Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB VII]

PART 14

.

Tidak lebih dari lima belas menit perjalanan, Ben menghentikan mobilnya di depan toko bunga di daerah pertokoan Victoria Street West dekat taman kota Victoria yang kukenali sebagai toko bunga milik Taylor. Aku tahu karena aku pernah datang ke sana beberapa minggu yang lalu untuk menemani bibi Corinne membeli buket mawar kuning untuk menjenguk asistennya yang sedang sakit.
Lonceng yang dipasang di depan toko bergemerincing ketika Ben membuka pintu. Aku mengikuti Ben masuk kedalam toko walaupun aku belum menemukan jawaban mengapa aku berada di tempat ini sekarang.
 “Selamat datang,” sapa seorang gadis muda berambut hitam yang diikat kuda yang sedang berjaga di meja kasir. Aku mengenalnya sebagai Allen yang menjadi satu-satunya pegawai yang dipekerjakan oleh Talyor.
“Oh, Ben!” seru Allen kaget ketika melihat Ben yang datang.
“Hey, Al,” sapa Ben.
Allen segera keluar dari meja kasir untuk menghampiri kami yang masih berdiri di ambang pintu.
“Hey, Irene,” sapa Allen ketika dia melihatku.
Aku tersenyum lebar membalas sapaannya. Allen adalah gadis yang manis dan ramah. Dia hanya dua tahun lebih tua dariku. Kata bibi Corinne, Allen sudah bekerja untuk Taylor sejak toko bunga dibuka.
 “Apakah kau mencari Taylor?” tanya Allen kepada Ben terdengar antusias.
Aku menatap Ben menunggu jawabannya karena aku juga memiliki pertanyaan yang sama dengan Allen. Kurasa alasan kami berada di tempat ini memang untuk menemui Taylor. Apalagi?
“Tidak. Aku ingin membeli bunga,” jawab Ben membuat kaget aku dan Allen.
Kemudian Ben melangkah melewati Allen, memasuki toko lebih dalam lagi untuk melihat bunga-bunga yang ada.
“Lebih baik kupanggilkan Taylor. Biar dia yang membantumu mencari bunganya,” kata Allen yang nampak bingung sebelum berlari memasuki ruangan pegawai.
Aku yang ikut-ikutan bingung dengan sikap Ben pun memutuskan untuk mengikutinya melihat-lihat macam-macam bunga musim semi yang ada di toko ini. Ada beberapa jenis bunga yang aku kenal seperti tulip, lily, mawar, gerbera, blue belladonna, green bells serta bunga lainnya yang aku lupa namanya. Toko bunga milik Taylor memang agak kecil, namun toko ini sangat terkenal dengan kualitas kesegaran bunga-bunganya serta desain buket yang kreatif.
Ketika hampir selesai mengamati seisi toko, aku melihat bunga daisy dalam pot keramik yang diletakan di rak dekat meja kasir. Bunga itu memang tidak menonjol dibanding dengan bunga-bunga lainnya karena ukurannya yang kecil. Tapi sekarang segenap perhatianku tertuju hanya kepadanya.
Mom sangat menyukai bunga daisy. Bagi Mom bunga daisy adalah bunga matahari kecil yang mudah perawatannya. Mom menanam beberapa di pekarangan rumah kami yang dulu. Setiap kali bunga itu mekar, para tetangga yang melintas akan berhenti sejenak untuk melihatnya.
“Irene,” panggil Ben menyandarkanku dari lamunan.
Aku tersentak kaget ketika melihat Ben berdiri di hadapanku, “A.. apa?” tanyaku.
Ben menatapku heran, “Kau pikir apa yang kau lakukan?” tanyanya membuatku bingung, “Pilihlah bunga yang harus kubeli,” imbuhnya.
“Apa?” tanyaku kaget.
Sebelum Ben menjawab pertanyaanku, Taylor keburu muncul dari ruangan pegawai. Taylor terlihat cantik dengan rambut pirang yang diikat longgar. Beberapa helai rambutnya ada yang mencuat keluar yang menunjukan betapa sibuk aktifitasnya hari ini.   
“Oh, Irene juga datang,” seru Taylor ketika melihatku.
“Hai, Taylor,” kataku menyapanya.
Taylor berlari kecil menghampiri kami. Dia berhenti tepat di hadapan Ben untuk memberikan kecupan di pipinya.
Well¸ melihat itu membuatku tidak mengerti mengapa mereka tidak berpacaran.
“Mengapa kau tidak menghubungiku lebih dulu?” tanya Taylor membuatku terkejut.
Jadi apa yang sebenarnya sedang kami lakukan di sini?
“Aku hanya ingin membeli bunga,” jawab Ben.
Itu memang jawaban Ben untuk pertanyaan Taylor, tapi itu tidak cukup untuk menjawab pertanyaanku.
Taylor yang nampak bingung dengan jawaban Ben, sekilas melemparkan tatapan padaku, “Bunga untuk apa?” tanyanya kemudian.
“Ada hal penting yang harus kulakukan saat ini. Aku akan menghubungimu nanti,” kata Ben terdengar kesal sebelum menatapku, “Irene, kubilang kau yang pilih bunganya,”
Aku tidak mengerti mengapa Ben memintaku untuk memilih bunga yang  mau dia beli. Akan jauh lebih baik jika Taylor yang jelas-jelas merupakan pemilik toko bunga ini yang melakukan tugas itu. Taylor menyadari betul hal itu sehingga dia hanya diam di tempatnya berdiri sambil menatapku dengan tatapan yang tidak aku suka. Oh Tuhan, kuharap Taylor tidak berpikir yang bukan-bukan.
Dalam situasi seperti ini aku tidak bisa berpikir secara jernih. Aku sama sekali tidak tahu bunga mana yang harus aku pilih. Alhasil setelah mengelilingi toko aku memutuskan untuk mengambil bunga daisy. Aku memilihnya karena hanya bunga itulah yang muncul di otakku. Karena Ben juga menyetujuinya maka aku meminta Taylor untuk merangkainya.
“Nah, selesai,” seru Taylor setelah dia selesai merangkai buket bunga yang dipesan oleh Ben.
“Wah, cantik sekali,” ungkapku takjub dengan hasil kerja Taylor.
Well, memang itulah yang membuat toko bunga ini begitu terkenal.
“Terimakasih Taylor,” ungkap Ben membayar tagihannya.
“Sama-sama,” kata Taylor.
“Baiklah, aku pergi sekarang,” ucap Ben pamit.
Taylor yang nampak keberatan langsung diam setelah Ben mendaratkan kecupan di pipinya, “Aku pergi,”
Semburat merah nampak di wajah Taylor ketika dia mengangguk setuju, membiarkan sahabatnya pergi.
“Sampai jumpa, Taylor,” kataku pamit kepada Taylor
Taylor mengangguk sebelum memberikan pelukan selamat tinggal kepadaku, “Sampai jumpa,” katanya.
***

Perjalanan kami berlangsung selama beberapa menit ketika aku menyadari kemana kami akan pergi. Ben mengendarai mobilnya melintasi jalan utama Queen Street untuk meninggalkan Auckland menuju Huntly sebelum sampai di kota Hamilton. Tidak diragukan lagi, memang ke sana lah tujuan Ben. Otakku terus berputar memikirkan untuk apa kami kesana, sampai aku menemukan sebuah jawaban yang membuatku bergidik.
“Ben,” panggilku lemah hampir terdengar seperti bisikan putus asa.
Ben tidak menjawab panggilan lemahku yang mungkin tidak terdengar olehnya. Ben terus berkonsentrasi menatap jalanan yang membentang luas di hadapan kami.
Aku menelan ludahku gugup. Lalu aku memutar tubuhku untuk melihat buket bunga daisy yang berada di jok penumpang belakang. Bunga daisy adalah bunga favorit Mom. Bunga yang melambangkan kasih sayang, kelembutan dan kesucian hati, seolah-olah bunga itu mewakili kepribadiannya.
Apakah sebuah kebetulan ketika akhirnya aku memilih bunga itu untuk dibawa ke tempat itu? Apakah itu alasan mengapa Ben memintaku untuk memilihinya sejak awal? Well, Ben selalu mengetahui apa yang dia lakukan.
“Aku tidak mau pergi kesana,” kataku menggumam dengan kepala tertunduk, menatap arloji yang melingkar di pergelangan tanganku yang pucat.
“Sudah terlambat. Sebentar lagi kita sampai,” kata Ben terdengar monoton.
“Ta.. tapi,” segahku tapi keburu dipotong oleh Ben.
“Bukankah kau merindukan mereka?” tanyanya melemparkan tatapan tajam padaku.
Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, “A.. Apa?”  
“Kau harus menemuni mereka, Irene. Katakan apa yang kau rasakan,” katanya membuatku bungkam.
***

Ini adalah kali kedua aku menginjakkan kaki di Hamilton West Cementry yang terletak di Willoughby Street, Whitiora, sekitar dua setengah jam perjalanan dari Auckland. Jika Ben tidak menggiringku kupastikan aku tidak akan berani melewati pintu gerbang yang sudah berkarat itu.
Dengan menjingjing buket bunga daisy, aku mengikuti Ben dari belakang. Melangkah melewati deretan batu nisan yang terlihat menyeramkan di mataku. Sesekali aku menghentikan langkahku karena aku merasa bimbang dengan apa yang sedang kulakukan saat ini. Kuakui bahwa sampai detik ini pun, aku belum bisa menerima takdir yang dirancang oleh Tuhan untukku. Hidupku saat ini adalah mengingkari kenyataan yang ada, mengurung jiwaku di dalam harapan semu yang kurancang sendiri. Sayangnya hal itu pun tidak cukup berhasil untuk menjaga kewarasanku.
Nafasku terhenti di tenggorokan ketika aku merasakan atmosfer dingin yang menggelitik di sekelilingku. Walaupun kedatangan kali ini barulah kedatanganku yang kedua, aku sudah hafal betul dengan suasana tempat ini. Penyebabnya bukan karena aku memiliki ingatan fotografi, melainkan karena tempat ini rutin hadir di dalam mimpi burukku. Di lahan yang masih kosong, beberapa kaki dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat dua batu nisan yang mengukir nama kedua orangtuaku.
“Irene?” panggil Ben.
Aku mendongak menatapnya, “Ben,” sahutku lirih.
“Ayo,” kata Ben mengajakku untuk mengikuti langkahnya.
Aku tertunduk pasrah lalu kembali mengikutinya. Ben melangkah mendekati makam kedua orang tuaku lalu berhenti di hadapannya. Kemudian Ben menoleh melalui bahunya, menatapku yang berdiri pasif di belakangnya.
Oh, Tuhan, aku tidak suka dengan tatapan yang Ben berikan padaku saat ini.
“Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan, Irene,” kata Ben mengingatkan.
Aku menggigit bibir bawahku menahan tangisan yang bisa pecah kapan saja.
Melihat ekspresi yang begitu menyedihkan dariku, Ben memalingkan wajahnya menghadap makam kedua orang tuaku.
“Kau tahu cara yang paling ampuh untuk mengatasi ketakutan?” tanya Ben dengan posisi memunggungiku.
Aku menggelengkan kepalaku walaupun aku tahu Ben tidak bisa melihatku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dengan kata-kata karena aku tidak bisa menemukan dimana suaraku.
“Kau harus menghadapinya,” kata Ben memutar badannya untuk melihatku.
Aku tidak bisa melakukannya! Aku tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Semua yang terjadi dalam kehidupanku melebihi kemampuanku. Aku hanyalah seorang gadis remaja yang tidak memiliki apa-apa selain Mom dan Dad. Dan ketika mereka pergi meninggalkanku, aku kehilangan semuanya.   
“Kau tidak akan pernah bisa mengatasi semua ini jika kau terus berpikir seperti itu,” kata Ben.
Bagaimana Ben bisa mengetahui apa yang sedang aku pikirkan?
Ben melangkah mendekatiku. Kemudian dia meletakan kedua tangannya di bahuku, memegangnya untuk memberikan tekanan yang membuatku rileks. Aku mendongak untuk menatapnya. Aku tidak bisa menjelaskan ekspresi wajah yang dia tunjukan padaku saat itu. Terlalu banyak yang aku lihat sampai aku tidak bisa melihat apapun.
“Berjanjilah kau akan selalu mengingat ini. Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau lihat, dan kau lebih pintar dari yang kau pikir,” kata Ben.
“Ben,” bisikanku.
Ben menyunggingkan senyuman yang mencapai sepasang matanya yang menatapku lembut, sebelum memutar badannya untuk kembali menghadap makam kedua orang tuaku.
“Apa kabar paman dan bibi. Aku datang membawa puteri kalian yang menyedihkan ini,” kata Ben sarkastis, “Berikan bunganya, Irene,”
Aku menatap daisy yang kupegang. Dengan menggigit bibir bawahku kencang-kencang aku melangkah mendekati makam Mom dan Dad.
Tepat ketika aku berdiri di sampingnya, Ben berkata, “Aku harus menginggalkan kalian bertiga,”
“Ka.. Kau mau kemana?” tanyaku bingung.
“Aku tidak akan pergi jauh,” katanya.
Setelah Ben pergi, perlahan-lahan aku menatap dua batu nisan dari marbel hitam yang mengukir nama Mom dan Dad. Tiga bulan sudah berlalu sejak nyawa mereka direnggut dalam kecelakaan itu. Tiga bulan sudah jasad mereka terkubur jauh di bawah tanah. Sungguh tragis ketika membayangkan cara mereka mengakhiri kehidupannya di muka bumi ini. Takdir yang kupikir terlalu kejam untuk manusia-manusia terbaik yang pernah ada di dunia. Namun seberapa kejam pun itu aku percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk mahluk-mahluk terbaiknya. Setidaknya itulah doa yang selalu kupanjatkan sebelum tidur.
Perlahan-lahan aku meletakan buket bunga daisy di antara batu nisan Mom dan Dad.
“Maafkan aku,” kataku masih menggigit bibir bawahku kencang-kencang menahan tangisan yang hampir pecah, “Maaf aku baru bisa menemui kalian,”
Tapi aku tidak mampu lagi menahan jatuhnya air mata. Tangisanku langsung pecah tidak terbendung. Saat ini aku tidak bisa menjabarkan bagaimana perasaanku. Rasanya menyesakan, sulit untukku menghirup udara di sekelilingku. Tubuhku pun akhirnya roboh ke tanah karena sepasang kakiku yang gemetar tidak sanggup lagi menahannya.
“Aku sangat merindukan kalian,” kataku lirih dalam tangisan.
Jari-jariku yang kurus perlahan-lahan menyentuh ukiran nama Mom di atas batu nisannya yang dingin.
Mom, aku merindukan pelukanmu, kecupanmu, nasihatmu.”
Aku mencoba menarik nafas lebih panjang untuk meredakan tangisanku.
“Dan kau juga Dad,” kataku beralih menyentuh batu nisan Dad, “Lihat, aku masih menggunakan arloji yang kau berikan padaku.”
Aku mengamati arloji pemberian Dad yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Penampilannya sekarang sudah jauh lebih baik karena sudah diperbaiki.
 Aku menutup mataku lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sayangnya aku gagal. Karena ketika aku menutup mataku aku melihat wajah  Mom dan Dad yang tersenyum kepadaku, namun ketika aku membuka mataku aku berada tepat di hadapan batu nisan mereka.
 Sakit itu kembali muncul. Aku menjerit frustasi dalam tangisanku yang tidak mau berhenti.
“Salahkah? Salahkah jika aku menginginkan kalian kembali?!” tanyaku frustasi.
Tiba-tiba aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Kedua tangannya melingkar di bahuku, memeluk tubuhku yang gemetar hebat dari belakang.
“Tolong aku,” pintaku putus asa, “Tolong aku, Ben,”
Ben semakin menguatkan pelukannya di bahuku, seakan menjagaku agar tetap utuh.
“Aku ada di sini, Irene, ” bisiknya di telingaku.
Air mataku tidak mau berhenti mengalir, walaupun perlahan-lahan aku merasa sakit itu berangsur-angsur hilang.
“Apakah aku bisa melalui semua ini?” tanyaku skeptis.
Ben mengangguk di belakangku, “Ingat apa yang aku katakan. Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau lihat dan kau lebih pintar dari yang kau pikir,”
Ben…
Aku memejamkan mataku. Membiarkan hembusan angin di senja hari mengeringkan air mata di pipiku. Senyuman Mom dan Dad kembali hadir di kepalaku. Namun kali ini terlihat lebih hidup dan nyata sehingga membuatku melakukan hal yang sama.
Aku membuka mataku kembali, membiarkan air mataku menetes untuk kemudian diterbangkan oleh angin. Perlahan-lahan aku melepaskan diri dari pelukan Ben. Aku berusaha untuk berdiri menggunakan kaki-kakiku yang masih gemetar. Tapi aku lebih kuat dari yang kulihat!
 Aku berdiri tegak menghadap Mom dan Dad di peristirahatan terakhir mereka.
Mom, Dad. Terimakasih atas kasih sayang yang telah kalian berikan padaku selama ini. Aku percaya, sekalipun kalian telah pergi meninggalkanku, kasih sayang kalian tidak akan pernah hilang,”
“Karena aku masih bisa merasakannya,” Aku menyentuh dadaku yang masih terasa sakit dengan tanganku yang gemetar, “Di hatiku,”
Memang benar aku tidak akan bisa hidup tanpa Mom dan Dad. Kehilangan mereka telah membuat hatiku hancur. Kabar buruknya adalah aku tidak akan pernah bisa merelakan kepergian orang-orang yang kucintai. Namun ada juga kabar baiknya. Mom dan Dad akan tetap hidup selamanya di hatiku yang hancur. Dan aku akan melalui semua ini. Seperti mengalami patah kaki yang tidak akan pernah sembuh dengan sempurna, masih akan terasa sakit ketika cuaca menjadi dingin, tapi aku akan belajar untuk menari dengan kaki yang pernah patah itu. 
“Kau bisa melakukannya,” kata Ben seolah-olah mendengar pikiranku.
Ben mengambil tanganku, dia menggenggamnya erat-erat untuk memberikanku kekuatan untuk mengucapkan kalimat yang terakhir.
Kehadiran Ben dalam kehidupanku mungkin tidak akan pernah menutup lubang di hatiku, tapi itu tidak mengapa. Bersama dengan Ben aku bisa membagi lukaku, dia menyentuh luka itu dengan kehangatan yang membuatku merasa sangat kuat bahkan ketika aku tidak berdaya.
Sekarang, di bawah langit senja, aku tidak lagi melihat merahnya darah yang berlumuran di wajah Mom dan Dad. Aku merasakan kehangatan yang merayap di dalam tubuhku yang berasal dari tangan Ben yang memegang tanganku.
“Selamat tinggal Mom dan Dad. Semoga kalian mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya,” kataku dengan senyuman yang akan kuingat selamanya.

END - BAB VII

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b