanku kepadanya. Ben membalas tatapanku dengan ekspresi wajah yang tidak kumengerti. Selalu tidak kumengerti.
Tidak sanggup lagi
menerima tatapannya yang seolah-olah mengintimidasiku, aku merendahkan
pandanganku. Lalu tak lama bibi Corinne pun muncul, membuatku menghembuskan nafas yang
tidak sengaja kutahan.
“Tunggu apa lagi? Mari kita menyantap hidangan yang lezat ini,” seru bibi Corinne.
“Hey, kau baik-baik saja?” tanya Dylan khawatir.
Aku tersenyum lemah menanggapi pertanyaannya. Tak lama ruang makan dipenuhi
oleh denting pertemuan antara sendok dan mangkuk.
“Bibi memang pandai memasak,” gumam Dylan dengan mulut yang dipenuhi makanan.
“Kau sering makan di sini?” tanyaku.
Dylan mengangguk, “Tak terhitung,”
END - BAB IV
Berjalan sesuai dengan rencana
bibi Corinne, orang-orang mulai berdatangan pada pukul enam ketika langit berubah menjadi gelap menyambut datangnya
malam. Ada banyak orang yang datang, lebih banyak dari
yang kubayangkan. Sankin banyaknya, teman sekelasku, Dylan, ikut datang. Pemuda berambut pirang berantakan itu datang dengan mengenakan Polo t-shirt berwarna biru dongker yang kasual, celana denim berwarna
hitam serta sneaker putih. Dylan menyapaku dengan senyuman lebar yang mengembang di wajahnya yang tidak berdosa
ketika aku menyambutnya di pintu masuk.
Entah siapa
gerangan yang mengundangnya?
Aku bercanda!
Sebenarnya tidak sebegitu banyaknya sehingga orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan keluarga bibi Corinne
ikut diundang. Dan Dylan, atau lebih
tepatnya Dylan Craig, dia datang karena dia memang diundang. Bukan karena dia teman sekelasku, melainkan karena dia adalah sepupu Ben.
Bibi Corinne mengatakan kepadaku bahwa ibu Dylan adalah adiknya.
Well, aku masih belum bisa mempercayai semua itu.
“Jadi, Irene, kau suka
tinggal di sini?” tanya bibi Caitlin ketika aku menyambutnya di pintu masuk.
Bibi Caitlin adalah
adik bibi Corinne. Melihat penampilan fisik mereka, semua orang akan tahu bahwa
mereka berdua bersaudara. Bibi Caitlin memiliki struktur wajah yang hampir sama
dengan bibi Corinne, kecuali matanya yang berwarna lebih gelap. Rambutnya
berwarna lebih terang dari warna rambut bibi Corinne, cokelat keemasan yang
hampir terlihat pirang. Kulitnya juga lebih gelap dari kulit bibi Corinne, agak
kecokelatan yang mengingatkanku pada Dylan. Aku berpikir, mungkin keluarga
mereka pernah menetap di sebuah negara tropis di Asia Tenggara sebelum kembali
ke Selandia Baru.
“Suka,” jawabku kepada
bibi Caitlin.
Bibi Caitlin tersenyum
kepadaku sebelum meninggalkanku untuk menghampiri bibi Corinne.
“Irene!” panggil
Taylor.
Aku menoleh, melihat
Taylor berjalan menghampiriku. Tapi Taylor tidak sendirian, dia memiliki Ben
yang berada dekat di sampingnya. Well,
kenyataannya malah Taylor memeluk lengan kiri Ben dengan erat, seolah-olah
ingin menunjukan kepada setiap orang bahwa mereka berdua saling memiliki.
Seandainya memang benar begitu, maka mereka akan menjadi pasangan yang sangat
serasi. Keserasian paras mereka yang
sempurna kurasa akan membuat siapapun iri. Walaupun aku tidak merasa
kepribadian mereka akan cocok satu sama lain. Maksudku, Ben terlalu dingin
untuk Taylor yang begitu hangat. Atau mungkin mereka bisa saling melengkapi.
Well, sekarang aku membayangkan, bagaimana seandainya aku yang
berada di posisi Taylor? Bagaimana seandainya aku yang memegang tangan Ben
dengan erat? Mungkin aku akan terlihat seperti bocah kecil penakut yang minta
diseberangkan oleh pemuda tampan yang pemarah.
Kupikir ada yang salah
dengan imajinasiku.
“Ayo ke ruang makan.
Yang lain sudah menunggu,” kata Taylor.
Aku mengangguk,
menghiraukan tatapan aneh yang diberikan oleh Ben, lalu mengikuti mereka menuju
ruang makan.
Aku cukup terkejut
ketika melihat ruang makan yang
biasanya sepi kini mendadak penuh oleh orang-orang yang mengisi hampir
semua kursi yang tersedia. Meja
makan yang biasanya lebih
terlihat seperti pajangan di toko furniture, kini terisi oleh berbagai macam
makanan dan minuman yang lezat.
“Irene!” panggil Dylan berdiri dari kursinya.
Dylan melambaikan
tangan memberikan isyarat padaku untuk duduk di sampingnya. Aku hampir
melupakan kehadirannya di rumah ini. Well,
setelah menyambutnya, aku belum bertemu lagi dengannya. Mungkin dia sengaja
menghindariku karena dia tahu aku memiliki sejumlah pertanyaan yang harus
dijawab olehnya.
Dylan menarik keluar kursi di sampingnya, lalu dengan amat sopan dia
mempersilahkanku duduk. Aku hanya menatapnya bingung selama beberapa
saat sebelum duduk.
“Terimakasih,” ungkapku.
“Sama-sama,” jawab Dylan dengan senyuman
lebar di wajahnya.
Aku menatap Dylan heran
sesaat sebelum pandanganku kembali menangkap sosok Taylor dan Ben. Mereka duduk berdampingan di kursi yang terlalu jauh bagiku
untuk mendengar apa yang sedang mereka bicarakan dengan kedua orangtua Dylan yang duduk berhadap-hadapan dengan mereka.
“Kau sudah mengenal Taylor?” tanya Dylan menyadari pandanganku pada Taylor.
“Aku bertemu dengannya tadi siang,” jawabku.
Aku memalingkan wajahku
dari Dylan, mencari-cari sosok bibi Corinne yang tidak ada dimana pun. Bukan
aku kelaparan sehingga aku ingin segera merobek daging yang ada di hadapanku.,
aku hanya ingin acara ini cepat selesai agar aku bisa beristirahat di kamarku
yang hangat.
Akhirnya kuputuskan untuk
mengalihkan perhatianku dengan memulai perbincangan dengan Dylan. Well, aku memiliki pertanyaan untuk
pemuda aneh di sampingku itu.
“Jadi,” gumamku menarik perhatian Dylan, “Apakah kau tidak terkejut?” tanyaku.
“Terkejut?” tanya Dylan tidak mengerti.
“Well, apa kau tidak
terkejut melihatku di sini?” tanyaku mendesak, “Kau adalah sepupu Ben. Tentunya kau sering datang ke rumah
ini,” imbuhku.
Dylan menatapku sejenak,
“Kau sendiri?” tanyanya.
Aku menatap Dylan kesal, “Apa kau tidak melihat
tampang konyolku tadi saat kau menyapaku,” kataku menggerutu.
Dylan malah tertawa, “Well, aku suka melihat ekspresimu yang tadi itu,”
Karena kesal aku memalingkan wajahku dari Dylan menuju Taylor dan Ben.
Aku mengamati mereka sejenak. Mereka terlihat seperti sedang membicarakan
sesuatu. Akan tetapi itu terlihat seperti pembicaraan satu arah. Maksudku, aku
melihat Taylor membicara panjang lebar, tapi aku tidak melihat Ben mengatakan
apa pun untuk memberikan tanggapan.
“Hey, hey. Aku hanya bercanda,” kata Dylan kemudian sambil
mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajahku untuk menarik perhatianku.
Dylan berhasil, seratus
persen perhatianku tertuju padanya.
“Baiklah, aku tidak terkejut,” ungkap Dylan, ”Aku
sudah diberitahu oleh bibi Corinne sebelumnya,”
Aku menatap Dylan tidak
mengerti, “Benarkah?”
Dylan mengangguk pelan,
“Ya. Bibi Corinne bilang kau akan sekolah di sekolahku. Ben juga sempat
bercerita sedikit tentangmu,” katanya menjelaskan.
“Ben bercerita tentangku?” tanyaku tidak
percaya.
Dylan kembali
mengangguk mengiyakan.
“Bercerita tentang
apa?” tanyaku lagi.
Dylan terdiam sejenak.
Bola mata berwarna biru samudera
miliknya menatapku dengan sendu.
Oh, aku tidak suka
dengan tatapannya. Seolah-olah dia melihatku sebagai orang yang paling
menyedihkan di dunia ini.
“Aku tur-,”
“Aku tidak ingin
membahasnya,” kataku tegas memotong perkataan Dylan.
Aku mengambil segelas
air putih yang ada di hadapanku lalu meneguknya sampai habis. Dengan cairan segar
yang mengalir dalam kerongkonganku setidaknya bisa menjaga agar emosiku tetap
terkendali.
“Maafkan aku, Irene. Seharusnya
aku memberitahumu sejak awal,” ucap Dylan menyesal.
“Sudahlah. Toh sekarang
aku sudah tahu,” kataku terdengar lebih tajam dari yang kuinginkan.
“Kau marah?” tanya
Dylan khawatir.
Kali ini aku
menatapnya, “Untuk apa aku marah?” aku balik bertanya.
Dylan mengamatiku
sejenak untuk memastikan apakah aku bersungguh-sungguh, “Baguslah kalau begitu,”
katanya sambil tersenyum lega.
Aku membalas senyumannya untuk menyakinkan
bahwa aku memang tidak marah. Kemudian mataku kembali menerobos
keramaian menuju sesosok pria yang saat ini sedang meneguk air putihnya. Dia adalah orang yang
menjemputku di rumah sakit menuju rumah baruku, orang yang menyebalkan yang melihatku menangis dan
menghapus air mataku.
Sebenarnya Ben menganggapku
apa? Mengapa sikapnya berubah-ubah terhadapku? Walaupun dia lebih sering
bertindak menyebalkan tapi ada kalanya dia melunak. Maksudku dia sudah
mengantar-jemputku selama beberapa hari. Walaupun aku tahu dia dalam keadaan
terpaksa., tapi siapa tahu kalau hatinya tulus.
Tiba-tiba bola mata cokelat
milik Ben mendarat kepadaku. Sepertinya Ben menyadari tatapanku kepadanya. Ben membalas tatapanku dengan ekspresi wajah yang tidak kumengerti. Selalu tidak kumengerti.
Tidak sanggup lagi
menerima tatapannya yang seolah-olah mengintimidasiku, aku merendahkan
pandanganku. Lalu tak lama bibi Corinne pun muncul, membuatku menghembuskan nafas yang
tidak sengaja kutahan.
“Tunggu apa lagi? Mari kita menyantap hidangan yang lezat ini,” seru bibi Corinne.
“Hey, kau baik-baik saja?” tanya Dylan khawatir.
Aku tersenyum lemah menanggapi pertanyaannya. Tak lama ruang makan dipenuhi
oleh denting pertemuan antara sendok dan mangkuk.
“Bibi memang pandai memasak,” gumam Dylan dengan mulut yang dipenuhi makanan.
“Kau sering makan di sini?” tanyaku.
Dylan mengangguk, “Tak terhitung,”
Komentar
Posting Komentar