Langsung ke konten utama

Invisible Thread


“You will meet a lot of different people on this earth. Some of them come into your life for a reason, some for season, and some for lifetime. I believe that things are connected, and the people you keep close to you are there for purpose. Relationships and friendships will come and go, but sometimes the universe has a way of bringing back the people who are meant to stay, or the people who will help lead you to another path down the road. The times and places of these meetings are unknown, but when they happen, it all makes senses.” – Unknown

 


B A B  I

“You often meet your fate on the road you take to avoid it.”Goldie Hawn



PAGI CERAH di akhir November yang berangin. Emma White, seorang gadis berperawakan mungil sedang berjalan menyusuri jembatan baja Victoria yang berdiri kokoh menyembrangi sungai Waikato dan menghubungkan Hamilton Pusat dengan Hamilton Timur. Hembusan angin sejuk musim semi mengibarkan helaian rambut sepanjang bahu miliknya, membawa serta hawa lembab dan segar khas sungai yang menggelitik menyentuh kulitnya yang berwarna kekuningan. Di atas kepalanya terhampar langit kota Hamilton yang memedarkan sinar jingga kemerahan, menyambut sang surya yang siap menyingsing terang. Sepasang telinganya menyimak baik-baik deru mesin kendaraan yang melintas, gemericik sungai yang mengalir tenang, gemeresik daun yang tersibak oleh angin serta derap langkah kakinya yang menyeret. Seulas senyuman mengembang di wajahnya yang cantik, menggambarkan suasana hatinya yang dipenuhi oleh rasa syukur atas pagi yang indah di akhir musim semi yang amat disukainya.
Setelah setengah jalan menyisir panjang jembatan, Emma menepi lalu menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas jembatan. Tubuhnya kini menghadap ke arah selatan menuju gedung Waikato Museum yang terletak di sisi barat sungai. Pandangan matanya menerawang mengamati sekeliling jembatan yang masih lengang. Hanya terlihat beberapa kendaraan melintas serta orang-orang jogging, menunjukan jam masuk sekolah ataupun kantor yang masih agak lama. Dia menggulung lengan kemeja yang dikenakannya lalu memeriksa arloji Mickey Mouse yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Alis matanya mengernyit menyaksikan posisi lengan Mickey Mouse yang menunjukan waktu saat ini.
6.15. Yang benar saja?
Emma berbalik, tubuh bagian depannya kini menyandar pada pagar pembatas jembatan setinggi dada. Kepalanya menunduk ke bawah menghadap sungai yang membelah kota Hamilton menjadi dua bagian. Sepasang bola mata sehijau batu pirus yang diwarisi dari gen ayahnya kini mengamati permukaan sungai yang memantulkan bayangan lingkungan di sekitarnya dengan sempurna. Temasuk memantulkan bayangan seorang gadis yang mencondongkan tubuhnya ke depan di sisi jembatan, seolah-olah hendak meloncat ke dalam sungai kapan saja.
Emma termangu-mangu menyaksikan bayangannya sendiri. Merasa asing terhadap wajah yang murung serta tatapan mata yang kosong dan dingin yang terpantul di permukaan sungai. Tak lama kemudian dia mulai tenggelam dalam renungan.
Apa yang hilang? Emma tahu betul apa atau siapa yang hilang. Mengingat peristiwa yang terjadi 3 tahun yang lalu, tubuhnya jadi tegang. Kenangan tentang peristiwa itu muncul begitu saja dari riak aliran sungai yang membentuk pusaran lalu menghipnotisnya. Tanpa disadari, tubuhnya telah semakin condong ke depan. Kaki kanannya kini memanjat undakan pada pagar pembatas jembatan. Namun secepat itu terjadi, secepat itu pula berlalu. Segera dia melangkah mundur.
“Kau tidak jadi melompat?” tanya seseorang dengan nafas yang memburu.
Emma menoleh lalu menemukan seorang pemuda bertubuh tinggi dengan kaos oblong serta sweatpants hitam sedengkul sedang berdiri kehabisan nafas di hadapannya. Nyaris saja dia menjerit histeris sankin kagetnya menyaksikan kemunculan sosok yang asing sekaligus familiar dalam hidupannya. Pemuda itu memiliki rambut messy look berwarna kecokelatan yang terlihat semakin berantakan akibat diterbangkan oleh angin yang mendadak berhembus kencang ke arah mereka. Beberapa helai rambutnya kini mencapai sepasang bola mata berwarna navy blue yang pekat dan dingin sekaligus mempesona. Kelihatannya dia kesal. Rahangnya yang tajam dan kaku, tegang, seolah-olah dia sedang menggertakan gigi keras-keras di dalam mulutnya yang terkatup rapat.
“Shane…,” gumam Emma pelan.
Namun suara Emma yang lemah tidak kedengaran oleh Shane yang marah, “Kau tidak mendengarku hah?” tanyanya justru.
Emma mengerjap, “A… aku-,” jawabnya namun tak berhasil menemukan kata-kata lain sampai akhirnya Shane mendesak tak sabaran.
“Aku bertanya apa tadi kau mau melompat? Apa kau berniat bunuh diri?” desaknya.
Emma terbelalak kaget, “Tidak!” sergahnya defensif, “Tentu saja tidak! Bagaimana bisa begitu?” tanyanya tak mengerti.
Seketika Shane menyesali tindakannya yang sok heroik. Ceritanya tadi dia sedang jogging di sekitar Victoria St untuk mengisi waktu sebelum berangkat ke sekolah. Ketika menyusuri jembatan Victoria, dia berpapasan dengan seorang gadis berambut panjang kecokelatan yang familiar. Dia merasa pernah melihat gadis itu di suatu tempat, namun entah dimana dia tidak bisa mengingat. Gadis itu tengah bersandar pada pagar pembatas jembatan. Shane masih memperhatikannya ketika tiba-tiba saja gadis itu mengangkat kakinya menaiki undakan pada pagar pembatas jembatan lalu mencondongkan tubuhnya ke depan ke arah sungai yang membentang di bawahnya. Dia mengira gadis itu akan segera melompat, terjun ke dalam sungai. Tidak sempat berpikir, insting membawanya berlari menghampiri gadis tolol itu.
“Lalu apa yang barusan kau lakukan?” tanya Shane tak habis pikir.
“A… aku tidak melakukan apapun,” Emma menjawab tak berdaya.
Baru pada saat itu Shane menyadari betapa gadis itu terlihat begitu ketakutan berada di bawah tatapan matanya yang menghujam. Bola mata kehijauan milik gadis itu melebar memenuhi seluruh wajahnya yang mungil dengan dagu yang lancip, hidung yang kecil dan mancung serta bibir yang tipis dan ranum. Well, Shane lekas membuang muka setelah sadar sudah terlalu lama memperhatikan gadis mungil yang terlihat semakin kecil saja hanya dengan berdiri di dekatnya.
Ketakutan Emma terhadap pemuda di hadapannya berangsur-angsur berganti menjadi kebingungan. Dia tak mengerti apa gerangan yang telah dilakukannya sehingga Shane mengira dia akan melompat dari jembatan untuk bunuh diri. Dia ngeri sendiri membayangkannya!
Seakan-akan bisa membaca pikiran Emma, Shane pun memutar bola matanya jengkel, “Lupakan!” serunya sengit lalu berlari meninggalkan Emma yang kebingungan.
Emma yang masih syok dengan kejadian barusan hanya diam saja sambil menyaksikan profil punggung Shane yang menjauh sampai hilang sama sekali dari pandangan.
Angin berhembus kencang ke arahnya, menyibak rambutnya sampai berantakan lalu membawanya kembali ke kenyataan, “Oh, Tuhan…,” desah Emma sambil geleng-geleng kepala.

______

Tangan-tangan pendek Mickey Mouse telah menunjukan pukul 7 ketika sepasang kaki Emma menapaki hamparan luas rumput hijau di halaman depan gedung Hamilton High School yang megah. Setiap kali melihatnya, dia tidak pernah berhenti mengagumi detail sempurna gedung yang mengadopsi gaya arsitektur Victorian dengan kolom-kolom korintian raksasa yang spektakuler tertanam di setiap sisi gedung. Dia selalu merasa terintimidasi setiap kali melewati kolom-kolom itu. Penyebabnya mungkin karena ukurannya yang masif, mungkin karena keindahan ukirannya yang ajaib atau mungkin karena keduanya. 
“Selamat pagi Emma,” sapa seseorang bersuara bariton ketika Emma mengeluarkan buku-buku yang diperlukan untuk pelajaran pertama dari dalam loker.
Emma menoleh menuju sumber suara. Senyuman langsung merekah di wajahnya menyaksikan sosok familiar Ethan Jones, wali kelasnya yang berdiri di hadapannya dengan tubuh tinggi tegap yang atletis.
Ethan adalah guru muda berusia pertengahan dua puluhan yang dianugerahi ketampanan khas dewa-dewa Yunani (itu kata Rae). Ethan memiliki wajah yang rupawan dengan bentuk rahang yang tegas serta hidung yang ramping dan mancung. Pandangan matanya hangat dan dalam, berwarna kebiruhijauan seperti samudera yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Bibirnya berwarna merah muda alami yang terlihat semakin indah saja di kala tersenyum seperti saat ini.
“Selamat pagi Mr. Jones,” sapa Emma masih dengan senyuman sumeringah yang menawan.
“Kau datang pagi sekali,” komentar Ethan mengecek arloji di pergelangan tangan kirinya, “Baru jam 7, loh.”
Sesaat Emma mengamati suasana koridor di sekelilingnya yang masih sepi. Memang benar yang dikatakan oleh Ethan. Pelajaran pertama baru akan dimulai sekitar satu jam dari sekarang. Masih terlalu dini untuk datang ke sekolah di jam seperti ini. Mungkin tidak juga untuk mereka yang kurang kerjaan atau untuk mereka yang terlalu semangat belajar. Namun tidak keduanya untuk Emma. Datang ke sekolah jauh lebih awal merupakan rutinitas (ritual) yang dilakukannya untuk menghindari keramaian di koridor menjelang bel masuk berbunyi.
“Aku terbiasa datang pagi,” jawab Emma sambil memeluk buku-buku di depan dadanya.
“Oh, begitu,” komentar Ethan.
Emma berpikir setelah itu Ethan akan segera pergi ke kantornya yang terletak di lantai dua. Namun tampaknya perhatian Ethan saat ini tengah tertuju pada buku yang dipegangnya.
Guru muda yang mengajar Matematika itu langsung teringat pada sesuatu yang berada di dalam tas tangan yang disampirkan di bahunya yang bidang. Ethan mendesah kesal membayangkan benda itu sebelum menghampiri Emma yang tersentak kaget ketika menyaksikan keberadaannya yang semakin dekat. Pada awalnya dia terkejut melihat reaksi Emma namun tidak butuh waktu lama untuk dia mengerti apa gerangan yang sedang terjadi. Well, gadis muda di hadapannya memang pemalu, sangat pemalu, hingga pipinya akan langsung memerah setiap kali ada orang coba mendekatinya.
Emma meneguk ludah, cemas menyaksikan keberadaan wali kelasnya yang hampir mengancam zona amannya.
I won’t late you close enough to hurt me… Oh, itu adalah penggalan lirik lagu yang selalu terngiang-ngiang di kepalanya. Dengan mempererat pelukan pada buku-buku di depan dadanya, dia mulai mengambil satu langkah mundur sampai punggungnya menyentuh loker yang belum dikunci.
Ethan menahan diri untuk tidak tertawa menyaksikan tingkah konyol muridnya. Dia bukan tidak tahu apa yang dipikirkan oleh gadis di hadapannya. Bertahun-tahun mengenalnya membuatnya sedikit banyak memahami kepribadiannya. Dia hanya mencoba untuk sedikit saja menggoda Emma. Tingkahnya yang kikuk kala berinteraksi dengan orang lain serta semburat merah di pipinya saat ini sudah cukup menghibur suasana hatinya yang kacau balau akibat ulah adiknya.
 Okay, baiklah! Ethan akan berurusan dengan adiknya nanti. Akhirnya dia berhenti hanya beberapa langkah  dari Emma yang kepalanya menunduk menatapi flat shoes sewarna kulit yang menjadi alas kakinya.
“Kalau tidak salah kau berada di kelas sejarah yang sama dengan Shane?” tanya Ethan.
Perlahan-lahan Emma mengangkat kepalanya untuk mengintip Ethan melalui poni tebalnya, “Iya,” jawabnya kemudian.
 Ethan langsung menyeringai lebar, senang tebakannya benar. Segera pria berambut pirang gelap itu mengeluarkan benda yang sudah 2 hari menganggur di dalam tasnya, “Emma,” ucapnya membawa perhatian Emma kembali kepadanya, “Ketika kau sampai di kelas, bisakah kau berikan ini kepada Shane?” pintanya menyerahkan sepucuk surat.
Emma terkejut mendengarkan permintaan wali kelasnya. Untuk beberapa saat dia hanya menatapi benda yang disodorkan kepadanya dengan bingung. Dia tidak tahu apa gerangan yang harus dilakukannya dengan benda itu. Maksudnya dengan Shane. Shane Wells! Orang yang sama yang baru saja ditemuinya di jembatan Victoria. Orang yang mengira dia akan melompat dari jembatan untuk bunuh diri. Dia tidak mau berurusan dengan orang itu. Setidaknya tidak sekarang!
Emma mengangkat kepalanya untuk melihat Ethan yang sedang menunggu jawabannya. Dia menggigit bibirnya, tidak yakin dengan apa yang harus dilakukannya. Namun tidak mungkin menolak permintaan Ethan yang sudah dianggapnya seperti kakaknya sendiri.
Suasana koridor telah semakin ramai ketika Ethan kembali membuka mulutnya, “Bagaimana? Kau bisa membantuku?”
Emma menelan ludahnya sendiri, yang lebih terasa seperti menelan sebutir pil pahit yang mematikan, lalu menjawab pertanyaan Ethan dengan suara pelan yang hampir tak kedengaran, “Baiklah…”
______

Emma berada di kelas Sejarah, menunggu bel tanda pelajaran dimulai berdering. Seperti biasa dia duduk di barisan paling depan di samping jendela, memandangi gumpalan awan putih yang berarak malas mengikuti kemana saja angin membawanya. Duduk di kursi paling depan tepat di hadapan meja guru secara otomatis mengasingkannya dari jangkauan teman-teman sekelasnya. Menjauhkannya dari percakapan basa-basi yang seringkali membuatnya lelah dan tidak nyaman. Well, dia adalah gadis pemalu yang tidak pandai berbicara dan dia sedang tidak dalam mood yang baik untuk mendengarkan ocehan siapapun. Setidaknya tidak saat ini, saat harinya mulai berjalan di luar kendali.
“Hey, Emma!” sapa seseorang menyadarkan Emma dari lamunannya.
Emma menoleh. Di sampingnya kini duduk Rae, seorang gadis keturunan Maori dengan kulit kecokelatan yang eksotis serta rambut hitam panjang yang menjuntai indah di sekitar bahunya yang bidang. Rae memiliki iris mata yang sangat unik, berwarna cokelat muda yang bersinar terang bak serpihan emas yang membuat wajahnya terlihat semakin ekspresif.
“Hey, Rae,” sahut Emma dengan senyuman hangat.
Rae merupakan satu dari sedikit orang di Hamilton High School yang sering menghabiskan waktu bersama dengan Emma. She is the closest one called friend. Mereka berdua memiliki jadwal yang hampir sama. Kecuali untuk mata pelajaran Seni karena Rae tidak mengambilnya tahun ini. Rae menganggap dirinya tidak memiliki bakat seni dan dia tidak mau membuang-buang waktu untuk coba melakukannya. Menurut Emma itu bukanlah masalah besar karena Rae adalah seorang pelari yang hebat. Dia tidak perlu memiliki tangan yang terampil melukis selama dia memiliki kaki yang bisa berlari sejauh 100 meter dalam waktu kurang dari 11 detik. Well, Rae adalah atlet paling berbakat yang dimiliki oleh Hamilton High School.
“Hey, apa yang terjadi?” tanya Rae, “Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu.”
Emma agak terkejut mendengarkan pertanyaan Rae namun dia coba tidak menunjukannya, “Tidak,” jawabnya bohong, “Bukan apa-apa, Rae,” imbuhnya mengkoreksi ketika melihat Rae mengangkat sebelah alis matanya curiga.
Emma memilih untuk tidak menceritakan ‘perjumpaannya’ dengan Shane. Setidaknya tidak saat ini, saat kelas akan segera dimulai.
“Oh, baguslah,” komentar Rae dengan senyuman lega.
Kelas telah penuh terisi oleh murid-murid ketika Mr. Wales datang. Buruk bagi Emma yang tidak bisa berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung. Perhatiannya terus tertuju pada amplop putih di balik buku catatan yang harus segera diberikannya kepada Shane. Si pembuat onar Shane Wells! Dia tengah berpikir keras, mencari-cari cara paling efektif untuk memberikan amplop itu tanpa menimbulkan masalah. Dia mungkin seorang pengecut yang begitu takut berurusan dengan Shane. Tapi semua orang juga begitu! Semua orang takut berurusan dengan pembuat onar. Itulah yang membuat Shane tidak memiliki teman tapi budak yang menjadi pengikutnya.
Ada penyebab mengapa Emma tidak mau atau lebih tepatnya takut berurusan dengan Shane. Kejadiannya sekitar satu tahun yang lalu ketika mereka masih duduk di bangku kelas sepuluh. Saat itu Emma mengenal Shane hanya dari rumor yang beredar tentang perbuatan tercelanya memukul seorang murid senior sampai masuk rumah sakit. Dia mengetahui bagaimana wujud Shane dari Rae yang mendadak histeris ketika mereka berpapasang dengan Shane di koridor. Ternyata Emma dan Shane berada di kelas Seni dan Sejarah yang sama. Namun semua itu hanyalah pengantar dari sebuah insiden di kelas Seni yang tidak akan pernah bisa dilupakannya.
______

“Apa yang kau lukis?” tanya Mr. Houston kepada Emma yang sedang menggambar sketsa kasar di atas kanvasnya.
Sebelum menjawab pertanyaan gurunya, Emma mengamati matahari musim panas yang bersinar terang di balik jendela. Melihat itu, mengingatkannya pada sebuah karya Cladue Monet, Impressions Sunrise, sebuah lukisan tahun 1872 yang menggambarkan pemandangan pelabuhan kota Le Havre Perancis di pagi hari. Emma coba membayangkan detail lukisan itu. Dia melihat di bagian belakang terdapat siluet kapal-kapal yang menghilang di dalam kabut, lalu di bagian depan terdapat 3 perahu yang muncul samar-samar, serta air laut  yang memantulkan cahaya matahari terbit.  
“Matahari terbit,” jawabnya.
“Menarik,” komentar Mr. Houston.
Well, sama seperti Emma, Mr. Houston juga seorang pengaggum Monet, jadi kemungkinan dia sudah tahu dari mana Emma mendapatkan inspirasi untuk lukisannya itu.
“Jangan lupa perhatikan percampuran warna-warnanya. Jangan sampai langitmu jadi terlalu terang dan terlalu berwarna dari langit yang sebenarnya,” kata sang guru mengingatkan.
Emma mengangguk mengerti. Kebanyakan pelukis memang kesulitan mencocokan warna lukisan dengan warna objek yang sebenarnya.
“Dan kau lupa mengikat rambutmu,” Mr. Houston menunjuk rambut Emma yang terurai.
“Oh...,”segera dia menggulung rambutnya dengan pensil.
“Baiklah, panggil aku jika kau butuh bantuan,” ujar Mr. Houston sebelum pergi meninggalkannya untuk memeriksa murid-murid yang lain.
Di antara mereka ada satu orang yang sama sekali belum menggarap kanvasnya. Shane Wells duduk di barisan paling belakang di pojok studio. Dia menghiraukan kanvasnya yang putih bersih dan memejamkan matanya yang letih. Well, dia ingin waktu cepat berlalu, jadi dia tidur.
Mr. Houston yang geram langsung menghampirinya. Sudah sering dia menyaksikan Shane tidur di kelas, tapi kali ini dia sudah tidak bisa mentolerir.  Demi Tuhan, mereka sedang ujian praktek!
“Shane, bangun atau kau kuusir dari ruangan ini!” seru Mr. Houston menarik perhatian murid-murid yang lain. Well, itu tidak terlalu baik, tapi dia tidak peduli karena bocah itu sudah kelewatan.
Shane membuka matanya. Dia tidak benar-benar tertidur. Dia hanya ingin mengistirahatkan matanya yang lelah.
“Aku sudah bangun.”
Mr. Houston menatapnya tak percaya, “Lalu mengapa kau tidak mengerjakan tugasmu?” dia menunjuk pada kanvas yang masih kosong, “Kita sedang ujian praktek. Nilai ini sangat penting.”
“Aku sudah punya nilai yang cukup,” sahut Shane.
Dia sedang membicarakan tentang keberhasilannya memperoleh nilai sempurna pada ujian praktek seni musik minggu lalu.
“Aku tahu,” kata Mr. Houston berusaha mengendali amarah yang siap meledak kapan saja, “Tapi kau perlu nilai ini untuk mendapatkan nilai yang bagus di rapor.”
“Aku tidak perlu nilai yang bagus,” Shane menanggapi dengan santai, “Yang penting lulus, itu sudah cukup.”
Seandainya dia tidak mengenal dengan baik kakak bocah berengsek itu, dia tidak akan segan-segan menendangnya keluar. Sungguh dia sangat prihatin terhadap Mr. Jones yang kerepotan mengurus adiknya yang tak tahu aturan. Well, baiklah, dia tidak ingin menambah masalah bagi Mr. Jones, jadi dia memutuskan untuk mengalah (lagi).
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan, tapi jangan buat keributan,” dia memperingatkan untuk terakhir kali.
“Aku tidak janji,” sahut Shane, tapi tidak kedengaran oleh Mr. Houston yang telah pergi meninggalkannya.
Bukan Shane namanya jika dia takluk pada larangan. Justru dia tersulut keinginannya untuk benar-benar membuat keributan. Mungkin bukan keributan yang masif. Dia hanya ingin melakukan sesuatu yang akan membuat guru seni itu jengkel.
Akan tetapi 3 jam adalah waktu yang terlalu lama untuk tidak melakukan apa-apa selain mengamati orang-orang memoleskan cat berwarna ke permukaan kanvas mereka tanpa gairah sama sekali. Dia berani bertaruh orang-orang itu bahkan tidak tahu apa gerangan yang sedang mereka lakukan. Well, kecuali satu orang.
Dan dia telah menentukan mangsanya.
Setelah jam pelajaran selesai, Shane yang hampir mati kebosanan melangkah menghampiri mangsanya. Dia sempat melihat reaksi gadis itu yang syok melihat kedatangannya yang mendadak, tapi dia menghiraukannya. Perhatiannya hanya tertuju pada matahari terbit yang dilukis oleh gadis itu. Seringaian jahat muncul di wajahnya.
“Apa kau menumpahkan cat orange kedalam lukisanmu? Berantakan sekali.”
Emma memeriksa lukisannya, “Apa maksudmu? Komposisinya sudah benar,” sergahnya.
Shane merebut kuas yang dipegang oleh gadis malang itu. Dia mencelupkan kuas itu ke dalam cat berwarna hitam yang digunakan untuk menggambar siluet gedung dan manusia.
“Akan lebih baik seperti ini,” komentar Shane memoleskan kuas itu pada lukisan.
Emma menatap horror noda hitam yang kini memenuhi lukisannya yang masih basah, “Apa yang kau lakukan?!”
Shane menyeringai puas dengan aksinya menenggelamkan matahari terbit ke dalam kumparan hitam yang diciptakannya. Dia meletakan kuas di atas palet lalu menatap Emma yang hampir menangis.
“Kau, jahat!” umpat Emma murka.
“Hey, aku mencoba membantumu,” sela Shane, “Lukisanmu itu payah.”
 Emma bisa merasakan tubuhnya gemetaran. Komentar kejam pemuda itu berhasil menciutkan nyalinya sehingga dia hanya bisa menangis meratapi matahari terbitnya yang hancur.
“Kau ti-,”
Namun Shane tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya karena Mr. Houston keburu datang menghampiri mereka.

______

“Emma White!” panggil seseorang begitu keras membuat Emma terperanjat dari kursinya.
Emma menyaksikan Rae tengah menatapinya dengan ekspresi aneh yang tidak bisa dimengerti. Sampai akhirnya dia menyadari kehadiran Mr. Wales yang sedang melotot di balik kacamata tebal yang dikenakannya.
“Kau pikir apa yang sedang kau lakukan? Melamun di kelasku?” tanya Mr. Wales sengit membuat Emma menyusut ketakutan.
“Maaf sir,” pinta Emma pelan dengan tangan yang memilin-milin kemejanya.
Saat itu barulah dia menyadari suasana kelas yang hening sama sekali. Perhatian semua orang kini tertuju hanya kepadanya. Dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri karena telah menarik terlalu banyak perhatian yang tidak diinginkannya.
“Hey, mungkin gadis itu sedang berkhayal menjadi Cinderella. Katakan padanya, ibu peri sudah ketinggalan zaman,” seru seorang murid laki-laki yang mengundang tawa semua orang.
Emma bisa merasakan keningnya basah oleh keringat dingin.
“Hentikan Shane!” seru Mr. Wales meredam tawa.
Mendengarkan nama orang itu disebutkan, Emma langsung memalingkan wajah ke sebelah kiri lalu memandang melewati Rae menuju sosok yang sedang menyeringai lebar.
“Ada apa?” Rae bertanya.
Namun Mr. Wales langsung menginterupsi, “Lanjutkan membaca halaman selanjutnya Emma.”
Oh, Tuhan, dia menyesali keputusannya sekarang!

______

Shane Wells mengamati wajah pucat sang gadis malang yang tiba-tiba saja datang menghampiri mejanya untuk memberikan sepucuk surat peringatan keempat di bulan ini. Surat itu datang mungkin akibat dia membolos selama tiga hari berturut-turut di minggu lalu. Atau mungkin akibat seseorang telah melaporkannya merokok di atap sekolah. Atau mungkin akibat keduanya. Apapun itu, sang pembuat onar tidak peduli tapi kesal! Sangat kesal hingga rasanya dia ingin meninju orang! Namun gadis yang berdiri di hadapannya malah membuatnya heran dan tak percaya. Oh, come on! Gadis itu adalah gadis yang sama yang dia temukan di jembatan Victoria pagi tadi. Gadis kurang kerjaan yang nekat memanjat pagar pembatas jembatan sehingga dia salah paham. Dan ternyata memang benar mereka pernah bertemu, demi Tuhan mereka teman sekelas!
Siapa sebenarnya dia? Shane tidak ingat namanya. Gadis itu tampak berbeda dari kebanyakan orang. Wajahnya seperti orang Asia, tapi dengan bola mata sehijau batu pirus yang bening dan mempesona. Well, tidak begitu mempesona! Dia mengkoreksi buru-buru, merasa aneh diam-diam memuji gadis menyebalkan itu.
“Aku tidak peduli dengan benda itu,” ucap Shane dingin meremas amplop putih di tangannya lalu melemparkannya ke punggung Emma.
Emma memutar badannya dan menemukan Shane telah berdiri di hadapannya. Shane melototi Emma dengan matanya yang berkilat-kilat oleh kejengkelan.
 “Katakan padaku,” desak Shane, “Siapa yang menyuruhmu mengantarkan benda itu padaku?”
Emma hanya menatap horor sosok superior Shane yang kini berdiri hanya beberapa langkah saja darinya. Emma semakin bertambah panik ketika menyaksikan tindikan di sepasang telinganya yang berkilauan tertimpa sinar matahari yang menyusup melalui jendela. Insting Emma berteriak untuk segara mengambil langkah seribu menjauhi predator yang siap memangsanya!
Siapa?!” hardik Shane sengit sambil melangkah maju memperpendek jaraknya dengan Emma, “Apa kau mau cari gara-gara denganku?”
Emma menggelengkan kepalanya berkali-kali, membuat rambutnya yang tergerai berkibaran, “Tidak… Tentu saja tidak,” katanya pasrah.
Shane semakin bertambah kesal. Seharusnya tadi dia membiarkan gadis itu melompat saja –itupun kalau dia benar-benar mau melompat. Keadaan menjadi semakin buruk ketika orang-orang mulai tertarik menonton adegan ­bullying si pembuat onar terhadap gadis kutu buku. Namun mereka hanya tertarik menyaksikan kemalangan gadis itu tanpa memiliki keinginan untuk menolongnya. Hal itu malah membuat Shane muak.
“Apakah surat itu dari Ethan?” tanya Shane dengan volume suara yang lebih rendah namun penuh dengan penekanan di setiap kata.
Ethan berarti Ethan Jones, Mr. Jones! Kali ini Emma mengangguk membiarkan poni tebal menutupi wajahnya yang pucat.
Shane memutar bola matanya, merasa luar biasa jengkel menyaksikan betapa menyedihkannya gadis itu. Entah mengapa Shane merasa déjà vu dengan semua kejadian ini, “Menjauhlah dariku,” gertaknya lalu melangkah pergi dengan menambrak Emma.
Emma hampir saja jatuh terlempar jika Shane menambraknya lebih keras lagi. Kali ini Emma akan mengingat untuk tidak pernah berurusan dengan Shane Wells!

______
Semua orang menyingkir ketika Shane membawa kaki-kaki panjangnya melewati koridor yang ramai menuju kantor wali kelasnya. Sang pembuat onar memastikan tinjunya mengepal di kedua sisi tubuhnya untuk menebarkan ancaman bagi siapa saja yang berani menghalangi jalannya. Akhirnya Shane tiba di depan kantor wali kelasnya tanpa ada satu pun korban. Dia menatapi kosong pintu ek bertuliskan –Kantor Ethan Jones– sebelum membukanya tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Ethan Jones sang pemilik kantor tidak terkejut dengan kedatangan sosok yang sudah ditunggunya. Sang wali kelas duduk dengan tenang di balik meja dari kayu mahoni tebal memeriksa tumpukan kertas di hadapannya seolah-olah tidak terganggu oleh sikap kasar muridnya.
Shane melemparkan tatapan kesal kepada wali kelasnya sebelum melangkah memasuki ruangan berdinding empat yang dipenuhi oleh rak-rak buku dari kayu pinus yang tentu saja berisi buku-buku tebal semacam ensiklopedia.
“Berhenti memberiku surat sialan itu,” komentar Shane sembari duduk di atas kursi kayu yang berderit.
Ethan meletakan kertas terakhir di atas tumpukan yang sudah diperiksanya lalu menatap pemuda di hadapannya dengan jengah, “Kau tidak akan mendapatkannya jika kau tidak membuat masalah.”
 “Jangan mendikteku, Ethan,” sahut Shane sengit.
Ethan menghela nafas panjang mendengarkan ucapan tidak sopan yang keluar dari mulut adiknya, “Surat itu datang dari kepala sekolah. Sebagai wali kelas aku hanya diperintahkan untuk memberikannya kepadamu,” tuturnya walaupun dia tidak merasa penting untuk menjelaskan hal semacam itu kepada Shane.
Shane memutar bola matanya mendengarkan penjelasan Ethan, seakan dia ingin mengatakan –aku tahu itu, aku tidak bodoh, tolol!
 “Dan kau menyuruh seorang gadis menyedihkan untuk melakukannya,” sahut Shane jijik membuat Ethan terperanjat dari kursinya.
“Apa yang kau lakukan pada Emma?” tanya Ethan geram.
Shane mengangkat bahunya santai, “Aku mendorongnya karena dia menghalangi jalanku,” jawabnya enteng.
Ethan menatap adiknya tak percaya. Entah apa lagi yang harus dia lakukan untuk membuat bocah sialan itu mengerti. Tidakkah Shane sadar bahwa tingkah lakunya yang berandalan telah membawa banyak kesulitan untuknya? Dalam minggu ini saja dia sudah mendapatkan banyak sekali laporan tentang Shane yang merokok di atap sekolah pada jam istirahat, laporan lain datang dari para guru tentang Shane yang membolos hampir di setiap mata pelajaran, serta yang paling memalukan tentang Shane yang menyalin esai Sastra seorang murid pendiam bernama Daniel Murray. Dan lain sebagainya yang membuat Ethan harus bolak-balik kantor kepala sekolah untuk memohon agar Shane tidak dikeluarkan dari sekolah. Beruntung kepala sekolah hanya memberikan surat peringatan untuk Shane. Lalu apa yang dikatakan oleh bocah sialan itu tadi?!
Sejenak Ethan memejamkan matanya yang lelah lalu menyandarkan punggungnya yang pegal pada sandaran kursi sapper yang cukup ampuh untuk mengendurkan sedikit tekanan sarafnya.
“Dad mengundang kau dan kakek untuk makan malam,” kata Ethan mengganti topik pembicaraan.
Sebenarnya itulah alasan mengapa Ethan menunggu kedatangan Shane di kantornya, untuk menyampaikan pesan sang ayah yang mengaku merindukan putera bungsu yang ditelantarkannya sejak bertahun-tahun yang lalu.
Tubuh Shane mendadak kaku mendengarkan perkataan kakaknya, “Aku tidak akan datang,” sahutnya tidak tertarik sembari beranjak dari kursi.
Ethan membuka matanya untuk melihat Shane mendekati pintu keluar, “Dia adalah ayahmu Shane, sampai kapan kau akan memperlakukannya seperti ini?”
Shane menghentikan langkahnya. Tinjunya kembali mengepal keras, “Sampai pria itu membawa kembali ibuku,” gumamnya dingin sambil menatap Ethan melalui bahunya.
Shane menyeringai lebar menyaksikan Ethan kehilangan kata-kata, “Lupakan itu. Aku datang hanya untuk memintamu berhenti memberiku surat sialan itu,” katanya lalu menghilang dari balik pintu meninggalkan Ethan yang mengerang frustasi.

______

Sang surya hampir menggelincir jatuh dan tenggelam di kaki langit sebelah barat ketika Emma tiba di depan rumahnya. Sejenak dia memandangi lesu kotak pos yang menempel di pagar besi rumahnya. Tanganya merogoh masuk ke dalam, memeriksa isi kotak berwarna orange itu. Tidak ada apapun di dalam. Tidak ada kartu pos dari ayahnya ataupun surat dari Liam. Bahkan tidak ada surat tagihan yang datang hari ini. Emma menghela nafas panjang sebelum melangkahkan kaki memasuki halaman depan.
Hampir 3 tahun berlalu sejak peristiwa itu terjadi. Tidak ada yang berubah dari rumah yang sudah ditinggali selama sepuluh tahun terakhir. Warna catnya masih sama seperti dulu, hijau muda seperti warna pasta srikaya. Teras berukuran sedang itu masih berisi empat unit kursi serta sebuah meja teh, tempat yang dulu sering digunakan untuk menikmati teh di sore hari. Pot-pot keramik berisi tanaman-tanaman hias yang bermekaran juga masih ada dan tertata rapi mengelilingi teras. Begitupula dengan pohon maple yang dulu nyaris dipugar karena salah satu cabangnya menghalangi kabel listrik. Setelah cabang yang mengganggu itu dipotong sampai sekarang pohon itu masih berdiri kokoh dengan daun-daunnya yang berguguran menutupi tanah. Tidak ada yang berubah. Bahkan setelah 3 tahun ayahnya dan Liam pergi meninggalkan rumah.
 “Aku pulang!” seru Emma membuka pintu depan.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki menghampirinya. Emma tersenyum menyaksikan sosok wanita berkulit kekuningan dengan rambut hitam legam yang tergerai indah di sepanjang punggungnya. Sang ibu muncul dengan mengenakan apron melukis yang dipenuhi oleh noda cat yang sudah mengering.
Ibu Emma adalah seorang pelukis kontemporer yang cukup terkenal di Indonesia dan Selandia Baru. Beberapa lukisannya ada yang dipajang di galeri seni di seluruh kota di Selandia Baru. Dan sejak pindah ke kota ini, dia mengajarkan seni rupa di beberapa sekolah serta pusat kesenian.
“Selamat datang,” sapa ibu Emma sambil mengecup pipi puterinya.
Emma bisa menghirup aroma menyengat thinner yang digunakan untuk mencairkan cat minyak dari tubuh ibunya, “Mom sedang melukis?” tanyanya.
“Begitulah. Ada proyek baru,” sahut ibunya sembari melangkah menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.
Emma tersenyum simpul menyaksikan punggung ibunya. Jika ada yang berubah dari rumah ini setelah 3 tahun berlalu, maka itu adalah ibunya. Senyuman wanita berusia 45 tahun itu tidak lagi mencapai matanya. Mengingat itu membuatnya kesal. Kesal karena tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mengembalikan senyuman yang dulu selalu menenangkan hatinya.
“Kau mau makan apa?” tanya ibunya dari dapur.
“Apa saja Mom,” jawabnya tak bisa menentukan pilihan.
Ibu Emma sedang memeriksa lemari es ketika Emma menaiki anak tangga menuju lantai dua, “Pasta?” tanyanya, “Tidak banyak yang tersisa di sini. Sepertinya Mom harus pergi berbelanja nanti malam.”
Pasta tidak apa-apa,” komentar Emma sebelum membuka pintu kamar.
Emma meletakkan ransel di atas meja belajar sebelum melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Dia berbaring dengan kedua tangan yang terangkat untuk meraih lampu neon yang menggantung di langit-langit. Kebiasaan yang sering dilakukannya setiap kali berbaring di tempat tidur. Dia mengumpamakan lampu neon itu sebagai masa lalunya, ayahnya, Liam dan senyuman ibunya yang tidak terjangkau.
Emma tidak pernah berpikir bahwa waktu begitu terbatas. Dulu dia selalu merasa memiliki keluarga yang sempurna dengan kedua orangtua yang sempurna dan seorang kakak laki-laki yang sempurna. Namun ternyata dia tidak memperhatikan baik-baik apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya. Sampai suatu ketika tiba-tiba saja kedua orangtuanya memutuskan untuk bercerai lalu diikuti oleh kepergian ayahnya dan Liam dari rumah yang mereka tinggali selama bertahun-tahun. Sekarang untuk tetap mengingat keluarganya yang dulu sempurna dia harus menghubungkan potongan-potongan kenangan itu lalu merekatkannya satu persatu menjadi film yang diproyeksikan dalam benaknya. Well, dia tidak peduli seberapa aneh pun itu kedengarannya. Dia hanya ingin mengenang masa lalunya walaupun hanya dalam pikirannya.
Setetes air mata mulai jatuh berlinang membasahi pipinya. Mungkin akibat lupa berkedip sehingga matanya jadi iritasi. Dia segera menghapus air mata itu sebelum meninggalkan jejak di pipinya. Tak lama kemudian dia beranjak dari tempat tidur lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka guna melepas penat.
Well¸ hari ini benar-benar luar biasa,” komentar Emma sinis sambil memandangi cermin yang memantulkan wajahnya yang kelelahan.
Lagi Emma menyaksikan betapa tatapan matanya begitu kosong dan dingin, seolah-olah tidak ada jiwa yang menghuni di dalamnya.
Setelah membasuh muka sampai bersih, dia keluar dari kamar tidur. Dia menghentikan langkahnya ketika melihat pintu kamar tidur kakaknya terbuka memperlihatkan isinya yang kosong.
Emma tahu sekarang, tidak ada yang membuat sebuah ruangan menjadi terasa begitu kosong selain menginginkan seseorang berada di dalamnya. Sampai sekarang dia tidak pernah mengetahui bahwa merindukan seseorang bisa begitu menyakitkan. Rasa sakitnya begitu dalam sampai menembus tulang-tulangnya.
“Emma!” panggil sang ibu dari dapur, “Tolong bantu Mom di sini.”
 Ok!” sahut Emma menutup pintu kamar tidur kakaknya lalu melangkah pergi menuju ibunya yang menantikan bantuannya[. ]

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b