Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB FINAL]

FINAL PART

.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku duduk di tempat ini. Di lorong yang sempit tanpa jendela dengan dinding berwarna pucat yang mengapitku dari depan dan belakang. Waktu seolah-olah tidak ada artinya lagi sekarang. Orang-orang datang, orang-orang pergi, tapi tempat ini tetap sama, menyesakkan. Dan aku tetap terperangkap di dalam ketidakpastian.
Apakah operasinya akan berjalan dengan lancar?
Apakah yang akan terjadi jika operasinya gagal?
Oh, Tuhan, semua ini bagaikan siksaan yang membunuhku pelan-pelan!
Seorang perawat yang merawat bibi Corinne sempat menjelaskan kepadaku bahwa saat ini bibi Corinne sedang menjalani operasi bypass. Katanya operasi itu dilakukan untuk mengalihkan aliran darah dari area penyempitan arteri koroner. Aku tidak begitu mengerti dengan penjelasan perawat itu, tapi ketika kutanyakan apakah bibi Corinne akan baik-baik saja, perawat itu mengatakan bahwa operasi itu akan berhasil dan bibi Corinne akan selamat.
Tapi omongan seorang perawat tidak cukup untuk membuatku tenang. Aku terus bepikir apa yang akan terjadi jika operasi itu gagal.
Oh, Tuhan, membayangkan kemungkinan aku  akan kehilangan bibi Corinne membuatku merasa sendirian. Rasanya sama seperti ketika aku kehilangan Mom dan Dad. Aku merasa sendirian di dunia ini, seolah-olah aku telah ditinggalkan oleh semua orang.
Apa yang sedang kau pikirkan?
Aku terkesiap kaget ketika melihat Ben muncul di hadapanku.
Apa yang sedang kau pikirkan? tanya Ben lagi.
Apa yang sedang kupikirkan?
Aku sedang memikirkan mengenai kematian bibi Corinne. Well, tentu saja aku tidak bisa mengataknnya kepada Ben. Aku masih ingat ekspresi wajah Ben ketika pertama kali dia melihat kondisi bibi Corinne yang lebih mirip mesin dari pada orang sakit.
Aku sedang berpikir untuk mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk menghindari pertanyaan Ben yang mulai mendesak jika dilihat dari ekpresi yang ditunjukan oleh Ben saat ini. Saat itulah aku melihat bungkusan plastik yang dibawa oleh Ben.
Apa itu?" tanyaku.
Ben merunduk melihat bungkusan plastik di tangannya. Sepertinya dia lupa bahwa dia membawanya.
Makanlah,kata Ben menyerahkan bungkusan plastik itu padaku.
Apa ini? tanyaku ketika menerima bungkusan itu.
Makan malam,
Aku terkesiap mendengarnya, Makan malam?” tanyaku bingung, “Memangnya sekarang jam berapa?
“Hampir jam tujuh malam, jawab Ben yang duduk di bangku yang berada di seberang lorong.
Oh, aku benar-benar kehilangan jejak waktu! Bagaiman bisa sebelas jam berlalu begitu saja tanpa kusadari?
“Bagaimana denganmu?” tanyaku, “Apa kau sudah makan?”
Ben hanya menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaanku. Kemudian dia mengeluarkan ponsel yang secara tidak langsung mengartikan bahwa dia sudah selesai berbicara denganku.
Aku membuka bungkusan plastik pemberian Ben. Isinya adalah roti sandwitch ukuran besar dari toko roti kesukaanku yang terletak di dekat sekolah serta susu kotak rasa cokelat dengan merk langgananku.
Semuanya adalah makanan dan minuman favoritku. Dari mana Ben tahu semua itu? Well¸ I have no idea!
“Terimakasih, Ben,” ungkapku setulus hati.
Aku tidak mengharapkan tanggapan dari Ben, jadi aku langsung aku menyantap makananku dengan lahap. Namun dalam hati, aku tidak berhenti memanjaatkan doa untuk kelancaran operasi bibi Corinne yang sampai saat ini ternyata sudah berlangsung selama sepuluh jam.
Apa yang mereka lakukan selama itu?
 Apakah operasinya begitu rumit hingga memakan waktu begitu banyak?
Sesaat aku mengamati Ben yang duduk dengan kepala yang tertunduk menatap layar ponsel. Ben terlihat sangat tenang seolah-olah ibunya tidak berada di atas meja operasi di dalam sana. Tapi aku tahu betul bahwa hatinya sama gelisahnya denganku.
Hari ini adalah hari yang berat bagi Ben. Beberapa kali Ben sempat kehilangan ketenangannya yang menunjukan bahwa dia sangat kalut. Aku ingat, Ben begitu terkejut ketika mendengar kabar dari Taylor tentang kondisi ibunya. Apalagi mengetahui bahwa bibi Corinne harus menjalani operasi yang penuh resiko seperti ini. Pikirannya pasti sudah tidak ada di tempatnya lagi. Tidak di ponsel yang ada di tangannya, tidak juga di lorong ini.
Apa yang akan terjadi pada Ben jika bibi Corinne tidak selamat?
Apakah Ben akan mengalami hal yang sama denganku?
Mendadak aku kehilangan nafsu makanku. Tanganku gemetar memikirkan kemungkinan ini dan itu.

“Dengar. Mulai saat ini kau akan memulai kehidupanmu yang baru. Harimu yang baru. Di rumah ini, bersama denganku dan Ben. Anggap aku sebagai orang tuamu. Dan Ben sebagai saudaramu. Mulai sekarang kita adalah satu keluarga. Bibi tidak akan meninggalkanmu seorang diri. Kau mengerti?”

Air mataku langsung menetes membasahi pipiku ketika aku teringat dengan perkataan bibi Corinne di hari pertama kepindahanku. Aku berharap saat itu aku juga mengatakan hal yang sama denganya.
Aku tidak akan meninggalkan bibi Corinne. Tidak akan pernah.
Tubuhku gemetar tidak karuan. Keringat dingin mulai membasahi keningku.
“Irene?” seru Ben yang berlutut di hadapanku.
Ben memungut roti sandwitch yang kucampakan di lantai.
Aku menatap Ben dengan mataku yang penuh dengan air mata, “Ben, bagaimana jika bibi Corinne juga meninggalkanku?” tanyaku lirih.
Aku tidak peduli dengan tatapan yang diberikan oleh orang-orang yang melintasi lorong.
Ben hanya menatapku bingung. Kupikir dia terkejut mendengar pertanyaanku.
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali membayangkan kemungkinan terburuk itu.
“Aku tidak mau kehilangan bibi Corinne. Aku tidak mau kehilangan orang-orang yang kucintai lagi,” pintaku putus asa.
Tiba-tiba Ben yang masih berjongkok di hadapanku, memegang tanganku yang gemetar. Telapak tanganku kelihatan begitu mungil dibandingkan dengan telapak tangan Ben.
“Tidak, Irene,” katanya.
Aku kembali menatap Ben untuk menemukannya memasang ekspresi wajah yang membuatku menggigit bibirku untuk menahan isakan yang mengancam keluar.
“Itu tidak akan terjadi. Mom pasti bisa bertahan,” ucap Ben menguatkan pegangan tangannya.
Aku menundukan kepalaku, berusaha untuk menghindari tatapannya. Aku tahu Ben mengatakannya bukan hanya untuk menenangkanku. Dia juga sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ibunya akan baik-baik saja di dalam sana. Apa yang kulakukan saat ini hanya akan membuat perasaannya menjadi semakin kacau.
 “Maafkan aku,” pintaku sebelum memeluk Ben.
Aku membenamkan wajahku dalam-dalam di bahu Ben. Tanpa melepaskan pelukanku padanya, Ben memposisikan dirinya untuk duduk di sampingku lalu merangkulkan kedua tangannya di sekitar punggungku.
“Untuk apa kau meminta maaf?” tanyanya di telingaku.
Aku menggelengkan kepalaku, enggan untuk menjawab pertanyaannya.
“Dengar,” tegas Ben di telingaku, “Mom tidak akan meninggalkan kita.”
Mendengar perkataan Ben, membuatku semakin menguatkan pelukanku padanya.
Entah sejak kapan aku mulai bergantung pada Ben. Jika bukan karena Ben, mungkin aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini. Tanpa Ben, mungkin aku sudah menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa yang berada jauh di atas bukit yang terisolasi.
Mom sudah berjanji kepadaku, ketika ayahku meninggal,” kata Ben membuatku kaget.
Selama ini, baik Ben maupun bibi Corinne, tidak pernah membicarakan mengenai sosok Mr. Flyod, ayah Ben yang sudah lama meninggal. Walaupun begitu aku pernah mendengar sedikit cerita tentangnya dari Bibi Corinne secara tidak sengaja. Itulah alasan mengapa aku tahu bahwa ayah Ben sudah lama meninggal.   
Mom berjanji tidak akan meninggalkanku seperti yang dilakukan oleh ayahku,”
Perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku darinya, “Ben,” ucapku, menatap wajahnya.
Aku harus mengatakan bahwa Ben terlihat hampir menangis sekarang. Setelah sekian lama, akhirnya aku menyadari bahwa Ben juga pernah terluka sepertiku. Ben pernah kehilangan orang yang sangat dicintainya. Ben mengalami apa yang kualami, itulah yang membuatnya mengerti aku.
Aku meraih Ben dengan tangan-tanganku yang masih gemetar. Dengan menggunakan jari-jariku, aku menghapus setetes air mata yang jatuh di pipinya. Aku tidak mau melihat Ben menangis, itu membuatku sakit.
“Jangan menangis, Ben,” kataku walaupun aku juga menangis, “Bibi Corinne tidak akan pergi meninggalkan kita. Dia juga sudah berjanji kepadaku,”
Tiba-tiba Ben malah menyunggingkan senyuman yang membuatku menahan nafas selama beberapa saat. Kemudian jari-jari Ben yang hangat menepi di permukaan wajahku, menyapu air mataku yang tidak berhenti mengalir.
“Kau mengatakan hal yang sama dengan yang kukatakan kepadamu,” bisiknya.
Aku menyeringai lebar sebelum membenamkan wajahku kembali di bahunya.

***

Sampai kapan bibi Corinne akan tidur? tanyaku kepada Ben yang berdiri di belakangku.
Sampai efek anestesinya habis, jawab Ben.
Aku mengangguk mengerti. Saat ini aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari bibi Corinne yang masih tertidur pulas sejak operasinya selesai sekitar dua jam yang lalu. Operasi bibi Corinne berjalan dengan lancar. Dokter bilang tidak akan ada masalah lagi dengan jantungnya. Sang dokter bahkan mangatakan bahwa bibi Corinne mendapatkan jantung yang baru. Well, bibi Corinne tidak menjalani operasi transplantasi jantung. Itu tidak perlu. Hanya saja, sang dokter bilang bahwa operasi yang dilakukan sangat sukses sehingga jantung yang pernah rusak itu berhasil diperbaiki dengan sempurna seolah-olah menjadi baru lagi.
Apa pun itu artinya, aku tetap bersyukur karena bibi Corinne selamat. Bibi Corinne masih hidup dan sedang tertidur pulas di hadapanku.
Apa bibi Corinne kesakitan? tanyaku ketika aku teringat dengan luka
pasca operasi
yang membelah di dadanya.
Aku sempat melihatnya ketika perawat mengganti pakaian bibi Corinne. Lukanya cukup panjang dan sudah pasti dalam. Bagaimanapun dokter harus memotong tulang rusuknya untuk membedah jantung yang ada di dalamnya.
Oh, Tuhan, membayangkannya saja sudah membuatku kesakitan.
“Tidak. Anestesi membuatnya tidak bisa merasakan apa-apa, termasuk rasa sakit,jawab Ben, Mom sudah melewati masa kritisnya. Dia akan segera
bangun lalu sembuh beberapa minggu kemudian. Jangan khawatir,
Kali ini aku menoleh, melihat Ben melalui bahuku. Ben berdiri di
belakangku yang duduk di samping ranjang bibi Corinne. Punggung
Ben
menyandar pada dinding di belakangnya. Wajahnya yang nampak lelah
menghadap bibi Corinne.
Sama sepertiku sebelumnya, Ben tidak bisa melepaskan tatapannya dari bibi Corinne. Sepasang bola mata cokelatnya yang agak kemerahan karena kurang tidur, menatap bibi Corinne dengan cemas.
 Well, aku bisa melihatnya sekarang. Aku yakin aku melihat kecemasan dan kekhawatiran terpantul di matanya. Sekalipun tadi Ben bilang untuk tidak mengkhawatirkan bibi Corinne, bukan berarti Ben tidak mengkhawatirkannya. Saat ini aku melihat apa yang Ben tidak bisa tunjukan kepadaku. Kecemasan dan kekhawatiran Ben kepada ibunya tidak bisa dia tunjukan kerena dia ingin membuatku merasa lebih baik.  Ben berusaha terlihat kuat untuk menguatkanku yang tidak berdaya.
Terimakasih, Ben, ungkapku.
Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan kepada Ben. Terlalu banyak,
selain ucapan terimakasih yang memang
pantas dia dapatkan.
Tanpamu, apa jadinya aku, kataku merendahkan pandanganku.
Tanpa Ben, apa jadinya aku?
Ben telah melakukan begitu banyak hal padaku. Ben membuatku
menceritakan hal-hal tidak pernah kubagikan kepada orang lain. Ben
membangun kepercayaan diriku dengan menunjukan hal-hal mengenai diriku
yang tidak pernah ku
ketahui sebelumnya.

“Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau lebih kuat dari yang kau
lihat, kau lebih pintar dari yang kau pikir,”

Kau membuatku merasa kuat bahkan di saat aku tidak berdaya sekalipun, kataku.
Aku tidak tahu apa yang akan Ben pikirkan setelah mendengar semua ini. Yang aku tahu, Ben selalu ada di pikiranku. Well, aku baru menyadarinya,
aku
selalu memikirkan Ben setiap saat dan dalam setiap tindakan yang kuambil. Hal-hal sederhana membawa Ben dengan mudah ke dalam pikiranku. Seperti langit biru yang pucat, hembusan angin yang lembut atau bahkan awan badai di atas horizon.
Kau mungkin tidak pernah membayangkan bahwa apa yang kau lakukan
membuat kehidupanku menjadi berbeda,
ungkapku, kali ini aku
mengangkat wajahku untuk melihat Ben yang
tetap berdiri pasif dengan
kedua tangan dilipat di depan dada.
Orang lain yang melihat kami berdua mungkin mengira Ben tidak mendengarkan apapun itu yang sedang kukatakan padanya. Tapi aku mengenal Ben dengan sangat baik sekarang. Ben menyerap semua yang kukatakan dengan baik. Bahkan kadang-kadang dia ingin mendengar lebih banyak lagi. Aku menyunggingkan senyuman yang berasal dari lubuk hatiku yang
paling dalam.
Kau memberikanku harapan yang membuatmu menjadi bagian penting dalam hidupku,”
Bohong jika Ben tidak terkejut mendengar semua yang kukatakan padanya. Hanya saja Ben selalu tahu cara menyembunyikan perasaannya di balik wajahnya yang tetap datar. Akan tetapi, jika aku melihat lebih dekat dan lebih lama, aku bisa melihat bagaimana tatapannya berubah dari satu ekspresi ke ekspresi lain yang menunjukan ada gejolak emosi di dalamnya.
Kau tahu apa itu soulmate? tanya Ben tiba-tiba tidak terduga
hingga membuatku tidak tahu harus menjawab apa.
Soulmate adalah seseorang yang paling penting yang akan kau temukan. Dia akan datang ke dalam kehidupanmu untuk menunjukan lapisan lain dari dirimu. Tujuannya adalah untuk membuka hatimu supaya cahaya baru bisa masuk. Dia akan membuatmu merasa putus asa dan tidak terkendali sehingga kau merasa harus mengubah hidupmu,” dia berhenti sejenak, “Seandainya soulmate memang ada, maka bagiku kau adalah orangnya,”
Kau mengalami banyak hal, Irene. Dan aku berada di sana untuk menyaksikannya. Sejak aku menjemputmu di rumah sakit sampai sekarang kau telah membuatku merasakan banyak hal. Kau menunjukan kepadaku diriku yang lain yang mungin menjadi diriku yang sesungguhnya.
Aku tidak mengerti apa yang Ben katakan. Tidak sedikit pun! Tapi aku tidak bisa menemukan dimana suaraku untuk menanyakan apa gerangan maksudnya. Ben menurunkan tangannya lalu menyelipkannya ke dalam saku celana. Mulut Ben sempat berkedut sebelum membentuk senyuman tipis yang membuat nafasku berhenti.
“Kau tidak tahu apa yang telah kau lakukan padaku, Irene,” gumam Ben, “Darimu aku belajar dan mengetahui banyak hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Kau seperti sebuah kunci yang membuka semua misterinya,” katanya sambil menatapku.
Aku selalu tidak berdaya berada di bawah tatapan Ben. Namun kali ini ada sesuatu yang begitu kuat yang membuatku tidak bisa atau tidak mau melepaskan tatapanku darinya. Aku tidak mau melewatkan sedikitpun emosi yang dipantulkan oleh sepasang mata indah itu.
Oh, Tuhan, aku yakin aku bukanlah seseorang yang istimewa. Aku hanyalah seorang gadis remaja sama seperti Carly dan lainnya. Namaku akan segera dilupakan ketika aku mati nanti. Akan tetapi aku telah mencintai seseorang dengan sepenuh hatiku dan seluruh jiwaku. Dan untuk itu aku merasa sangat cukup.
Ben mulai melangkah mendekatiku. Setiap langkah yang dia ambil,
semakin dekat semakin membuat jantung berdetak cepat
. Ben berdiri di hadapanku sekarang. Entah bagaimana caranya dia berhasil memutar kursiku sehingga aku benar-benar berhadap-hadapan dengannya yang kini membungkuk untuk menyamakan tingginya denganku.
Terimakasih, Irene, ucap Ben.
Ben mengangkat tangannya untuk menyentuh pipiku yang panas akibat
semua yang dia lakukan padaku.
Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha keras untuk hanya menikmati sentuhannya di pipiku, lalu menghiraukan yang lain termasuk tatapannya yang tidak mau lepas dari wajahku serta aroma daun mint dan citrus yang memenuhi indera penciumanku. Oh, Tuhan, betapa aku menyukai aroma itu.
Semua terjadi begitu cepat ketika tiba-tiba aku merasakan Ben mengecup keningku. Aku membuka mataku lebar-lebar, menatap Ben yang telah menciumku tanpa permisi. Namun senyuman menawan yang menempel di wajahnya membuatku tidak bisa berkata apa-apa.
Kau telah menjadi seseorang yang sangat penting  untukku, kata Ben
sebelum mengangkat tubuhnya, menjauh dariku, memberiku ruang untuk
bernafas.
Oh, Tuhan, sekarang aku tidak lagi bisa mendengarkan suara mesin yang ada di ruangan ini. Semua yang kudengar hanyalah detak jantungku yang lebih berisik daripada sniper.
Aku terperanjat kaget ketika aku merasakan seseorang
menyentuhku punggungku dari belakang. Aku menoleh, melihat bibi
Corinne yang masih berbaring mulai membuka matanya. Kontan aku langsung beranjak dari kursi untuk mendekatinya.
Bibi!” panggilku.
Kelopak mata bibi Corinne perlahan-lahan terbuka memperlihatkan sepasang bola mata cokelat yang amat sangat kukenal dan kurindukan. Aku merasakan air mataku hampir pecah.
Oh, terimakasih Tuhan!” seruku berulang-ulang.
Mom!” panggil Ben yang muncul di sisi lain ranjang bibi Corinne.
Ben, gumam bibi Corinne dengan suara yang serak dan lemah.
Ben memegang tangan ibunya erat-era, Aku di sini, Mom," katanya.
Bibi Corinne menolehkan kepalanya pelan-pelan ke arah Ben. Dia tersenyum ketika melihat Ben berada di sisinya.
Irene,
Aku ada di sini, kataku menekan tangan bibi Corinne untuk memberitahukan keberadaanku.
Bibi Corinne menyunggingkan senyuman ketika melihatku. Senyuman yang mampu melepas semua beban yang berada pundakku. Oh, Tuhan, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa melihat senyuman itu lagi.
Kalian adalah alasan aku hidup, gumam bibi Corinne menatap aku dan Ben secara bergantian, Untuk kalian aku akan hidup. Dan itu sudah cukup untuk membuatku terus hidup.”
Aku tidak lagi bisa menahan air mataku yang menetes kian deras. Aku tidak peduli! Aku hampir kehilangan bibi Corinne. Mendapatkannya kembali membuatku bisa melakukan apa saja termasuk menangis.
Ben merunduk untuk mengecup pipi ibunya, Terimakasih, Mom,” ungkapnya.
Aku yakin aku melihat air mata meluncur dari matanya. Tapi itu tidak
apa-apa.
Itu adalah wujud rasa syukur karena Tuhan telah membawa kembali sosok yang terlalu penting untuk kami. Dan mendapatkannya kembali adalah sesuatu yang tidak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Saat ini biarkan air mata kami berdua yang mengatakannya.

THE END OF THE LONG AND WINDING ROAD
Cinthya Karina
Februari 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b