H E R D A N C E
B
A B 1
.
“Dance is the
hidden language of the soul,” – Martha
Graham
.
Di dalam salah satu studio tari di
gedung London Centemporary Dance School yang terletak di kawasan The Place di
Duke St, distrik Bloomsbury di pusat kota London yang ramai. Sebuah ruangan
dengan langit-langit dari kayu yang melengkung seperti gelombang air laut yang
atraktif. Jendela-jendela besar dengan bingkai berbentuk setengah bola yang
membawa masuk cahaya matahari musim panas yang terik dari luar. Lantai yang
dilapisi oleh kayu parket lembut yang nyaman untuk diinjak oleh kaki-kaki
telanjang. Dari pintu masuk studio, di sepanjang dinding di sebelah kiri yang
dicat warna putih, menempel tiang horizontal setinggi pinggang yang digunakan
untuk menyokong para penari saat melakukan perenggangan dan pemanasan. Di
tengah-tengah dinding tersebut terdapat sebuah pintu kayu yang menuju ke ruang
ganti. Di dinding di sebelah kanan terdapat cermin besar yang memantulkan
bayangan seorang gadis dengan rambut ikal berwarna pirang keemasan yang diikat
kuda. Tubuh mungil yang hanya setinggi seratus lima puluh delapan senti dengan
berat badan sekitar empat puluh lima kilo, bergerak mengikuti irama musik yang
dimainkan oleh I-Phone yang diletakan di atas meja dari kayu mahoni tebal di
sudut ruangan. Lagu Stand By Me dari Oasis berkumandang di seluruh penjuru
studio bersamaan dengan suara nafas sang penari yang tenggelam di dalam gerakan
yang diciptakan melalui tubuh dan pikiran yang telah terhubung satu sama lain.
'So what's the matter with you?
Sing me something new... Don't
you know?
The cold and wind and rain don't
know
The only seem to come and go
away,'
Matanya terpejam rapat-rapat, lalu
tiba-tiba terbuka secara dramatis memperlihatkan sepasang mata sehijau emerald
yang penuh dengan hasrat. Kulit pucat bak porselen terlihat dibalik kaos dan
legging ketat yang dikenakannya, basah oleh keringat yang terus menetes deras.
Membuat beberapa helai rambut yang keluar dari ikatan, menempel di sekitar
wajah cantiknya dengan pipi yang kemerahan.
'Times are hard when things have
got no meaning
I've found a key upon the floor
May be you and I will not
believe in
The things we find behind the
door,'
Ketika lagu mencapai bait terakhir,
sang penari melompat tinggi-tinggi, berputar di udara lalu merentangkan
tubuhnya sejajar dengan lantai di bawah.
'If you're leaving will you take
me with you?
I'm tired talking on my phone
But there is something I can
never give to you
My heart will never be your
home,'
Selama beberapa saat sang penari
mempertahankan lompatannya di udara, lalu mendarat dengan mulus menggunakan
kaki-kaki telanjangnya. Seolah-olah tubuhnya yang kecil tidak terpengaruh oleh
gaya gravitasi.
Musik kemudian melambat, petikan
gitar elektrik terdengar semakin keras. Sang penari berdiri di atas kaki
kanannya. Bersiap-siap untuk melakukan pirouette. Ketika chorus terakhir
dinyanyikan, sang penari berputar dengan menggunakan ujung kaki kanan yang
menopang seluruh bobot tubuhnya yang ringan.
'Stand by me, no body knows the
way its gonna be
Stand by me, no body knows the
way its gonna be
Stand by me, no body knows the
way its gonna be,'
Musik akhirnya berhenti, membuat
ruangan menjadi hening seketika. Yang samar-samar terdengar hanyalah suara
nafas sang penari yang memburu satu sama lain.
Merasa lemas setelah menguras habis
seluruh energinya, sang penari merosot duduk dilantai dengan kaki-kakinya yang
kemudian direntangkan.
Tiba-tiba seseorang bertepuk tangan
membuat sang penari terlonjak kaget dari duduknya. Dia menoleh menuju sumber
suara. Di ambang pintung dia melihat figur seorang pria berpostur tinggi sedang
berdiri dengan punggung yang disandarkan pada kusen pintu. Sang penari
mendongak untuk mengamati pria asing yang belum pernah dilihatnya itu. Namun
melihat dari bentuk torsonya yang kuat dan tegap di balik koas tipis yang
dikenakannya, sang penari tahu bahwa pria itu merupakan seseorang seperti
dirinya.
***
“Luar biasa! Kau membuatku berhenti
bernafas!” seru pria asing dengan senyuman lebar yang memperlihatkan
gigi-giginya yang rata.
Bukankah tadi pintu itu terkunci?
Pikir sang penari yang masih
mengamati pria itu. Tapi kali ini dia sudah berdiri di atas kaki-kakinya yang
masih lemas untuk melihat sosoknya lebih jelas lagi.
Pria itu bertubuh langsing, tapi
cukup berotot. Terutama di bagian lengan yang terlihat berkat kaos tangan
pendek yang dikenakannya. Dari situ sang penari berasumsi bahwa pria itu menari
berpasangan. Dengan tangan-tangannya itu, dia bisa mengangkat beberapa orang
sekaligus.
Kulitnya gelap, berwarna
kecokelatan terbakar matahari. Sang penari berpikir, mungkin selain untuk
menari, pria itu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berjemur di
pinggiran pantai.
Tapi pantai bagian mana dari London
yang menyediakan begitu banyak sinar matahari untuk membakar kulit sampai
begitu cokelat?
Namun yang sebenarnya paling
menarik perhatian sang penari adalah benda metal mengkilap yang menempel di
sepasang telinganya dan di pelipis kirinya. Sang penari tahu beberapa orang
temannya di sekolah cenderung berpenampilan eksentrik. Tapi dia yakin belum
pernah melihat yang seperti itu.
“Bagaimana kau bisa melakukannya?”
tanya pria itu, masih berdiri di ambang pintu seolah-olah tubuhnya menempel
selamanya di sana.
Sang penari yang masih terkesima
dengan kemunculan sang pria asing, tidak bisa melewatkan antusiasme yang terdengar
dari suaranya juga terlihat dari sepasang mata berwarna gelap yang
mengingatkannya pada langit malam musim dingin di kota London yang agak kelabu.
Sekarang sang penari ragu apakah
pria asing itu merupakan seseorang seperti dirinya.
“Itu bukan apa-apa,” kata sang
penari sambil tersenyum geli ketika dia memikirkan bahwa hampir saja dia
menanyakan pertanyaan yang sama tapi dalam konteks yang berbeda.
Dengan menggunakan jari-jarinya
yang panjang dan lentik, pria asing itu menelusuri rambut hitamnya yang tebal
dan gondrong sampai berantakan. Dia nampak gugup melihat senyuman sang penari
yang mampu mengusik batinnya karena kegirangan yang dirasakannya. Well,
itu bukanlah sesuatu yang terlalu baik, pikirnya.
Melihat tidak ada lagi yang
dikatakan oleh pria asing, sang penari memutuskan bahwa perbincangan mereka
sudah selesai. Dia harus segera pulang supaya tidak telat untuk makan malam.
Sang penari mengemasi
barang-barangnya yang diletakan di atas meja di sudut ruangan lalu memasukannya
ke dalam messenger bag. Dia memakai sweater tipis yang resletingnnya dibiarkan
terbuka serta lengannya yang digulung sampai siku.
Setelah itu sang penari mengambil
RedBull yang masih dingin, yang disimpan di kolong meja. Seringaian puas muncul
di wajahnya, mendengar suara yang ditimbulkan ketika tutup botolnya dibuka.
Tanpa menunggu lebih lama, sang penari mengangkat botol itu menuju bibirnya
yang ranum, lalu mengambil satu tegukan panjang sampai dia merasakan efek
kafein yang membuat tubuhnya segar kembali.
Ketika sang penari keluar dari
studio, dia tidak terkejut melihat pria asing itu sudah pergi. Namun jauh di
lubuk hatinya dia menyesal karena tidak sempat berkenalan dengannya.
Sepertinya senyuman ramah sang pria
asing bekerja lebih baik dari pada kafein untuk menyegarkan tubuhnya.
***
Rosy Marie Rambert, sembilan belas
tahun, sedang menempuh pendidikan undergraduate di London Contemporary Dance
School. Tahun ini adalah tahun kedua, tinggal satu tahun lagi menjelang
kelulusan.
Rosy adalah salah satu yang terbaik
di antara seratus delapan puluh penari lain yang belajar di sana. Orang-orang
bilang dia adalah penari natural. Dan seorang penari natural tahu apa yang
orang lain tidak tahu untuk menarik perhatian orang-orang yang melihatnya,
melihat kecantikan yang diberikan melalui tariannya yang sempurna. Tidak ada
orang yang mau melewatkan setiap gerakan yang diambilnya bahkan untuk sekedar
mengedipkan mata yang gatal.
Well, she was simply born to dance.
Namun bakat luar biasa yang
dimiliki Rosy, tidak otomatis membuatnya menjadi bintang utama di panggung The
Place yang prestisius tanpa latihan dan kerja keras sama sekali. Kenyataannya
Rosy tetap datang ke sekolah untuk belajar dari selusin guru yang tidak hanya
mengajarkan teknik-teknik tarian, tapi banyak hal lainnya yang akan membuat
seorang penari menjadi penampil sejati yang sesungguhnya. Well, itulah
yang selalu dikatakan oleh instrukturnya dalam setiap kelas yang diikutinya.
Bus nomor sepuluh yang membawa Rosy
dari Duke St, telah melewati Gordon Square, taman kota yang dikelilingi oleh
gedung-gedung departemen Sejarah dan Arkeologi University College of London,
tempat dimana bibinya mengajar sebagai dosen. Ngomong-ngomong itulah alasan
mengapa mereka tinggal di daerah itu sejak awal, selain karena lingkungannya
yang nyaman dan aman.
Karena sebentar lagi bus akan
mencapai tujuan, Rosy bergegas merapikan barang-barang bawaannya untuk
bersiap-siap turun.
Ketika Rosy keluar dari bus,
matahari musim panas langsung datang menyerangnya. Seketika membuat silau mata
dan sakit kepala. Segera Rosy menutupi kepalanya dengan messenger bag untuk
melindung kulitnya yang sensitif karena mudah sekali terbakar matahari. Rosy
harus mengalah karena matahari masih betah berdiri di puncak langit sekalipun
waktu sudah menunjukan hampir pukul enam petang. Well, musim panas tahun
ini memang menghadirkan senja yang kelewat panjang dari yang diinginkan oleh
Rosy.
Rosy berlari-lari menuju rumahnya
yang untungnya terletak tidak terlalu jauh dari jalan raya. Wangi azalea yang
tumbuh dengan subur di sekitar perumahan, menyambut kedatangnya dengan ramah.
Di depan rumah berlantai dua tipe kolonial, Rosy berhenti. Rumah itu cukup
menonjol di antara rumah-rumah yang berada di kanan dan kirinya.
Dinding-dindingnya yang kokoh terbuat dari batu bata merah terang yang tingkat
kecarahannya ingin menyaingi perwinkle yang ditanam oleh bibinya di halaman
depan. Jendela-jendalanya besar dan tinggi dengan bingkai berwarna putih dan
kisi-kisi yang bebas dari debu karena rutin dibersihkan oleh bibinya setiap
hari. Di atap dari genting tanah liat yang berwarna cokelat gelap, menempel
cerobong asap yang digunakan oleh sinterklas untuk menyelundupkan kado-kado
pesanan Rosy saat malam natal.
Rosy tersenyum geli ketika
memikirnya. Mungkin dongeng masa kecil yang dulu diceritakan oleh sang bibi
tidak lagi dapat diterima oleh nalarnya yang kian berkembang seiring dengan
pertambahaan usia.
Setelah melewati teras yang kosong
tanpa tempat duduk, Rosy menekan bel pintu masuk untuk memberitahukan
kepulangannya kepada satu-satunya penghuni rumah selain dirinya. Namun kali ini
nampak senyuman pilu terukir di permukaan wajahnya sebelum pintu terbuka
menampilkan sosok bibi Primrose dengan celemek merah muda di badannya.
“Selamat datang,” kata bibi
Primrose sambil membuka pintu lebar-lebar untuk mempersilahkan Rosy masuk, “Syukurlah
kau tidak terlambat untuk makan malam,” imbuhnya, kedengaran lebih lega dari
pada kelihatannya jika dilihat dari ekspresi wajah monoton yang tersembunyi di
balik kacamata tebal yang dikenakannya.
Buru-buru Rosy melenyapkan jejak
kesedihan di wajahnya sebelum masuk ke dalam rumah yang terlampau suram jika
dibandingkan dengan suasana di luar rumah.
Untuk sesaat Rosy merindukan aroma
manis azalea yang menyambut kedatangannya serta kecerahan periwinkle yang
menghangatkan batinnya. Bahkan Rosy mulai merindukan senyuman ramah sang pria
asing yang sepertinya tidak akan mudah untuk dilupakan.
***
Komentar
Posting Komentar