Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB I]


PART 2
.

Ben menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah berlantai dua. Setelah pintu gerbangnya terbuka secara otomatis, Ben kembali meluncurkan mobilnya memasuki pekarangan depan. Ketika aku keluar dari mobil, bibi Corinne sudah berdiri di hadapanku dan bersiap-siap untuk memelukku.
Irene, betapa bahagianya bisa melihat kau sehat seperti ini!” seru bibi Corinne.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum dalam pelukannya yang hangat sambil menghirup aroma lavender dari tubuhnya yang membuatku rileks.
Setelah bibi Corinne mengecup pipiku dengan lembut, akhirnya dia melepaskan pelukannya lalu sepasang bola mata cokelatnya menatapku.
“Kau tahu, betapa khawatirnya aku saat kau masih berada di rumah sakit. Kau bahkan tidak memiliki semangat hidup.
Aku hanya menyunggingkan senyuman tawar yang tidak akan pernah mencapai mataku. Well, saat ini tidak ada sepatah kata pun yang muncul di otakku untuk memberikan tanggapan dengan ucapan yang sepantasnya. Namun aku merasa sangat bersalah. Sungguh! Aku tidak tahu atau tidak mau tahu bagaimana perasaan bibi Corinne dan kerabatku yang lain saat itu maupun saat ini. Aku tenggelam di dalam kehilangan yang kuanggap hanya aku sendiri yang mengalaminya. Seharusnya aku tahu, bukan hanya aku yang terpukul atas kepergian Mom dan Dad. Bukan hanya aku yang menangis ketika jenazah Mom dan Dad dimakamkan. Bukan hanya aku yang akhirnya kehilangan sosok mereka.
Dan sekarang, tepat di hadapanku bibi Corinne menunjukan bahwa aku memang tidak sendirian menghadapi semua ini.  Bibi Corinne peduli padaku, dia mengkhawatirkanku.
Bibi tidak usah khawatir. Aku baik-baik saja,kataku akhirnya.
Bibi Corinne tersenyum simpul mendengarnya. Kini, dia menatapku dengan tatapan yang berbicara lebih banyak dari pada kata-kata yang bisa diucapkan oleh mulutnya. Kemudian jari-jarinya yang cantik mengelus-elus rambutku pelan.
“Dengar,“ bisik bibi Corinne, “Mulai saat ini kau akan memulai kehidupanmu yang baru. Harimu yang baru. Di rumah ini, bersama denganku dan Ben. Anggap aku sebagai orang tuamu. Dan Ben sebagai kakakmu. Mulai sekarang kita adalah satu keluarga,“ katanya dengan mata yang berbinar-binar menahan haru, ”Bibi tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Kau mengerti?”
Aku menganggukan kepalaku pelan, terharu dengan apa yang bibi Corinne katakan.
Kemudian bibi Corinne kembali membawaku ke dalam pelukannya. Rasanya tangisku nyaris pecah sekarang. Namun untungnya aku masih bisa menahan air mataku. Perlahan-lahan bibi Corinne melepaskan pelukannya ketika melihat Ben yang sudah menyimpan mobilnya di garasi, datang menghampiri kami.
“Tolong antarkan Irene ke kamarnya. Mom akan menyiapkan makan malam, kata bibi Corinne kepada anaknya.
Ben mengangguk lalu melirik ke arahku berdiri. Dia tidak mengatakan apapun, kemudian dia melangkah masuk ke dalam rumah.
“Ayo sayang, ikuti Ben. Bibi akan memanggilmu saat makan malam siap,perintah bibi Corinne.
Akupun bergegas mengikuti Ben yang sudah duluan masuk kedalam rumah baruku.

***
Ben membimbingku memasuki rumah mewahnya yang aku ketahui memiliki gaya arsitektur  Bauhaus ala arsitek Walter Gropius yang hasil karyanya sering kali kulihat di layar laptop milik Dad. Dad adalah seorang arsitek, dia banyak menggambar rumah dengan gaya seperti itu.
Rumah ini memiliki atap yang datar dengan pilar-pilar dari baja yang menyatu dengan pepohonan di sekitarnya. Warna putih mendominasi tampilan rumah berlantai dua ini, memberikan kesan smooth and clear. Apalagi dengan banyaknya bukaan berupa jendela kaca yang lebar berbentuk kubik yang menonjol. Sama seperti bagian luar, ruangan bagian dalam juga didominasi oleh warna putih dengan pemilihan furniture yang tidak terlalu banyak. Ruang tamu yang baru saja kulewati hanya memiliki satu set sofa berwarna cerah dengan meja kopi dari marble yang mengkilap serta vas bunga berisi bunga berwarna orange yang menghangatkan ruangan. Di ruangan selanjutnya perhatianku tertuju pada foto yang ditempel di dinding yang menggambarkan potret menawan bibi Corinne dan Ben.
Mereka benar-benar keluarga yang rupawan.
“Ayo, Irene,” kata Ben kesal ketika dia melihatku berhenti.
Aku menatap Ben tidak setuju. Well, tidak bisakah dia bersikap kooperatif dengan memberiku kesempatan untuk memandangi dengan takjub setiap detail sempurna rumah ini? Bisa dibilang aku sedang memujinya dengan mengagumi tempat tinggalnya.
Aku mendengar Ben mengerang tidak sabar, “Kau memiliki kesempatan untuk melakukannya, tapi setelah aku menunjukan kamar tidurmu,” katanya.
Ben benar. Aku memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya. Well, mulai hari ini aku akan tinggal di rumah ini, aku bisa memandangi seluruh penjuru rumah ini sampai aku merasa bosan. Mungkin itu yang Ben coba katakan kepadaku.
 Setelah memastikan aku mengikutinya, Ben mulai menaiki tangga dari granit putih yang menempel di dinding menuju lantai dua. Aku harus mempercepat langkahku agar tidak tertinggal di belakang.
Sesampainya aku di lantai dua, yang pertama kali kulihat adalah piano grand hitam mengkilap yang terlihat menonjol di antara ruangan yang serba putih.
“Siapa yang memainkan piano itu?” tanyaku penasaran ketika Ben berhenti tepat di depan sebuah pintu.
Siapa saja yang mau memainkannya,jawabnya dengan suara yang monoton.
 Sebenarnya aku tidak suka dengan cara Ben menjawab pertanyaanku, tapi aku tidak lagi bisa dibuat kesal oleh sikap dinginnya ketika berhadapan dengan piano mewah di hadapanku. Di rumahku yang dulu, aku memiliki sebuah piano akustik Yamaha Upright yang diletakan di ruang keluarga yang sudah kumainkan selama bertahun-tahun. Well, sekarang aku tahu mengapa bibi Corinne tidak membawanya ke rumah ini. Membayangkan bahwa aku bisa memainkan sebuah piano grand sudah cukup menghibur hatiku.
Berarti aku boleh memainkannya?” tanyaku memastikan.
Ben mengagguk mengiyakan membuatku senang.
Ketika Ben membuka pintu di depan kami, dari balik punggungnya aku melihat kamar tidur dengan dinding berwarna pastel yang feminim.
Ben memutar badannya untuk melihatku, Ini kamarmu,katanya memberitahu.
Aku mengangguk sambil tersenyum simpul. Sesaat aku memberanikan diri untuk menatap wajah Ben.
Well, Ben memang tinggi. Untuk dapat melihat wajahnya dengan jelas, aku harus mendongakkan kepalaku hingga membuat tengkukku terasa sedikit sakit.
“Jika ada yang kau perlukan, kamarku ada di sebelah sana.
Ben menunjuk ke pintu lain yang berada tepat di seberang kamarku.
 ”Dan jangan terlalu berisik,katanya terdengar seperti ancaman.
Aku menatapnya bingung sebelum menganggukan kepalaku pelan. Ben kembali melemparkan tatapan aneh yang mulai membuatku risih, kemudian berjalan melewatiku.
“Maaf jika aku merepotkanmu,” gumamku namun ternyata sudah cukup keras untuk dapat didengar oleh Ben.
Ben menghentikan langkahnya. Dengan posisi kami yang saling memunggungi membuatku lebih leluasa untuk membuka mulut. Setelah memastikan bahwa Ben mendengarkan, aku kembali bersuara, kali ini lebih jelas.
Sepertinya kau tidak menyukai kehadiranku di sini. Aku minta maaf.
Jangan khawatir,” kata Ben cepat, “Aku tidak bermaksud seperti itu.
Mendengar jawabannya membuatku sedikit lega. Perlahan-laham aku memutar badan untuk bertemu dengan punggung Ben, “Setidaknya aku mau minta maaf atas jeritan-jeritan bodohku selama di perjalanan,” pintaku setulus hati.
“Kumaafkan,” jawab Ben singkat, lalu kembali melangkahkan kaki-kaki panjangnya.
Aku terus menatap punggung Ben yang begitu lebar dan tegap sekaligus terlihat begitu kaku dan dingin, sama seperti ekspresi wajahnya, sampai dia lenyap di balik pintu kamarnya. Well, kuharap Ben berkata jujur. Lalu aku pun masuk ke dalam kamar dan menutup rapat pintunya.
Aku melemparkan tubuhku ke atas kasur berseprai putih yang empuk dan hangat. Lalu aku merebahkan diri dengan muka menghadap bantal untuk menghangatkan wajahku.
Banyak hal terjadi hari ini, membuatku berpikir mengapa aku berada di posisi ini, posisi yang bahkan lebih membingungkan dari pada seseorang yang menderita amnesia. Terkadang, ketika kilatan peristiwa sadis itu muncul dalam mimpiku atau tiba-tiba muncul begitu saja ketika aku terjaga, aku berharap aku mengalaminya.
Bukan berarti aku menyesali kehidupan yang diberikan oleh Tuhan untukku. Aku hanya merasa sedih dan frustasi. Aku baru saja kehilangan mereka yang telah membesarkanku dengan penuh kasih sayang selama tujuh belas tahun terakhir. Mereka yang selalu hadir dalam setiap hembusan nafasku di dunia in, mengisi hari-hariku, mengiringi setiap derap langkahku. Sekarang mereka telah pergi dan tidak akan pernah kembali walau sepersekian detik hanya untuk memberikan kecupan selamat tidur.
Berulang kali aku berdoa agar apa yang menimpaku hanyalah sebuah mimpi buruk yang akan lenyap begitu saja ketika aku terjaga. Tapi aku tahu Tuhan tidak akan mengabulkan doaku yang satu itu. Mom dan Dad tidak ada di sana ketika aku membuka mata. Mereka tidak ada dimana pun. Kini mimpi burukku adalah kenyataan yang tidak akan lenyap begitu saja ketika aku membuka mata. Kini kenyataan yang kuhadapi adalah takdir kejam yang menghancurkan harapan, mimpi, cita-cita dan kehidupanku secara keseluruhan. Well, ada banyak orang yang tidak mau tidur karena takut dengan mimpi buruk, tapi ada lebih banyak lagi orang yang tidak mau bangun dengan ketakutan yang sama.
Sejujurnya aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa Mom dan Dad. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal semacam itu akan terjadi padaku sebelumnya. Oleh karena itu, pasti akan sangat sulit bahkan mustahil untuk aku menjalani semua ini.
Aku menenggelamkan kepalaku semakin dalam pada batal yang beraroma bunga lilac, sebelum mengerang frustasi. Setelah menarik nafas panjang yang agak dramatis, aku beranjak dari tempat tidur. Berbaring seharian sambil berpikir yang bukan-bukan tidak akan membawaku kemana-kemana.
Aku membawa kakiku mengelilingi kamar tidur berukuran sekitar lima kali lima meter. Dindingnya dicat warna pastel dengan wallpaper bunga chrysan. Kamar tidur ini tidak memiliki banyak furniture, yang sangat kusyukuri. Selain tempat tidur queen size terdapat satu set meja rias, meja belajar, rak buku yang menempel di dinding serta sebuah pintu menuju ke kamar mandi dan wardrobe. Terdapat dua buah jendela serta sebuah pintu kaca besar yang membawaku menuju balkon.
Ketika aku membuka pintu, sedetik kemudian udara dingin langsung menyergapku. Aku segera menutup kembali pintunya, mencegah angin yang akan masuk membawa udara dingin dari luar.
Great! Aku melupakan mantel yang dipinjamkan oleh Ben, masih melekat di tubuhku. Aku mulai bergulat dengan pikiranku. Sejujurnya aku tidak suka dengan pilihan yang ada. Ben terlihat tidak menyukaiku, kurasa dia akan kesal jika aku mengganggunya. Tapi bagaimana jika Ben membutuhkan mantelnya? Ben akan lebih menganggapku merepotkan.
Akhirnya dengan enggan aku membawa kaki-kakiku menuju kamar tidur Ben yang berada di seberang kamar tidurku.
Dengan ragu-ragu aku mengetuk pintu kamar Ben. Tak lama Ben membuka pintunya dengan ponsel yang sedang menempel di telinga kirinya.
Tunggu sebentar,katanya kepada seseorang yang sedang ditelponnya, Ada apa?” tanyanya datar.
Maaf menggangu.  Aku hanya ingin mengembalikan ini,”  kataku seraya menyodorkan mantel itu kepadanya, “Terimakasih,
Ben mengambil mantel itu dari tanganku,”Ada lagi?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala. Tanpa basa-basi Ben langsung menutup pintu kamarnya tepat di depan wajahku.

***

Irene,panggil bibi Corinne.
Aku yang sedang mengiris steak tanderloin di piringku, langsung mendongak menatap bibi Corinne, Iya?
Kau suka makanannya?” tanyanya nampak waspada dengan apapun yang akan aku katakan.
Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, Iya, ini enak sekali, ungkapku jujur.
Bibi Corinne tersenyum puas mendengar jawabanku.
Well, aku memang dibuat takjub oleh masakan bibi Corinne. Rasanya tidak kalah lezat dari masakan restoran bintang lima yang mahal itu. Tapi yang paling membuatku bersyukur adalah rasanya seratus kali lebih lezat dari masakan rumah sakit. Sebulan lebih menkonsumsi makanan sehat dan higienis ala rumah sakit hampir membuat indera pengecapku mati rasa.
Sebelum kembali menyantap makan malamku, aku memberanikan diri untuk melirik Ben yang duduk di hadapanku. Sejak tadi Ben tidak banyak bersuara, dia menyantap makan malamnya dalam diam. Sejujurnya aku masih kesal dengan kejadian tadi sore. Beruntung daun pintu yang dibanting oleh Ben tidak langsung menghantam hidungku. Kurasa dugaanku memang benar bahwa dia tidak menyukai kehadiranku di rumah ini. Oh, dia bahkan tidak mau mencoba menyembunyikan perasaannya untuk menjaga perasaanku.
Well, siapa yang peduli dengan perasaan orang yang tidak disukainya?
Aku nyaris terperanjat kaget ketika bola mata cokelat milik Ben mendadak mendarat kepadaku. Buru-buru aku merundukan kepala untuk menghindari tatapannya yang mengintimidasi.
Ngomong-ngomong, bibi sudah mendaftarkanmu di Royal Vogue High,kata bibi Corinne.
Aku mendongak menatapnya, “Royal Vogue High?” tanyaku bingung.
“Sekolahmu yang baru. Dulu Ben juga sekolah di sana,” ucap bibi Corinne melirik Ben.
Aku menatap Ben kaget.
Ben mengangkat bahunya, “Letaknya cukup dekat dari rumah ini. Kualitas pendidikannya juga sangat bagus,” jawabnya terdengar tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakannya.
“Sekolahmu akan dimulai lusa nanti. Jadi kau punya waktu satu hari untuk menyiapkan semuannya,” jelas bibi Corinne.
Sejujurnya aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan mendengar semua itu. Alhasil aku hanya bisa menyunggingkan senyuman palsu untuk menyembunyikan kegelisahan yang diam-diam membuat perutku mual hingga melenyapkan nafsu makanku.

END - BAB I


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b