PART 4
.
Perkenalaan yang kubuat sesingkat mungkin akhirnya
selesai juga. Sebenarnya tidak banyak yang ingin kusampaikan kepada teman sekelasku. Aku hanya memastikan
mereka tahu namaku dan tahu bagaimana cara memanggilku. Dan seperti Carly, mereka
juga terkejut ketika kukatakan bahwa aku berasal dari Sacred Heart Girls
College. Well, mungkin mereka hanya
menganggapku sedikit berbeda dari mereka.
“Baiklah. Kau duduk di
samping Dylan,” kata Mr Goyle menunjuk ke samping kanan paling pojok ruangan di
mana terdapat sebuah meja kosong yang di sampingnya duduk seorang cowok
berambut pirang terang yang terus menatapku sejak aku memasuki kelas. Iya, aku
bisa merasakan tatapan cowok itu sejak aku menginjakan kaki di ruangan ini.
“Silahkan duduk,” perintah Mr. Goyle.
Aku menggumamkan terimakasih sebelum melangkah menuju mejaku. Di setiap derap langkahku
aku bisa
merasakan tatapan aneh dari teman-teman sekelasku. Terutama dari para gadis yang
menatapku dengan dahi mengkerut. Aku memutar otakku memikirkan alasan mereka
memperlakukanku demikian. Sejenak aku merunduk mengamati penampilanku. Kurasa
tidak ada yang salah dengan pakaianku hari ini. Aku tidak mengenakan celana
jins yang terlalu ketat ataupun boots yang
terlalu tinggi. Tidak ada juga yang aneh dengan rambut yang kubiarkan tergerai.
Atau mungkin mereka mengira karena aku berasal dari Sacred Heart Girls College maka
aku akan pergi ke sekolah ini dengan mengenakan blouse putih dengan bordir di kerahnya lalu rok berwarna hitam
dengan garis merah serta sepatu kulit berwarna hitam dengan renda-renda dan stocking. Well, itu adalah seragam musim dingin di Sacred Heart Girls
College, tapi aku tidak mungkin mengenakannya di sekolah ini.
Aku sedang tenggelam dalam pikiranku sehingga tidak
menyadari ketika
seorang pemuda
berambut gondrong dengan cengiran lebar dari kuping ke kuping mendadak
muncul menghalangi
jalanku.
“Hey!” serunya.
Aku menatapnya bingung sebelum menyadari bahwa
tangannya sedang terentang kepadaku, menunggu respon dariku. Dengan sedikit
canggung, aku pun menjabat tangannya.
“Panggil aku Luke,” kata pemuda itu masih dengan
cengiran lebar yang memenuhi seluruh wajahnya yang berwarna kecoklatan. Well, mungkin dia menghabiskan banyak
waktu untuk berjemur di bawah sinar matahari
Sekali lagi aku menatap bingung pemuda bernama Luke
itu hingga aku menyadari kehadiran Carly di sampingnya. Dia menyeringai lebar,
terlihat bersalah sebelum berkata, “Dia Luke teman baikku. Orangnya memang
sedikit aneh,” gumamnya pelan namun cukup keras untuk bisa kudengar.
“Jangan dengarkan dia,” sergah Luke kesal.
Carly memutar bola matanya sebelum kembali duduk di bangkunya.
”Hey,
kalian. Perkenalannya
dilanjutkan lain waktu saja. Kita akan segera memulai pelajaran,” seru Mr. Goyle.
“Oh, baiklah sir,” gerutu Luke
kesal.
Setelah
memberikan
cengiran lebar untuk terakhir kalinya, Luke kembali duduk di
bangkunya yang bersebelahan dengan Carly. Aku sempat membalas senyuman yang dilontarkan oleh
Carly sebelum
melangkahkan kaki menuju mejaku.
“Baiklah anak-anak. Kita
mulai pelajaran hari ini dengan kembali mengenal sifat-sifat dasar logaritma di
halaman 172,” perintah Mr. Goyle sesaat setelah aku duduk.
“Hey,”
Aku tersentak kaget ketika mendengar sapaan pemuda
bernama Dylan yang duduk di sebelahku. Kemudian aku menoleh untuk menemukannya sedang
tersenyum kepadaku.
“Hey,”
Dylan menatapku dengan sepasang bola mata berwarna
biru samudera yang indah, “Bagaimana udara di sini?” tanyanya.
Aku termangu-mangu mendengar pertanyaannya, maksduku
apa yang dia tanyakan terdengar aneh dan tidak biasa, “Kurasa di sini sedikit lebih
hangat,” jawabku ragu-ragu.
Dylan kembali tersenyum sebelum memalingkan wajah menghadap Mr. Goyle yang
sedang menjelaskan mengenai syarat-syarat logaritma yang sudah kuhafal di luar
kepala. Saat itu lah aku mulai tertarik untuk mengamati pemuda di sampingku. Menurut penglihatanku Dylan cukup tampan. Dia memiliki sepasang
bola mata besar
berwarna biru samudera yang
begitu bening yang dibingkai oleh bulu mata berwarna hitam yang
panjang dan tebal. Kulitnya berwarna kecoklatan terbakar matahari, seperti pemuda bernama
Luke. Lalu yang paling menarik perhatianku adalah rambut pirangnya yang
berantakan yang cukup meningatkanku
kepada Ben dengan rambut cokelatnya yang tidak kalah berantakan. Tapi justru itulah yang
membuatku mendapatkan tatapan yang tidak menyenangkan dari para gadis di kelasku. Well, model rambut seperti itu membuat Dylan terlihat
keren, karena setiap helai rambut yang mencuat keluar membuat para gadis ingin
menyentuhnya. Mungkin para gadis itu iri kepadaku yang duduk tepat di
sampingnya. Aku tidak tahu apakah aku harus merasa senang atau sebaliknya.
“Irene!” panggil Dylan
membuatku kaget.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Selamat datang di RVH!” seru Dylan dengan senyuman manis di
wajahnya yang
akhirnya membuatku melakukan hal yang sama.
“Terimakasih,”
***
Ketika bel tanda istirahat berdering, Carly langsung datang menghampiri
mejaku untuk mengajakku pergi ke kantin. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung
menerima tawaran Carly. Sejujurnya aku memang tidak memiliki rencana lain untuk
mengisi jam istirahat yang akan berlangsung selama tiga puluh menit. Dalam hati
aku sangat berterimakasih kepada Carly karena berkat bantuanya aku tidak
berakhir nelangsa seorang diri di hari pertamaku masuk sekolah.
“Bagaimana tadi?” tanya Carly ketika kami sedang berjalan di koridor yang
ramai menuju kantin, “Maksudku bagaimana kesan pertamamu berada di kelas
XII-B?” imbuh Carly memperjelas.
Aku terdiam sejenak, memikirkan jawabannya sambil mengamati orang-orang
yang melintas di hadapanku, “Well, tidak terlalu buruk,” ungkapku
jujur.
Carly mengangguk mengerti, “Ngomong-ngomong, aku senang sekali mendapat
teman baru. Luke dan Dylan juga senang,” katanya.
Sekilas aku menatap Carly untuk melihatnya memasang senyuman lebar yang memamerkan
deretan giginya, “Aku juga,” gumamku sambil tersenyum simpul, “Hey, apa kalian
bertiga sudah berteman sejak lama?” tanyaku kemudian.
Carly mendongak menatapku, “Maksudmu aku, Luke dan Dylan?” tanyanya.
Aku mengangguk, “Kalian terlihat akrab,”
“Hmm,” gumam Carly, “Aku dan Luke adalah teman kecil, kami bertemu
dengan Dylan di RVH. Kami mulai bermain bersama sejak kelas sepuluh,” katanya
menjelaskan.
“Carly!”
Aku tersentak kaget ketika mendengar nama teman baruku dipanggil di
tengah keramain koridor. Aku dan Carly langsung berhenti, menengok kanan dan kiri untuk mencari sumber
suara. Aku melihat
seorang cowok dengan kemeja
abu-abu berlari menuju arah kami berdiri.
“Robin!” seru Carly.
Cowok bernama Robin dengan rambut hitam klimis bak Charlie Chaplin itu
sempat mendaratkan pandangannya padaku sebelum menyapa Carly, “Hey.”
“Hey, lama tidak jumpa,” kata Carly ramah.
Robin mengangkat bahunya, “Kau tahu aku sedang sibuk mengurus persiapan konser
amal,” katanya terdengar dramatis.
Carly mengangguk penuh pengertian, “Iya, kau benar. Tapi untuk apa kau
memanggilku?”
Robin tidak langsung menjawab pertanyaan Carly, bola mata berwarna hitam
miliknya menatapku dengan penuh tanda tanya sebelum berkata, “Rasanya aku belum pernah
melihatmu,”
“Dia
Irene. Murid baru di kelasku,” kata Carly.
Robin menggangguk pelan, “Pantas, “
gumamnya sebelum mengulurkan
tangannya yang pucat kepadaku,
“Salam kenal,
namaku Robin. Lengkapnya Robin Amadeus Bartholdy, ketua klub orkestra simfoni,”
Aku hampir saja kehilangan kata-kata ketika aku mendengarnya. Bagaimana
tidak, selain nama depannya, kedua nama belakangnya adalah nama dari dua
komponis besar dunia. Wolfgang Amadeus Mozart serta Jacob Luis Felix
Mendelssohn Bartholdy. Well,
dari namanya saja sudah cukup untuk menjelaskan tujuan hidupnya di dunia ini.
“Irene,” jawabku
menjabat tangannya.
“Jadi apa yang ingin kau bicarakan padaku?” tanya Carly mulai mendesak.
Robin kembali menaruh perhatiannya kepada Carly, “Aku hanya ingin
menanyakan bagaimana perkembanganmu? Aku tahu perubahan lagu utamanya terlalu
mendadak.”
Carly mengangguk mengiyakan dengan ekpresi wajah yang pasrah. Robin
mengerutkan kedua alis matanya yang tebal melihatnya.
Aku memang tidak tahu apa gerangan yang sedang mereka bicarakan, tapi
satu hal yang kutahu, Carly terlihat tidak suka dengan apapun itu yang sedang
mereka bicarakan.
“Apa kau kecewa dengan perubahan itu?” tanya Robin melipat kedua
tangannya di depan dada seakan ingin menunjukan otoritasnya.
Carly menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kuakui aku sedikit kesal kepada
Mrs. Hale karena mengganti lagu utama di saat-saat terakhir. Bagaimana pun aku
bukanlah Mozart yang bisa menghafal Miserere dalam sekali dengar,” katanya
lebih terdengar putus asa daripada kesal.
“Hey, kau belum mau menyerah kan?” tanya Robin terdengar menantang, dia
jelas memiliki arogansi seorang komposer.
Carly kembali menggelengkan kepalanya, “Tentu saja tidak. Aku harus
lebih giat lagi berlatih. Carol Of The Bells dari George Winston itu pasti bisa
kumainkan,”
Aku menatap Carly dan Robin secara bergantian. Well, kali ini aku benar-benar tertarik untuk ikut campur dalam
pembicaraan mereka.
“Carol Of The Bells karya George Winston,” gumamku, ”Aku tahu lagu itu.
Aku pernah memainkannya,” kataku menarik perhatian Carly dan Robin.
Carly menatapku dengan sepasang bola matanya yang melebar, “Benarkah?”
tanyanya.
Aku menyunggingkan senyuman simpul sambil mengangguk yakin. Well, Goerge Winston adalah salah satu
pianis favoritku. Aku bisa memainkan semua lagu George Winston yang terdapat
dalam album Forest miliknya.
“Wah, jadi kau juga seorang pianis?” tanya Robin.
“Aku bermain piano untuk kelompok orkestra di sekolahku yang dulu,”
jawabku.
Carly terlihat sangat antusias mendengar jawabanku, “Apa kau mau
menemaniku latihan?” tanyanya, “Atau bagaimana jika kau bergabung dengan klub
kami?”
Mendengar hal itu membuatku menatap Robin yang masih mengamatiku.
Robin mengangguk. Senyuman simpul mengembang di wajahnya, “Benar,
kehadiranmu pasti sangat membantu,” ucapnya.
Aku kembali menatap Carly yang memasang senyuman lebar di wajanhnya, “Ayolah.
Pertemuan mingguan setiap hari Rabu,” bujuknya.
Aku meremas arloji yang tersembunyi di balik lengan kardiganku sebelum
menjawab, “Well, akan
kupertimbangkan,” kataku.
Komentar
Posting Komentar