PART 14
.
Tidak lebih dari lima belas menit perjalanan, Ben menghentikan
mobilnya di depan toko bunga di daerah pertokoan Victoria Street West dekat
taman kota Victoria yang kukenali sebagai toko bunga milik Taylor. Aku tahu
karena aku pernah datang ke sana beberapa minggu yang lalu untuk menemani bibi Corinne
membeli buket mawar kuning untuk menjenguk asistennya yang sedang sakit.
Lonceng yang dipasang di depan toko bergemerincing
ketika Ben membuka pintu. Aku mengikuti Ben masuk kedalam toko walaupun aku belum
menemukan jawaban mengapa aku berada di tempat ini sekarang.
“Selamat
datang,” sapa seorang gadis muda berambut hitam yang diikat kuda yang sedang
berjaga di meja kasir. Aku mengenalnya sebagai Allen yang menjadi satu-satunya
pegawai yang dipekerjakan oleh Talyor.
“Oh, Ben!” seru Allen kaget ketika melihat Ben yang
datang.
“Hey, Al,” sapa Ben.
Allen segera keluar dari meja kasir untuk menghampiri
kami yang masih berdiri di ambang pintu.
“Hey, Irene,” sapa Allen ketika dia melihatku.
Aku tersenyum lebar membalas sapaannya. Allen adalah
gadis yang manis dan ramah. Dia hanya dua tahun lebih tua dariku. Kata bibi
Corinne, Allen sudah bekerja untuk Taylor sejak toko bunga dibuka.
“Apakah kau
mencari Taylor?” tanya Allen kepada Ben terdengar antusias.
Aku menatap Ben menunggu jawabannya karena aku juga
memiliki pertanyaan yang sama dengan Allen. Kurasa alasan kami berada di tempat
ini memang untuk menemui Taylor. Apalagi?
“Tidak. Aku ingin membeli bunga,” jawab Ben membuat
kaget aku dan Allen.
Kemudian Ben melangkah melewati Allen, memasuki toko lebih
dalam lagi untuk melihat bunga-bunga yang ada.
“Lebih baik kupanggilkan Taylor. Biar dia yang
membantumu mencari bunganya,” kata Allen yang nampak bingung sebelum berlari
memasuki ruangan pegawai.
Aku yang ikut-ikutan bingung dengan sikap Ben pun
memutuskan untuk mengikutinya melihat-lihat macam-macam bunga musim semi yang
ada di toko ini. Ada beberapa jenis bunga yang aku kenal seperti tulip, lily, mawar,
gerbera, blue belladonna, green bells serta bunga lainnya yang aku
lupa namanya. Toko bunga milik Taylor memang agak kecil, namun toko ini sangat
terkenal dengan kualitas kesegaran bunga-bunganya serta desain buket yang
kreatif.
Ketika hampir selesai mengamati seisi toko, aku
melihat bunga daisy dalam pot keramik yang diletakan di rak dekat meja kasir.
Bunga itu memang tidak menonjol dibanding dengan bunga-bunga lainnya karena
ukurannya yang kecil. Tapi sekarang segenap perhatianku tertuju hanya
kepadanya.
Mom sangat
menyukai bunga daisy. Bagi Mom bunga daisy
adalah bunga matahari kecil yang mudah perawatannya. Mom menanam beberapa di pekarangan rumah kami yang dulu. Setiap
kali bunga itu mekar, para tetangga yang melintas akan berhenti sejenak untuk
melihatnya.
“Irene,” panggil Ben menyandarkanku dari lamunan.
Aku tersentak kaget ketika melihat Ben berdiri di
hadapanku, “A.. apa?” tanyaku.
Ben menatapku heran, “Kau pikir apa yang kau lakukan?”
tanyanya membuatku bingung, “Pilihlah bunga yang harus kubeli,” imbuhnya.
“Apa?” tanyaku kaget.
Sebelum Ben menjawab pertanyaanku, Taylor keburu muncul
dari ruangan pegawai. Taylor terlihat cantik dengan rambut pirang yang diikat
longgar. Beberapa helai rambutnya ada yang mencuat keluar yang menunjukan
betapa sibuk aktifitasnya hari ini.
“Oh, Irene juga datang,” seru Taylor ketika melihatku.
“Hai, Taylor,” kataku menyapanya.
Taylor berlari kecil menghampiri kami. Dia berhenti
tepat di hadapan Ben untuk memberikan kecupan di pipinya.
Well¸
melihat itu membuatku tidak mengerti mengapa mereka tidak berpacaran.
“Mengapa kau tidak menghubungiku lebih dulu?” tanya Taylor
membuatku terkejut.
Jadi apa yang sebenarnya sedang kami lakukan di sini?
“Aku hanya ingin membeli bunga,” jawab Ben.
Itu memang jawaban Ben untuk pertanyaan Taylor, tapi
itu tidak cukup untuk menjawab pertanyaanku.
Taylor yang nampak bingung dengan jawaban Ben, sekilas
melemparkan tatapan padaku, “Bunga untuk apa?” tanyanya kemudian.
“Ada hal penting yang harus kulakukan saat ini. Aku
akan menghubungimu nanti,” kata Ben terdengar kesal sebelum menatapku, “Irene,
kubilang kau yang pilih bunganya,”
Aku tidak mengerti mengapa Ben memintaku untuk memilih
bunga yang mau dia beli. Akan jauh lebih
baik jika Taylor yang jelas-jelas merupakan pemilik toko bunga ini yang
melakukan tugas itu. Taylor menyadari betul hal itu sehingga dia hanya diam di
tempatnya berdiri sambil menatapku dengan tatapan yang tidak aku suka. Oh Tuhan,
kuharap Taylor tidak berpikir yang bukan-bukan.
Dalam situasi seperti ini aku tidak bisa berpikir
secara jernih. Aku sama sekali tidak tahu bunga mana yang harus aku pilih. Alhasil
setelah mengelilingi toko aku memutuskan untuk mengambil bunga daisy. Aku
memilihnya karena hanya bunga itulah yang muncul di otakku. Karena Ben juga
menyetujuinya maka aku meminta Taylor untuk merangkainya.
“Nah, selesai,” seru Taylor setelah dia selesai
merangkai buket bunga yang dipesan oleh Ben.
“Wah, cantik sekali,” ungkapku takjub dengan hasil
kerja Taylor.
Well, memang
itulah yang membuat toko bunga ini begitu terkenal.
“Terimakasih Taylor,” ungkap Ben membayar tagihannya.
“Sama-sama,” kata Taylor.
“Baiklah, aku pergi sekarang,” ucap Ben pamit.
Taylor yang nampak keberatan langsung diam setelah Ben
mendaratkan kecupan di pipinya, “Aku pergi,”
Semburat merah nampak di wajah Taylor ketika dia
mengangguk setuju, membiarkan sahabatnya pergi.
“Sampai jumpa, Taylor,” kataku pamit kepada Taylor
Taylor mengangguk sebelum memberikan pelukan selamat
tinggal kepadaku, “Sampai jumpa,” katanya.
***
Perjalanan kami berlangsung selama beberapa menit
ketika aku menyadari kemana kami akan pergi. Ben mengendarai mobilnya melintasi
jalan utama Queen Street untuk meninggalkan Auckland menuju Huntly sebelum
sampai di kota Hamilton. Tidak diragukan lagi, memang ke sana lah tujuan Ben. Otakku
terus berputar memikirkan untuk apa kami kesana, sampai aku menemukan sebuah
jawaban yang membuatku bergidik.
“Ben,” panggilku lemah hampir terdengar seperti
bisikan putus asa.
Ben tidak menjawab panggilan lemahku yang mungkin
tidak terdengar olehnya. Ben terus berkonsentrasi menatap jalanan yang
membentang luas di hadapan kami.
Aku menelan ludahku gugup. Lalu aku memutar tubuhku untuk
melihat buket bunga daisy yang berada di jok penumpang belakang. Bunga daisy
adalah bunga favorit Mom. Bunga yang
melambangkan kasih sayang, kelembutan dan kesucian hati, seolah-olah bunga itu
mewakili kepribadiannya.
Apakah sebuah kebetulan ketika akhirnya aku memilih
bunga itu untuk dibawa ke tempat itu? Apakah itu alasan mengapa Ben memintaku
untuk memilihinya sejak awal? Well,
Ben selalu mengetahui apa yang dia lakukan.
“Aku tidak mau pergi kesana,” kataku menggumam dengan
kepala tertunduk, menatap arloji yang melingkar di pergelangan tanganku yang pucat.
“Sudah terlambat. Sebentar lagi kita sampai,” kata Ben
terdengar monoton.
“Ta.. tapi,” segahku tapi keburu dipotong oleh Ben.
“Bukankah kau merindukan mereka?” tanyanya melemparkan
tatapan tajam padaku.
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, “A.. Apa?”
“Kau harus menemuni mereka, Irene. Katakan apa yang
kau rasakan,” katanya membuatku bungkam.
***
Ini adalah kali kedua aku menginjakkan kaki di
Hamilton West Cementry yang terletak di Willoughby Street, Whitiora, sekitar
dua setengah jam perjalanan dari Auckland. Jika Ben tidak menggiringku kupastikan
aku tidak akan berani melewati pintu gerbang yang sudah berkarat itu.
Dengan menjingjing buket bunga daisy, aku mengikuti Ben
dari belakang. Melangkah melewati deretan batu nisan yang terlihat menyeramkan
di mataku. Sesekali aku menghentikan langkahku karena aku merasa bimbang dengan
apa yang sedang kulakukan saat ini. Kuakui bahwa sampai detik ini pun, aku
belum bisa menerima takdir yang dirancang oleh Tuhan untukku. Hidupku saat ini adalah
mengingkari kenyataan yang ada, mengurung jiwaku di dalam harapan semu yang
kurancang sendiri. Sayangnya hal itu pun tidak cukup berhasil untuk menjaga
kewarasanku.
Nafasku terhenti di tenggorokan ketika aku merasakan
atmosfer dingin yang menggelitik di sekelilingku. Walaupun kedatangan kali ini
barulah kedatanganku yang kedua, aku sudah hafal betul dengan suasana tempat
ini. Penyebabnya bukan karena aku memiliki ingatan fotografi, melainkan karena
tempat ini rutin hadir di dalam mimpi burukku. Di lahan yang masih kosong,
beberapa kaki dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat dua batu nisan
yang mengukir nama kedua orangtuaku.
“Irene?” panggil Ben.
Aku mendongak menatapnya, “Ben,” sahutku lirih.
“Ayo,” kata Ben mengajakku untuk mengikuti langkahnya.
Aku tertunduk pasrah lalu kembali mengikutinya. Ben
melangkah mendekati makam kedua orang tuaku lalu berhenti di hadapannya. Kemudian
Ben menoleh melalui bahunya, menatapku yang berdiri pasif di belakangnya.
Oh, Tuhan, aku tidak suka dengan tatapan yang Ben berikan
padaku saat ini.
“Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan, Irene,” kata
Ben mengingatkan.
Aku menggigit bibir bawahku menahan tangisan yang bisa
pecah kapan saja.
Melihat ekspresi yang begitu menyedihkan dariku, Ben
memalingkan wajahnya menghadap makam kedua orang tuaku.
“Kau tahu cara yang paling ampuh untuk mengatasi
ketakutan?” tanya Ben dengan posisi memunggungiku.
Aku menggelengkan kepalaku walaupun aku tahu Ben tidak
bisa melihatku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan kata-kata karena
aku tidak bisa menemukan dimana suaraku.
“Kau harus menghadapinya,” kata Ben memutar badannya
untuk melihatku.
Aku tidak bisa melakukannya! Aku tidak memiliki
keberanian untuk melakukannya. Semua yang terjadi dalam kehidupanku melebihi
kemampuanku. Aku hanyalah seorang gadis remaja yang tidak memiliki apa-apa
selain Mom dan Dad. Dan ketika mereka pergi meninggalkanku, aku kehilangan
semuanya.
“Kau tidak akan pernah bisa mengatasi semua ini jika
kau terus berpikir seperti itu,” kata Ben.
Bagaimana Ben bisa mengetahui apa yang sedang aku
pikirkan?
Ben melangkah mendekatiku. Kemudian dia meletakan
kedua tangannya di bahuku, memegangnya untuk memberikan tekanan yang membuatku
rileks. Aku mendongak untuk menatapnya. Aku tidak bisa menjelaskan ekspresi
wajah yang dia tunjukan padaku saat itu. Terlalu banyak yang aku lihat sampai
aku tidak bisa melihat apapun.
“Berjanjilah kau akan selalu mengingat ini. Kau lebih
berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau lihat, dan kau lebih
pintar dari yang kau pikir,” kata Ben.
“Ben,” bisikanku.
Ben menyunggingkan senyuman yang mencapai sepasang
matanya yang menatapku lembut, sebelum memutar badannya untuk kembali menghadap
makam kedua orang tuaku.
“Apa kabar paman dan bibi. Aku datang membawa puteri
kalian yang menyedihkan ini,” kata Ben sarkastis, “Berikan bunganya, Irene,”
Aku menatap daisy yang kupegang. Dengan menggigit
bibir bawahku kencang-kencang aku melangkah mendekati makam Mom dan Dad.
Tepat ketika aku berdiri di sampingnya, Ben berkata, “Aku
harus menginggalkan kalian bertiga,”
“Ka.. Kau mau kemana?” tanyaku bingung.
“Aku tidak akan pergi jauh,” katanya.
Setelah Ben pergi, perlahan-lahan aku menatap dua batu
nisan dari marbel hitam yang mengukir nama Mom
dan Dad. Tiga bulan sudah berlalu
sejak nyawa mereka direnggut dalam kecelakaan itu. Tiga bulan sudah jasad
mereka terkubur jauh di bawah tanah. Sungguh tragis ketika membayangkan cara
mereka mengakhiri kehidupannya di muka bumi ini. Takdir yang kupikir terlalu
kejam untuk manusia-manusia terbaik yang pernah ada di dunia. Namun seberapa
kejam pun itu aku percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk
mahluk-mahluk terbaiknya. Setidaknya itulah doa yang selalu kupanjatkan sebelum
tidur.
Perlahan-lahan aku meletakan buket bunga daisy di antara
batu nisan Mom dan Dad.
“Maafkan aku,” kataku masih menggigit bibir bawahku
kencang-kencang menahan tangisan yang hampir pecah, “Maaf aku baru bisa menemui
kalian,”
Tapi aku tidak mampu lagi menahan jatuhnya air mata.
Tangisanku langsung pecah tidak terbendung. Saat ini aku tidak bisa menjabarkan
bagaimana perasaanku. Rasanya menyesakan, sulit untukku menghirup udara di
sekelilingku. Tubuhku pun akhirnya roboh ke tanah karena sepasang kakiku yang
gemetar tidak sanggup lagi menahannya.
“Aku sangat merindukan kalian,” kataku lirih dalam
tangisan.
Jari-jariku yang kurus perlahan-lahan menyentuh ukiran
nama Mom di atas batu nisannya yang
dingin.
“Mom, aku
merindukan pelukanmu, kecupanmu, nasihatmu.”
Aku mencoba menarik nafas lebih panjang untuk meredakan
tangisanku.
“Dan kau juga Dad,”
kataku beralih menyentuh batu nisan Dad,
“Lihat, aku masih menggunakan arloji yang kau berikan padaku.”
Aku mengamati arloji pemberian Dad yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Penampilannya
sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah diperbaiki.
Aku menutup
mataku lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sayangnya aku
gagal. Karena ketika aku menutup mataku aku melihat wajah Mom dan
Dad yang tersenyum kepadaku, namun
ketika aku membuka mataku aku berada tepat di hadapan batu nisan mereka.
Sakit itu kembali
muncul. Aku menjerit frustasi dalam tangisanku yang tidak mau berhenti.
“Salahkah? Salahkah jika aku menginginkan kalian
kembali?!” tanyaku frustasi.
Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di
belakangku. Kedua tangannya melingkar di bahuku, memeluk tubuhku yang gemetar
hebat dari belakang.
“Tolong aku,” pintaku putus asa, “Tolong aku, Ben,”
Ben semakin menguatkan pelukannya di bahuku, seakan
menjagaku agar tetap utuh.
“Aku ada di sini, Irene, ” bisiknya di telingaku.
Air mataku tidak mau berhenti mengalir, walaupun
perlahan-lahan aku merasa sakit itu berangsur-angsur hilang.
“Apakah aku bisa melalui semua ini?” tanyaku skeptis.
Ben mengangguk di belakangku, “Ingat apa yang aku katakan.
Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau lihat dan
kau lebih pintar dari yang kau pikir,”
Ben…
Aku memejamkan mataku. Membiarkan hembusan angin di
senja hari mengeringkan air mata di pipiku. Senyuman Mom dan Dad kembali hadir
di kepalaku. Namun kali ini terlihat lebih hidup dan nyata sehingga membuatku
melakukan hal yang sama.
Aku membuka mataku kembali, membiarkan air mataku
menetes untuk kemudian diterbangkan oleh angin. Perlahan-lahan aku melepaskan
diri dari pelukan Ben. Aku berusaha untuk berdiri menggunakan kaki-kakiku yang masih
gemetar. Tapi aku lebih kuat dari yang kulihat!
Aku berdiri
tegak menghadap Mom dan Dad di peristirahatan terakhir mereka.
“Mom, Dad. Terimakasih atas kasih sayang yang
telah kalian berikan padaku selama ini. Aku percaya, sekalipun kalian telah
pergi meninggalkanku, kasih sayang kalian tidak akan pernah hilang,”
“Karena aku masih bisa merasakannya,” Aku menyentuh
dadaku yang masih terasa sakit dengan tanganku yang gemetar, “Di hatiku,”
Memang benar aku tidak akan bisa hidup tanpa Mom dan Dad. Kehilangan mereka telah membuat hatiku hancur. Kabar buruknya
adalah aku tidak akan pernah bisa merelakan kepergian orang-orang yang
kucintai. Namun ada juga kabar baiknya. Mom
dan Dad akan tetap hidup
selamanya di hatiku yang hancur. Dan aku akan melalui semua ini. Seperti
mengalami patah kaki yang tidak akan pernah sembuh dengan sempurna, masih akan terasa
sakit ketika cuaca menjadi dingin, tapi aku akan belajar untuk menari dengan kaki
yang pernah patah itu.
“Kau bisa melakukannya,” kata Ben seolah-olah
mendengar pikiranku.
Ben mengambil tanganku, dia menggenggamnya erat-erat
untuk memberikanku kekuatan untuk mengucapkan kalimat yang terakhir.
Kehadiran Ben dalam kehidupanku mungkin tidak akan
pernah menutup lubang di hatiku, tapi itu tidak mengapa. Bersama dengan Ben aku
bisa membagi lukaku, dia menyentuh luka itu dengan kehangatan yang membuatku
merasa sangat kuat bahkan ketika aku tidak berdaya.
Sekarang, di bawah langit senja, aku tidak lagi
melihat merahnya darah yang berlumuran di wajah Mom dan Dad. Aku
merasakan kehangatan yang merayap di dalam tubuhku yang berasal dari tangan Ben
yang memegang tanganku.
“Selamat tinggal
Mom dan Dad. Semoga kalian
mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya,” kataku dengan senyuman yang akan
kuingat selamanya.
END - BAB VII
Tidak lebih dari lima belas menit perjalanan, Ben menghentikan
mobilnya di depan toko bunga di daerah pertokoan Victoria Street West dekat
taman kota Victoria yang kukenali sebagai toko bunga milik Taylor. Aku tahu
karena aku pernah datang ke sana beberapa minggu yang lalu untuk menemani bibi Corinne
membeli buket mawar kuning untuk menjenguk asistennya yang sedang sakit.
Lonceng yang dipasang di depan toko bergemerincing
ketika Ben membuka pintu. Aku mengikuti Ben masuk kedalam toko walaupun aku belum
menemukan jawaban mengapa aku berada di tempat ini sekarang.
“Selamat
datang,” sapa seorang gadis muda berambut hitam yang diikat kuda yang sedang
berjaga di meja kasir. Aku mengenalnya sebagai Allen yang menjadi satu-satunya
pegawai yang dipekerjakan oleh Talyor.
“Oh, Ben!” seru Allen kaget ketika melihat Ben yang
datang.
“Hey, Al,” sapa Ben.
Allen segera keluar dari meja kasir untuk menghampiri
kami yang masih berdiri di ambang pintu.
“Hey, Irene,” sapa Allen ketika dia melihatku.
Aku tersenyum lebar membalas sapaannya. Allen adalah
gadis yang manis dan ramah. Dia hanya dua tahun lebih tua dariku. Kata bibi
Corinne, Allen sudah bekerja untuk Taylor sejak toko bunga dibuka.
“Apakah kau
mencari Taylor?” tanya Allen kepada Ben terdengar antusias.
Aku menatap Ben menunggu jawabannya karena aku juga
memiliki pertanyaan yang sama dengan Allen. Kurasa alasan kami berada di tempat
ini memang untuk menemui Taylor. Apalagi?
“Tidak. Aku ingin membeli bunga,” jawab Ben membuat
kaget aku dan Allen.
Kemudian Ben melangkah melewati Allen, memasuki toko lebih
dalam lagi untuk melihat bunga-bunga yang ada.
“Lebih baik kupanggilkan Taylor. Biar dia yang
membantumu mencari bunganya,” kata Allen yang nampak bingung sebelum berlari
memasuki ruangan pegawai.
Aku yang ikut-ikutan bingung dengan sikap Ben pun
memutuskan untuk mengikutinya melihat-lihat macam-macam bunga musim semi yang
ada di toko ini. Ada beberapa jenis bunga yang aku kenal seperti tulip, lily, mawar,
gerbera, blue belladonna, green bells serta bunga lainnya yang aku
lupa namanya. Toko bunga milik Taylor memang agak kecil, namun toko ini sangat
terkenal dengan kualitas kesegaran bunga-bunganya serta desain buket yang
kreatif.
Ketika hampir selesai mengamati seisi toko, aku
melihat bunga daisy dalam pot keramik yang diletakan di rak dekat meja kasir.
Bunga itu memang tidak menonjol dibanding dengan bunga-bunga lainnya karena
ukurannya yang kecil. Tapi sekarang segenap perhatianku tertuju hanya
kepadanya.
Mom sangat
menyukai bunga daisy. Bagi Mom bunga daisy
adalah bunga matahari kecil yang mudah perawatannya. Mom menanam beberapa di pekarangan rumah kami yang dulu. Setiap
kali bunga itu mekar, para tetangga yang melintas akan berhenti sejenak untuk
melihatnya.
“Irene,” panggil Ben menyandarkanku dari lamunan.
Aku tersentak kaget ketika melihat Ben berdiri di
hadapanku, “A.. apa?” tanyaku.
Ben menatapku heran, “Kau pikir apa yang kau lakukan?”
tanyanya membuatku bingung, “Pilihlah bunga yang harus kubeli,” imbuhnya.
“Apa?” tanyaku kaget.
Sebelum Ben menjawab pertanyaanku, Taylor keburu muncul
dari ruangan pegawai. Taylor terlihat cantik dengan rambut pirang yang diikat
longgar. Beberapa helai rambutnya ada yang mencuat keluar yang menunjukan
betapa sibuk aktifitasnya hari ini.
“Oh, Irene juga datang,” seru Taylor ketika melihatku.
“Hai, Taylor,” kataku menyapanya.
Taylor berlari kecil menghampiri kami. Dia berhenti
tepat di hadapan Ben untuk memberikan kecupan di pipinya.
Well¸
melihat itu membuatku tidak mengerti mengapa mereka tidak berpacaran.
“Mengapa kau tidak menghubungiku lebih dulu?” tanya Taylor
membuatku terkejut.
Jadi apa yang sebenarnya sedang kami lakukan di sini?
“Aku hanya ingin membeli bunga,” jawab Ben.
Itu memang jawaban Ben untuk pertanyaan Taylor, tapi
itu tidak cukup untuk menjawab pertanyaanku.
Taylor yang nampak bingung dengan jawaban Ben, sekilas
melemparkan tatapan padaku, “Bunga untuk apa?” tanyanya kemudian.
“Ada hal penting yang harus kulakukan saat ini. Aku
akan menghubungimu nanti,” kata Ben terdengar kesal sebelum menatapku, “Irene,
kubilang kau yang pilih bunganya,”
Aku tidak mengerti mengapa Ben memintaku untuk memilih
bunga yang mau dia beli. Akan jauh lebih
baik jika Taylor yang jelas-jelas merupakan pemilik toko bunga ini yang
melakukan tugas itu. Taylor menyadari betul hal itu sehingga dia hanya diam di
tempatnya berdiri sambil menatapku dengan tatapan yang tidak aku suka. Oh Tuhan,
kuharap Taylor tidak berpikir yang bukan-bukan.
Dalam situasi seperti ini aku tidak bisa berpikir
secara jernih. Aku sama sekali tidak tahu bunga mana yang harus aku pilih. Alhasil
setelah mengelilingi toko aku memutuskan untuk mengambil bunga daisy. Aku
memilihnya karena hanya bunga itulah yang muncul di otakku. Karena Ben juga
menyetujuinya maka aku meminta Taylor untuk merangkainya.
“Nah, selesai,” seru Taylor setelah dia selesai
merangkai buket bunga yang dipesan oleh Ben.
“Wah, cantik sekali,” ungkapku takjub dengan hasil
kerja Taylor.
Well, memang
itulah yang membuat toko bunga ini begitu terkenal.
“Terimakasih Taylor,” ungkap Ben membayar tagihannya.
“Sama-sama,” kata Taylor.
“Baiklah, aku pergi sekarang,” ucap Ben pamit.
Taylor yang nampak keberatan langsung diam setelah Ben
mendaratkan kecupan di pipinya, “Aku pergi,”
Semburat merah nampak di wajah Taylor ketika dia
mengangguk setuju, membiarkan sahabatnya pergi.
“Sampai jumpa, Taylor,” kataku pamit kepada Taylor
Taylor mengangguk sebelum memberikan pelukan selamat
tinggal kepadaku, “Sampai jumpa,” katanya.
***
Perjalanan kami berlangsung selama beberapa menit
ketika aku menyadari kemana kami akan pergi. Ben mengendarai mobilnya melintasi
jalan utama Queen Street untuk meninggalkan Auckland menuju Huntly sebelum
sampai di kota Hamilton. Tidak diragukan lagi, memang ke sana lah tujuan Ben. Otakku
terus berputar memikirkan untuk apa kami kesana, sampai aku menemukan sebuah
jawaban yang membuatku bergidik.
“Ben,” panggilku lemah hampir terdengar seperti
bisikan putus asa.
Ben tidak menjawab panggilan lemahku yang mungkin
tidak terdengar olehnya. Ben terus berkonsentrasi menatap jalanan yang
membentang luas di hadapan kami.
Aku menelan ludahku gugup. Lalu aku memutar tubuhku untuk
melihat buket bunga daisy yang berada di jok penumpang belakang. Bunga daisy
adalah bunga favorit Mom. Bunga yang
melambangkan kasih sayang, kelembutan dan kesucian hati, seolah-olah bunga itu
mewakili kepribadiannya.
Apakah sebuah kebetulan ketika akhirnya aku memilih
bunga itu untuk dibawa ke tempat itu? Apakah itu alasan mengapa Ben memintaku
untuk memilihinya sejak awal? Well,
Ben selalu mengetahui apa yang dia lakukan.
“Aku tidak mau pergi kesana,” kataku menggumam dengan
kepala tertunduk, menatap arloji yang melingkar di pergelangan tanganku yang pucat.
“Sudah terlambat. Sebentar lagi kita sampai,” kata Ben
terdengar monoton.
“Ta.. tapi,” segahku tapi keburu dipotong oleh Ben.
“Bukankah kau merindukan mereka?” tanyanya melemparkan
tatapan tajam padaku.
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, “A.. Apa?”
“Kau harus menemuni mereka, Irene. Katakan apa yang
kau rasakan,” katanya membuatku bungkam.
***
Ini adalah kali kedua aku menginjakkan kaki di
Hamilton West Cementry yang terletak di Willoughby Street, Whitiora, sekitar
dua setengah jam perjalanan dari Auckland. Jika Ben tidak menggiringku kupastikan
aku tidak akan berani melewati pintu gerbang yang sudah berkarat itu.
Dengan menjingjing buket bunga daisy, aku mengikuti Ben
dari belakang. Melangkah melewati deretan batu nisan yang terlihat menyeramkan
di mataku. Sesekali aku menghentikan langkahku karena aku merasa bimbang dengan
apa yang sedang kulakukan saat ini. Kuakui bahwa sampai detik ini pun, aku
belum bisa menerima takdir yang dirancang oleh Tuhan untukku. Hidupku saat ini adalah
mengingkari kenyataan yang ada, mengurung jiwaku di dalam harapan semu yang
kurancang sendiri. Sayangnya hal itu pun tidak cukup berhasil untuk menjaga
kewarasanku.
Nafasku terhenti di tenggorokan ketika aku merasakan
atmosfer dingin yang menggelitik di sekelilingku. Walaupun kedatangan kali ini
barulah kedatanganku yang kedua, aku sudah hafal betul dengan suasana tempat
ini. Penyebabnya bukan karena aku memiliki ingatan fotografi, melainkan karena
tempat ini rutin hadir di dalam mimpi burukku. Di lahan yang masih kosong,
beberapa kaki dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat dua batu nisan
yang mengukir nama kedua orangtuaku.
“Irene?” panggil Ben.
Aku mendongak menatapnya, “Ben,” sahutku lirih.
“Ayo,” kata Ben mengajakku untuk mengikuti langkahnya.
Aku tertunduk pasrah lalu kembali mengikutinya. Ben
melangkah mendekati makam kedua orang tuaku lalu berhenti di hadapannya. Kemudian
Ben menoleh melalui bahunya, menatapku yang berdiri pasif di belakangnya.
Oh, Tuhan, aku tidak suka dengan tatapan yang Ben berikan
padaku saat ini.
“Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan, Irene,” kata
Ben mengingatkan.
Aku menggigit bibir bawahku menahan tangisan yang bisa
pecah kapan saja.
Melihat ekspresi yang begitu menyedihkan dariku, Ben
memalingkan wajahnya menghadap makam kedua orang tuaku.
“Kau tahu cara yang paling ampuh untuk mengatasi
ketakutan?” tanya Ben dengan posisi memunggungiku.
Aku menggelengkan kepalaku walaupun aku tahu Ben tidak
bisa melihatku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan kata-kata karena
aku tidak bisa menemukan dimana suaraku.
“Kau harus menghadapinya,” kata Ben memutar badannya
untuk melihatku.
Aku tidak bisa melakukannya! Aku tidak memiliki
keberanian untuk melakukannya. Semua yang terjadi dalam kehidupanku melebihi
kemampuanku. Aku hanyalah seorang gadis remaja yang tidak memiliki apa-apa
selain Mom dan Dad. Dan ketika mereka pergi meninggalkanku, aku kehilangan
semuanya.
“Kau tidak akan pernah bisa mengatasi semua ini jika
kau terus berpikir seperti itu,” kata Ben.
Bagaimana Ben bisa mengetahui apa yang sedang aku
pikirkan?
Ben melangkah mendekatiku. Kemudian dia meletakan
kedua tangannya di bahuku, memegangnya untuk memberikan tekanan yang membuatku
rileks. Aku mendongak untuk menatapnya. Aku tidak bisa menjelaskan ekspresi
wajah yang dia tunjukan padaku saat itu. Terlalu banyak yang aku lihat sampai
aku tidak bisa melihat apapun.
“Berjanjilah kau akan selalu mengingat ini. Kau lebih
berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau lihat, dan kau lebih
pintar dari yang kau pikir,” kata Ben.
“Ben,” bisikanku.
Ben menyunggingkan senyuman yang mencapai sepasang
matanya yang menatapku lembut, sebelum memutar badannya untuk kembali menghadap
makam kedua orang tuaku.
“Apa kabar paman dan bibi. Aku datang membawa puteri
kalian yang menyedihkan ini,” kata Ben sarkastis, “Berikan bunganya, Irene,”
Aku menatap daisy yang kupegang. Dengan menggigit
bibir bawahku kencang-kencang aku melangkah mendekati makam Mom dan Dad.
Tepat ketika aku berdiri di sampingnya, Ben berkata, “Aku
harus menginggalkan kalian bertiga,”
“Ka.. Kau mau kemana?” tanyaku bingung.
“Aku tidak akan pergi jauh,” katanya.
Setelah Ben pergi, perlahan-lahan aku menatap dua batu
nisan dari marbel hitam yang mengukir nama Mom
dan Dad. Tiga bulan sudah berlalu
sejak nyawa mereka direnggut dalam kecelakaan itu. Tiga bulan sudah jasad
mereka terkubur jauh di bawah tanah. Sungguh tragis ketika membayangkan cara
mereka mengakhiri kehidupannya di muka bumi ini. Takdir yang kupikir terlalu
kejam untuk manusia-manusia terbaik yang pernah ada di dunia. Namun seberapa
kejam pun itu aku percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk
mahluk-mahluk terbaiknya. Setidaknya itulah doa yang selalu kupanjatkan sebelum
tidur.
Perlahan-lahan aku meletakan buket bunga daisy di antara
batu nisan Mom dan Dad.
“Maafkan aku,” kataku masih menggigit bibir bawahku
kencang-kencang menahan tangisan yang hampir pecah, “Maaf aku baru bisa menemui
kalian,”
Tapi aku tidak mampu lagi menahan jatuhnya air mata.
Tangisanku langsung pecah tidak terbendung. Saat ini aku tidak bisa menjabarkan
bagaimana perasaanku. Rasanya menyesakan, sulit untukku menghirup udara di
sekelilingku. Tubuhku pun akhirnya roboh ke tanah karena sepasang kakiku yang
gemetar tidak sanggup lagi menahannya.
“Aku sangat merindukan kalian,” kataku lirih dalam
tangisan.
Jari-jariku yang kurus perlahan-lahan menyentuh ukiran
nama Mom di atas batu nisannya yang
dingin.
“Mom, aku
merindukan pelukanmu, kecupanmu, nasihatmu.”
Aku mencoba menarik nafas lebih panjang untuk meredakan
tangisanku.
“Dan kau juga Dad,”
kataku beralih menyentuh batu nisan Dad,
“Lihat, aku masih menggunakan arloji yang kau berikan padaku.”
Aku mengamati arloji pemberian Dad yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Penampilannya
sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah diperbaiki.
Aku menutup
mataku lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sayangnya aku
gagal. Karena ketika aku menutup mataku aku melihat wajah Mom dan
Dad yang tersenyum kepadaku, namun
ketika aku membuka mataku aku berada tepat di hadapan batu nisan mereka.
Sakit itu kembali
muncul. Aku menjerit frustasi dalam tangisanku yang tidak mau berhenti.
“Salahkah? Salahkah jika aku menginginkan kalian
kembali?!” tanyaku frustasi.
Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di
belakangku. Kedua tangannya melingkar di bahuku, memeluk tubuhku yang gemetar
hebat dari belakang.
“Tolong aku,” pintaku putus asa, “Tolong aku, Ben,”
Ben semakin menguatkan pelukannya di bahuku, seakan
menjagaku agar tetap utuh.
“Aku ada di sini, Irene, ” bisiknya di telingaku.
Air mataku tidak mau berhenti mengalir, walaupun
perlahan-lahan aku merasa sakit itu berangsur-angsur hilang.
“Apakah aku bisa melalui semua ini?” tanyaku skeptis.
Ben mengangguk di belakangku, “Ingat apa yang aku katakan.
Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau lihat dan
kau lebih pintar dari yang kau pikir,”
Ben…
Aku memejamkan mataku. Membiarkan hembusan angin di
senja hari mengeringkan air mata di pipiku. Senyuman Mom dan Dad kembali hadir
di kepalaku. Namun kali ini terlihat lebih hidup dan nyata sehingga membuatku
melakukan hal yang sama.
Aku membuka mataku kembali, membiarkan air mataku
menetes untuk kemudian diterbangkan oleh angin. Perlahan-lahan aku melepaskan
diri dari pelukan Ben. Aku berusaha untuk berdiri menggunakan kaki-kakiku yang masih
gemetar. Tapi aku lebih kuat dari yang kulihat!
Aku berdiri
tegak menghadap Mom dan Dad di peristirahatan terakhir mereka.
“Mom, Dad. Terimakasih atas kasih sayang yang
telah kalian berikan padaku selama ini. Aku percaya, sekalipun kalian telah
pergi meninggalkanku, kasih sayang kalian tidak akan pernah hilang,”
“Karena aku masih bisa merasakannya,” Aku menyentuh
dadaku yang masih terasa sakit dengan tanganku yang gemetar, “Di hatiku,”
Memang benar aku tidak akan bisa hidup tanpa Mom dan Dad. Kehilangan mereka telah membuat hatiku hancur. Kabar buruknya
adalah aku tidak akan pernah bisa merelakan kepergian orang-orang yang
kucintai. Namun ada juga kabar baiknya. Mom
dan Dad akan tetap hidup
selamanya di hatiku yang hancur. Dan aku akan melalui semua ini. Seperti
mengalami patah kaki yang tidak akan pernah sembuh dengan sempurna, masih akan terasa
sakit ketika cuaca menjadi dingin, tapi aku akan belajar untuk menari dengan kaki
yang pernah patah itu.
“Kau bisa melakukannya,” kata Ben seolah-olah
mendengar pikiranku.
Ben mengambil tanganku, dia menggenggamnya erat-erat
untuk memberikanku kekuatan untuk mengucapkan kalimat yang terakhir.
Kehadiran Ben dalam kehidupanku mungkin tidak akan
pernah menutup lubang di hatiku, tapi itu tidak mengapa. Bersama dengan Ben aku
bisa membagi lukaku, dia menyentuh luka itu dengan kehangatan yang membuatku
merasa sangat kuat bahkan ketika aku tidak berdaya.
Sekarang, di bawah langit senja, aku tidak lagi
melihat merahnya darah yang berlumuran di wajah Mom dan Dad. Aku
merasakan kehangatan yang merayap di dalam tubuhku yang berasal dari tangan Ben
yang memegang tanganku.
“Selamat tinggal
Mom dan Dad. Semoga kalian
mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya,” kataku dengan senyuman yang akan
kuingat selamanya.
END - BAB VII
Komentar
Posting Komentar