PART 2
.
“Irene, betapa bahagianya bisa melihat kau sehat
seperti ini!” seru bibi Corinne.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum dalam
pelukannya yang hangat sambil menghirup aroma lavender dari
tubuhnya yang membuatku rileks.
Setelah bibi
Corinne
mengecup pipiku dengan lembut, akhirnya dia melepaskan pelukannya lalu sepasang bola mata cokelatnya menatapku.
“Kau tahu, betapa
khawatirnya aku saat kau masih berada di rumah sakit. Kau bahkan tidak
memiliki semangat hidup.”
Aku hanya menyunggingkan
senyuman tawar yang tidak akan pernah mencapai mataku. Well, saat ini tidak ada sepatah kata pun yang muncul di otakku untuk memberikan
tanggapan dengan ucapan yang sepantasnya. Namun aku merasa sangat bersalah. Sungguh! Aku tidak tahu atau
tidak mau tahu bagaimana perasaan bibi Corinne dan kerabatku yang lain saat itu maupun saat ini. Aku tenggelam di dalam kehilangan yang kuanggap hanya aku
sendiri yang mengalaminya. Seharusnya aku tahu, bukan hanya aku yang terpukul atas kepergian Mom dan Dad. Bukan hanya aku yang
menangis ketika
jenazah Mom
dan Dad dimakamkan. Bukan hanya
aku yang akhirnya kehilangan sosok mereka.
Dan
sekarang, tepat di hadapanku bibi Corinne menunjukan bahwa aku memang tidak sendirian
menghadapi semua ini. Bibi Corinne peduli padaku, dia mengkhawatirkanku.
“Bibi
tidak usah khawatir.
Aku baik-baik saja,” kataku akhirnya.
Bibi
Corinne tersenyum simpul mendengarnya. Kini, dia menatapku dengan tatapan
yang berbicara lebih banyak dari pada kata-kata yang bisa diucapkan oleh
mulutnya. Kemudian
jari-jarinya yang cantik mengelus-elus rambutku pelan.
“Dengar,“ bisik
bibi Corinne, “Mulai
saat ini kau akan memulai kehidupanmu yang baru. Harimu yang baru. Di rumah
ini, bersama denganku dan Ben. Anggap aku sebagai orang tuamu. Dan Ben sebagai kakakmu.
Mulai sekarang kita adalah satu keluarga,“ katanya dengan mata yang
berbinar-binar menahan haru, ”Bibi tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Kau mengerti?”
Aku menganggukan
kepalaku pelan, terharu dengan apa yang bibi Corinne katakan.
Kemudian bibi
Corinne
kembali membawaku ke dalam pelukannya. Rasanya tangisku nyaris pecah
sekarang. Namun untungnya aku masih bisa menahan air mataku. Perlahan-lahan
bibi Corinne
melepaskan pelukannya ketika melihat Ben yang sudah menyimpan mobilnya di garasi, datang menghampiri kami.
“Tolong antarkan Irene ke kamarnya. Mom akan menyiapkan makan malam,” kata
bibi Corinne kepada anaknya.
Ben mengangguk lalu melirik ke arahku berdiri. Dia tidak mengatakan
apapun, kemudian dia melangkah masuk ke dalam rumah.
“Ayo sayang, ikuti Ben. Bibi akan memanggilmu saat
makan malam siap,” perintah bibi Corinne.
Akupun bergegas
mengikuti Ben yang sudah duluan masuk kedalam rumah baruku.
***
Ben membimbingku memasuki rumah mewahnya yang aku ketahui memiliki gaya
arsitektur Bauhaus ala arsitek Walter Gropius yang hasil karyanya sering kali
kulihat di layar laptop milik Dad. Dad adalah seorang arsitek, dia banyak
menggambar rumah dengan gaya seperti itu.
Rumah ini memiliki atap yang datar dengan pilar-pilar
dari baja yang menyatu dengan pepohonan di sekitarnya. Warna putih mendominasi
tampilan rumah berlantai dua ini, memberikan kesan smooth and clear. Apalagi dengan banyaknya bukaan berupa jendela
kaca yang lebar berbentuk kubik yang menonjol. Sama seperti bagian luar,
ruangan bagian dalam juga didominasi oleh warna putih dengan pemilihan furniture yang tidak terlalu banyak.
Ruang tamu yang baru saja kulewati hanya memiliki satu set sofa berwarna cerah
dengan meja kopi dari marble yang
mengkilap serta vas bunga berisi bunga berwarna orange yang menghangatkan
ruangan. Di ruangan selanjutnya perhatianku tertuju pada foto yang
ditempel di dinding yang
menggambarkan potret menawan bibi Corinne dan Ben.
Mereka benar-benar keluarga yang rupawan.
“Ayo, Irene,” kata Ben kesal ketika dia melihatku
berhenti.
Aku menatap Ben tidak setuju. Well, tidak bisakah dia bersikap kooperatif dengan memberiku
kesempatan untuk
memandangi dengan takjub setiap detail sempurna rumah ini? Bisa
dibilang aku sedang memujinya dengan mengagumi tempat tinggalnya.
Aku mendengar Ben mengerang tidak sabar, “Kau memiliki
kesempatan untuk melakukannya, tapi setelah aku menunjukan kamar tidurmu,”
katanya.
Ben benar. Aku memiliki banyak kesempatan untuk
melakukannya. Well, mulai hari ini
aku akan tinggal di rumah ini, aku bisa memandangi seluruh penjuru rumah ini
sampai aku merasa bosan. Mungkin itu yang Ben coba katakan kepadaku.
Setelah
memastikan aku mengikutinya, Ben mulai menaiki tangga dari granit putih yang menempel di dinding menuju lantai dua. Aku
harus mempercepat langkahku agar tidak tertinggal di belakang.
Sesampainya aku di lantai dua, yang
pertama kali kulihat adalah piano grand hitam mengkilap yang terlihat menonjol di antara ruangan
yang serba putih.
“Siapa
yang memainkan piano itu?” tanyaku penasaran ketika Ben berhenti tepat di depan sebuah
pintu.
“Siapa saja yang mau
memainkannya,” jawabnya dengan suara yang monoton.
Sebenarnya aku tidak suka dengan cara Ben
menjawab pertanyaanku, tapi aku tidak lagi bisa dibuat kesal oleh sikap
dinginnya ketika berhadapan dengan piano mewah di hadapanku. Di rumahku yang
dulu, aku memiliki sebuah piano akustik Yamaha Upright yang diletakan di ruang
keluarga yang sudah kumainkan selama bertahun-tahun. Well, sekarang aku tahu mengapa bibi Corinne tidak
membawanya ke rumah ini. Membayangkan bahwa aku bisa memainkan sebuah piano
grand sudah cukup menghibur hatiku.
“Berarti aku boleh
memainkannya?” tanyaku memastikan.
Ben mengagguk mengiyakan membuatku senang.
Ketika Ben membuka pintu di
depan kami,
dari balik punggungnya aku
melihat
kamar tidur dengan dinding berwarna pastel yang feminim.
Ben
memutar badannya untuk melihatku, “Ini kamarmu,” katanya memberitahu.
Aku
mengangguk sambil tersenyum simpul. Sesaat aku memberanikan diri untuk
menatap wajah Ben.
Well, Ben memang tinggi. Untuk dapat melihat wajahnya dengan
jelas, aku
harus mendongakkan kepalaku hingga membuat tengkukku terasa sedikit sakit.
“Jika
ada yang kau perlukan, kamarku ada di sebelah sana.”
Ben menunjuk ke pintu lain yang berada tepat di seberang kamarku.
”Dan jangan terlalu berisik,” katanya
terdengar seperti ancaman.
Aku menatapnya bingung sebelum menganggukan kepalaku
pelan. Ben kembali melemparkan tatapan aneh yang mulai membuatku risih, kemudian berjalan melewatiku.
“Maaf
jika aku merepotkanmu,” gumamku namun ternyata sudah cukup keras untuk dapat
didengar oleh Ben.
Ben menghentikan langkahnya. Dengan posisi
kami yang
saling memunggungi membuatku lebih leluasa untuk membuka
mulut. Setelah
memastikan bahwa Ben mendengarkan, aku kembali bersuara, kali ini lebih jelas.
“Sepertinya kau tidak
menyukai kehadiranku di sini. Aku minta maaf.”
“Jangan khawatir,” kata
Ben cepat, “Aku
tidak bermaksud seperti itu.”
Mendengar jawabannya membuatku sedikit lega.
Perlahan-laham aku memutar badan untuk bertemu dengan punggung Ben, “Setidaknya
aku mau minta maaf atas jeritan-jeritan bodohku selama di perjalanan,” pintaku
setulus hati.
“Kumaafkan,” jawab Ben singkat, lalu kembali melangkahkan kaki-kaki
panjangnya.
Aku terus menatap punggung Ben yang begitu lebar dan
tegap sekaligus terlihat begitu kaku dan dingin, sama seperti ekspresi
wajahnya, sampai dia lenyap di balik pintu kamarnya. Well, kuharap Ben berkata jujur. Lalu aku
pun masuk ke dalam kamar dan menutup rapat pintunya.
Aku melemparkan tubuhku ke atas kasur berseprai putih yang
empuk dan hangat.
Lalu aku merebahkan diri dengan muka menghadap bantal untuk
menghangatkan wajahku.
Banyak hal terjadi hari ini, membuatku berpikir mengapa aku
berada di posisi
ini, posisi
yang bahkan lebih membingungkan dari pada seseorang
yang menderita
amnesia. Terkadang, ketika
kilatan peristiwa sadis
itu muncul dalam mimpiku atau tiba-tiba muncul
begitu saja ketika aku terjaga, aku berharap aku mengalaminya.
Bukan berarti aku menyesali kehidupan yang diberikan oleh Tuhan untukku. Aku hanya merasa sedih
dan
frustasi. Aku baru
saja kehilangan
mereka
yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang selama tujuh
belas tahun
terakhir. Mereka
yang selalu
hadir dalam setiap hembusan nafasku di dunia in, mengisi hari-hariku,
mengiringi setiap derap langkahku. Sekarang mereka telah pergi dan tidak
akan pernah
kembali walau sepersekian detik hanya untuk memberikan kecupan selamat tidur.
Berulang kali aku berdoa agar apa yang menimpaku
hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan lenyap begitu saja ketika aku terjaga.
Tapi aku tahu Tuhan tidak akan mengabulkan doaku yang satu itu. Mom dan Dad tidak ada di sana ketika aku membuka mata. Mereka tidak ada
dimana pun. Kini mimpi burukku adalah kenyataan yang tidak akan lenyap begitu
saja ketika aku membuka mata. Kini kenyataan yang kuhadapi adalah takdir kejam
yang menghancurkan harapan, mimpi, cita-cita dan kehidupanku secara
keseluruhan. Well, ada banyak orang
yang tidak mau tidur karena takut dengan mimpi buruk, tapi ada lebih banyak
lagi orang yang tidak mau bangun dengan ketakutan yang sama.
Sejujurnya aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Mom dan Dad. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal semacam itu akan
terjadi padaku sebelumnya. Oleh karena itu, pasti akan sangat sulit bahkan
mustahil untuk aku menjalani semua ini.
Aku menenggelamkan kepalaku semakin dalam pada batal
yang beraroma bunga lilac, sebelum mengerang frustasi. Setelah menarik nafas
panjang yang agak dramatis, aku beranjak dari tempat tidur. Berbaring seharian sambil berpikir yang bukan-bukan tidak
akan membawaku kemana-kemana.
Aku membawa kakiku mengelilingi kamar tidur berukuran
sekitar lima kali lima meter. Dindingnya dicat warna pastel dengan wallpaper bunga chrysan. Kamar tidur ini tidak memiliki banyak furniture, yang
sangat kusyukuri. Selain tempat tidur queen
size terdapat satu set meja rias, meja belajar, rak buku yang menempel di
dinding serta sebuah pintu menuju ke kamar mandi dan wardrobe. Terdapat dua buah jendela serta sebuah pintu kaca besar yang
membawaku menuju balkon.
Ketika
aku membuka pintu,
sedetik kemudian udara dingin langsung menyergapku. Aku
segera menutup kembali pintunya, mencegah angin yang akan masuk membawa udara
dingin dari luar.
Great! Aku
melupakan mantel yang dipinjamkan oleh Ben, masih melekat di tubuhku. Aku mulai
bergulat dengan pikiranku. Sejujurnya aku tidak suka dengan pilihan yang ada.
Ben terlihat tidak menyukaiku, kurasa dia akan kesal jika aku mengganggunya.
Tapi bagaimana jika Ben membutuhkan mantelnya? Ben akan lebih menganggapku
merepotkan.
Akhirnya dengan enggan aku membawa kaki-kakiku menuju kamar tidur Ben yang berada di seberang
kamar tidurku.
Dengan ragu-ragu aku mengetuk pintu kamar Ben. Tak lama Ben membuka pintunya dengan
ponsel
yang sedang menempel di telinga kirinya.
“Tunggu sebentar,” katanya kepada seseorang yang
sedang ditelponnya, “Ada apa?” tanyanya datar.
“Maaf menggangu. Aku hanya ingin mengembalikan ini,” kataku seraya menyodorkan mantel itu kepadanya, “Terimakasih,”
Ben mengambil mantel itu dari tanganku,”Ada lagi?” tanyanya.
Aku
menggelengkan kepala. Tanpa basa-basi Ben langsung menutup pintu kamarnya tepat di depan wajahku.
***
“Irene,” panggil bibi Corinne.
Aku
yang sedang mengiris steak tanderloin di piringku, langsung
mendongak
menatap bibi Corinne, “Iya?”
“Kau suka makanannya?” tanyanya
nampak waspada dengan apapun yang akan aku katakan.
Aku
mengangguk sambil tersenyum lebar, ”Iya, ini enak sekali,” ungkapku jujur.
Bibi Corinne tersenyum puas mendengar jawabanku.
Well, aku
memang dibuat takjub oleh masakan bibi Corinne. Rasanya tidak kalah lezat dari
masakan restoran bintang lima yang mahal itu. Tapi yang paling membuatku
bersyukur adalah rasanya seratus kali lebih lezat dari masakan rumah sakit.
Sebulan lebih menkonsumsi makanan sehat dan higienis ala rumah sakit hampir
membuat indera pengecapku mati rasa.
Sebelum kembali menyantap makan malamku, aku
memberanikan diri untuk melirik Ben yang duduk di hadapanku. Sejak tadi Ben
tidak banyak bersuara, dia menyantap makan malamnya dalam diam. Sejujurnya aku
masih kesal dengan kejadian tadi sore. Beruntung daun pintu yang dibanting oleh
Ben tidak langsung menghantam hidungku. Kurasa dugaanku memang benar bahwa dia
tidak menyukai kehadiranku di rumah ini. Oh, dia bahkan tidak mau mencoba
menyembunyikan perasaannya untuk menjaga perasaanku.
Well, siapa
yang peduli dengan perasaan orang yang tidak disukainya?
Aku nyaris terperanjat kaget ketika bola mata cokelat
milik Ben mendadak mendarat kepadaku. Buru-buru aku merundukan kepala untuk
menghindari tatapannya yang mengintimidasi.
“Ngomong-ngomong,
bibi sudah
mendaftarkanmu di Royal Vogue High,“ kata bibi Corinne.
Aku mendongak menatapnya, “Royal Vogue High?”
tanyaku bingung.
“Sekolahmu yang baru. Dulu Ben juga sekolah di sana,”
ucap bibi Corinne melirik Ben.
Aku menatap Ben kaget.
Ben mengangkat bahunya, “Letaknya cukup dekat dari
rumah ini. Kualitas pendidikannya juga sangat bagus,” jawabnya terdengar tidak
terlalu peduli dengan apa yang dikatakannya.
“Sekolahmu akan dimulai lusa nanti. Jadi kau punya waktu
satu hari untuk menyiapkan semuannya,” jelas bibi Corinne.
Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan mendengar semua itu. Alhasil aku hanya bisa
menyunggingkan senyuman palsu untuk menyembunyikan kegelisahan yang diam-diam
membuat perutku mual hingga melenyapkan nafsu makanku.
Komentar
Posting Komentar