FINAL PART
.
Aku
tidak tahu sudah berapa lama aku duduk di tempat ini. Di lorong yang sempit
tanpa jendela dengan dinding berwarna pucat yang mengapitku dari depan dan
belakang. Waktu
seolah-olah tidak ada artinya lagi
sekarang. Orang-orang datang, orang-orang pergi,
tapi tempat ini tetap sama, menyesakkan. Dan aku tetap terperangkap di
dalam ketidakpastian.
Apakah operasinya akan berjalan dengan lancar?
Apakah yang akan terjadi jika operasinya gagal?
Oh, Tuhan, semua ini bagaikan
siksaan yang membunuhku pelan-pelan!
Seorang perawat yang merawat bibi Corinne sempat menjelaskan kepadaku
bahwa saat ini bibi Corinne sedang menjalani operasi bypass. Katanya operasi itu dilakukan untuk mengalihkan aliran
darah dari area penyempitan arteri koroner. Aku tidak begitu mengerti dengan
penjelasan perawat itu, tapi ketika kutanyakan apakah bibi Corinne akan
baik-baik saja, perawat itu mengatakan bahwa operasi itu akan berhasil dan bibi
Corinne akan selamat.
Tapi omongan seorang perawat tidak cukup untuk membuatku
tenang. Aku terus bepikir apa yang akan terjadi jika operasi itu gagal.
Oh, Tuhan, membayangkan kemungkinan aku akan kehilangan
bibi Corinne membuatku merasa sendirian. Rasanya sama seperti ketika aku kehilangan Mom
dan Dad. Aku merasa sendirian di
dunia ini, seolah-olah aku telah ditinggalkan
oleh semua orang.
“Apa yang sedang kau
pikirkan?”
Aku terkesiap kaget ketika melihat Ben
muncul di hadapanku.
“Apa yang sedang kau
pikirkan?”
tanya Ben lagi.
Apa yang sedang kupikirkan?
Aku sedang memikirkan mengenai kematian bibi Corinne. Well, tentu
saja aku tidak bisa mengataknnya kepada Ben. Aku masih ingat
ekspresi wajah Ben ketika pertama kali dia melihat kondisi bibi Corinne yang
lebih mirip
mesin dari pada orang sakit.
Aku sedang berpikir untuk mencari sesuatu yang bisa
kugunakan untuk menghindari pertanyaan Ben yang mulai mendesak jika dilihat
dari ekpresi yang ditunjukan oleh Ben saat ini. Saat itulah aku melihat
bungkusan plastik yang dibawa oleh Ben.
“Apa itu?" tanyaku.
Ben merunduk melihat bungkusan plastik di tangannya.
Sepertinya dia lupa bahwa dia
membawanya.
“Makanlah,” kata Ben menyerahkan bungkusan plastik itu padaku.
“Apa ini?” tanyaku ketika menerima bungkusan itu.
“Makan malam,”
Aku terkesiap mendengarnya, “Makan malam?” tanyaku bingung, “Memangnya
sekarang jam berapa?”
“Hampir jam tujuh malam,” jawab Ben yang duduk di bangku yang berada di seberang lorong.
Oh, aku benar-benar kehilangan jejak waktu! Bagaiman bisa sebelas jam berlalu begitu saja
tanpa kusadari?
“Bagaimana denganmu?” tanyaku, “Apa kau sudah makan?”
Ben hanya menganggukan kepalanya untuk menjawab
pertanyaanku. Kemudian dia mengeluarkan ponsel yang secara tidak langsung
mengartikan bahwa dia sudah selesai berbicara denganku.
Aku
membuka bungkusan plastik pemberian Ben. Isinya adalah roti sandwitch ukuran
besar dari toko roti kesukaanku yang terletak di dekat sekolah serta susu kotak
rasa cokelat dengan merk langgananku.
Semuanya adalah makanan dan minuman favoritku. Dari mana Ben tahu semua
itu? Well¸ I have no idea!
“Terimakasih, Ben,” ungkapku setulus hati.
Aku tidak mengharapkan tanggapan dari Ben, jadi aku langsung aku
menyantap makananku dengan lahap. Namun dalam hati, aku tidak berhenti
memanjaatkan doa untuk kelancaran operasi bibi Corinne yang sampai saat ini ternyata
sudah berlangsung selama sepuluh jam.
Apa yang mereka lakukan selama itu?
Apakah operasinya begitu rumit
hingga memakan waktu begitu banyak?
Sesaat aku mengamati Ben yang duduk dengan kepala yang tertunduk menatap
layar ponsel. Ben terlihat sangat tenang seolah-olah ibunya tidak berada di
atas meja operasi di dalam sana. Tapi aku tahu betul bahwa hatinya sama
gelisahnya denganku.
Hari ini adalah hari yang berat bagi Ben. Beberapa kali Ben sempat
kehilangan ketenangannya yang menunjukan bahwa dia sangat kalut. Aku ingat, Ben
begitu terkejut ketika mendengar kabar dari Taylor tentang kondisi ibunya.
Apalagi mengetahui bahwa bibi Corinne harus menjalani operasi yang penuh resiko
seperti ini. Pikirannya pasti sudah tidak ada di tempatnya lagi. Tidak di
ponsel yang ada di tangannya, tidak juga di lorong ini.
Apa yang akan terjadi pada Ben jika bibi Corinne tidak selamat?
Apakah Ben akan mengalami hal yang sama denganku?
Mendadak aku kehilangan nafsu makanku. Tanganku gemetar memikirkan kemungkinan
ini dan itu.
“Dengar. Mulai saat ini kau akan
memulai kehidupanmu yang baru. Harimu yang baru. Di rumah ini, bersama denganku
dan Ben. Anggap aku sebagai orang tuamu. Dan Ben
sebagai saudaramu. Mulai sekarang kita adalah satu keluarga. Bibi tidak akan
meninggalkanmu seorang diri. Kau mengerti?”
Air mataku langsung menetes membasahi pipiku ketika aku teringat dengan
perkataan bibi Corinne di hari pertama kepindahanku. Aku berharap saat itu aku
juga mengatakan hal yang sama denganya.
Aku tidak akan meninggalkan bibi Corinne. Tidak akan pernah.
Tubuhku gemetar tidak karuan. Keringat dingin mulai membasahi keningku.
“Irene?” seru Ben yang berlutut di hadapanku.
Ben memungut roti sandwitch yang kucampakan di lantai.
Aku menatap Ben dengan mataku yang penuh dengan air mata, “Ben, bagaimana
jika bibi Corinne juga meninggalkanku?” tanyaku lirih.
Aku tidak peduli dengan tatapan yang diberikan oleh orang-orang yang
melintasi lorong.
Ben hanya menatapku bingung. Kupikir dia terkejut mendengar
pertanyaanku.
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali membayangkan kemungkinan
terburuk itu.
“Aku tidak mau kehilangan bibi Corinne. Aku tidak mau kehilangan
orang-orang yang kucintai lagi,” pintaku putus asa.
Tiba-tiba Ben yang masih berjongkok di hadapanku, memegang tanganku yang
gemetar. Telapak tanganku kelihatan begitu mungil dibandingkan dengan telapak
tangan Ben.
“Tidak, Irene,” katanya.
Aku kembali menatap Ben untuk menemukannya memasang ekspresi wajah yang
membuatku menggigit bibirku untuk menahan isakan yang mengancam keluar.
“Itu tidak akan terjadi. Mom
pasti bisa bertahan,” ucap Ben menguatkan pegangan tangannya.
Aku menundukan kepalaku, berusaha untuk menghindari tatapannya. Aku tahu
Ben mengatakannya bukan hanya untuk menenangkanku. Dia juga sedang berusaha
untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ibunya akan baik-baik saja di dalam
sana. Apa yang kulakukan saat ini hanya akan membuat perasaannya menjadi semakin
kacau.
“Maafkan aku,” pintaku sebelum memeluk
Ben.
Aku membenamkan wajahku dalam-dalam di bahu Ben. Tanpa melepaskan
pelukanku padanya, Ben memposisikan dirinya untuk duduk di sampingku lalu
merangkulkan kedua tangannya di sekitar punggungku.
“Untuk apa kau meminta maaf?” tanyanya di telingaku.
Aku menggelengkan kepalaku, enggan untuk menjawab pertanyaannya.
“Dengar,” tegas Ben di telingaku, “Mom tidak akan meninggalkan
kita.”
Mendengar perkataan Ben, membuatku semakin menguatkan pelukanku padanya.
Entah sejak kapan aku mulai bergantung pada Ben. Jika bukan karena Ben,
mungkin aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini. Tanpa Ben, mungkin aku sudah
menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa yang berada jauh di atas bukit yang
terisolasi.
“Mom sudah berjanji kepadaku, ketika ayahku meninggal,” kata Ben
membuatku kaget.
Selama ini, baik Ben maupun bibi Corinne, tidak pernah membicarakan
mengenai sosok Mr. Flyod, ayah Ben yang sudah lama meninggal. Walaupun begitu
aku pernah mendengar sedikit cerita tentangnya dari Bibi Corinne secara tidak
sengaja. Itulah alasan mengapa aku tahu bahwa ayah Ben sudah lama meninggal.
“Mom berjanji tidak akan meninggalkanku seperti yang dilakukan
oleh ayahku,”
Perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku darinya, “Ben,” ucapku, menatap
wajahnya.
Aku harus mengatakan bahwa Ben terlihat hampir menangis sekarang. Setelah
sekian lama, akhirnya aku menyadari bahwa Ben juga pernah terluka sepertiku. Ben
pernah kehilangan orang yang sangat dicintainya. Ben mengalami apa yang
kualami, itulah yang membuatnya mengerti aku.
Aku meraih Ben dengan tangan-tanganku yang masih gemetar. Dengan
menggunakan jari-jariku, aku menghapus setetes air mata yang jatuh di pipinya.
Aku tidak mau melihat Ben menangis, itu membuatku sakit.
“Jangan menangis, Ben,” kataku walaupun aku juga menangis, “Bibi Corinne
tidak akan pergi meninggalkan kita. Dia juga sudah berjanji kepadaku,”
Tiba-tiba Ben malah menyunggingkan senyuman yang membuatku menahan nafas
selama beberapa saat. Kemudian jari-jari Ben yang hangat menepi di permukaan
wajahku, menyapu air mataku yang tidak berhenti mengalir.
“Kau mengatakan hal yang sama dengan yang kukatakan kepadamu,” bisiknya.
Aku menyeringai lebar sebelum membenamkan wajahku kembali di bahunya.
***
“Sampai kapan bibi Corinne akan tidur?” tanyaku kepada Ben yang berdiri di belakangku.
“Sampai efek anestesinya habis,” jawab Ben.
Aku mengangguk mengerti. Saat ini aku tidak bisa
melepaskan tatapanku dari bibi Corinne yang masih tertidur pulas sejak
operasinya selesai sekitar dua jam yang lalu. Operasi bibi Corinne berjalan
dengan lancar. Dokter bilang tidak akan ada masalah lagi dengan jantungnya. Sang dokter bahkan mangatakan bahwa bibi
Corinne mendapatkan jantung yang baru. Well, bibi Corinne tidak
menjalani operasi transplantasi jantung. Itu tidak perlu. Hanya saja, sang
dokter bilang bahwa operasi yang dilakukan sangat sukses sehingga jantung yang
pernah rusak itu berhasil diperbaiki dengan sempurna seolah-olah menjadi baru
lagi.
Apa pun itu artinya, aku tetap bersyukur
karena bibi Corinne selamat. Bibi Corinne masih hidup
dan sedang tertidur pulas di hadapanku.
“Apa bibi Corinne kesakitan?” tanyaku ketika aku teringat
dengan luka
pasca operasi yang membelah di dadanya.
Aku sempat melihatnya ketika perawat mengganti pakaian bibi Corinne. Lukanya cukup panjang dan sudah pasti
dalam.
Bagaimanapun dokter harus memotong tulang rusuknya untuk membedah jantung yang
ada di dalamnya.
Oh, Tuhan,
membayangkannya saja sudah membuatku kesakitan.
“Tidak. Anestesi
membuatnya tidak bisa merasakan apa-apa, termasuk rasa sakit,” jawab Ben, “Mom
sudah melewati masa kritisnya. Dia akan segera
bangun lalu sembuh beberapa minggu kemudian.
Jangan khawatir,”
Kali ini aku menoleh, melihat Ben melalui bahuku. Ben berdiri
di
belakangku yang duduk di samping ranjang bibi
Corinne. Punggung Ben
menyandar pada dinding di belakangnya. Wajahnya
yang nampak lelah
menghadap bibi Corinne.
Sama sepertiku sebelumnya, Ben tidak bisa melepaskan tatapannya dari
bibi Corinne. Sepasang bola mata cokelatnya yang agak kemerahan karena kurang
tidur, menatap bibi Corinne dengan cemas.
Well, aku bisa
melihatnya sekarang. Aku yakin aku melihat kecemasan dan kekhawatiran terpantul di
matanya. Sekalipun tadi Ben bilang untuk tidak mengkhawatirkan bibi Corinne, bukan berarti Ben tidak mengkhawatirkannya. Saat ini aku melihat apa
yang Ben tidak bisa tunjukan kepadaku. Kecemasan dan kekhawatiran Ben kepada ibunya tidak bisa dia tunjukan kerena dia ingin
membuatku merasa lebih baik. Ben berusaha terlihat kuat untuk
menguatkanku yang tidak berdaya.
“Terimakasih, Ben,” ungkapku.
Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan kepada Ben.
Terlalu banyak,
selain ucapan terimakasih yang memang pantas dia dapatkan.
“Tanpamu,
apa jadinya aku,”
kataku merendahkan pandanganku.
Tanpa Ben, apa jadinya aku?
Ben telah melakukan begitu banyak hal padaku. Ben membuatku
menceritakan hal-hal tidak pernah kubagikan
kepada orang lain. Ben
membangun kepercayaan diriku dengan menunjukan
hal-hal mengenai diriku
yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.
“Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau
lebih kuat dari yang kau
lihat, kau lebih pintar dari yang kau pikir,”
“Kau
membuatku merasa kuat bahkan di saat aku tidak berdaya sekalipun,” kataku.
Aku tidak tahu apa yang akan Ben pikirkan setelah mendengar semua ini. Yang aku tahu, Ben selalu ada
di pikiranku. Well, aku baru menyadarinya,
aku selalu
memikirkan Ben setiap saat dan dalam setiap tindakan yang kuambil.
Hal-hal sederhana membawa Ben dengan mudah ke dalam pikiranku. Seperti langit biru yang pucat, hembusan
angin yang lembut atau bahkan awan badai di atas horizon.
“Kau
mungkin tidak pernah membayangkan bahwa apa yang kau lakukan
membuat kehidupanku menjadi berbeda,” ungkapku, kali ini aku
mengangkat wajahku untuk melihat Ben yang tetap berdiri pasif dengan
kedua tangan dilipat di depan dada.
Orang lain yang melihat kami berdua mungkin mengira Ben tidak
mendengarkan apapun itu yang sedang kukatakan padanya. Tapi
aku mengenal Ben dengan sangat baik
sekarang. Ben menyerap semua yang kukatakan dengan baik. Bahkan kadang-kadang dia ingin mendengar lebih
banyak lagi. Aku menyunggingkan senyuman yang berasal dari lubuk hatiku yang
paling dalam.
“Kau
memberikanku harapan yang membuatmu menjadi bagian penting dalam hidupku,”
Bohong jika Ben tidak terkejut mendengar semua yang kukatakan padanya. Hanya saja Ben selalu tahu cara menyembunyikan perasaannya di balik wajahnya yang tetap datar. Akan tetapi, jika aku melihat lebih dekat dan lebih lama, aku bisa melihat bagaimana tatapannya berubah dari satu ekspresi ke
ekspresi lain yang menunjukan ada gejolak emosi di dalamnya.
“Kau
tahu apa itu soulmate?”
tanya Ben tiba-tiba tidak terduga
hingga membuatku tidak tahu harus menjawab apa.
“Soulmate adalah
seseorang yang paling penting yang akan kau temukan. Dia akan datang ke dalam kehidupanmu untuk menunjukan lapisan lain dari dirimu. Tujuannya adalah untuk membuka hatimu supaya cahaya baru bisa masuk. Dia akan
membuatmu merasa putus asa dan tidak terkendali sehingga kau merasa harus
mengubah hidupmu,” dia berhenti sejenak,
“Seandainya soulmate memang ada, maka bagiku kau adalah orangnya,”
“Kau
mengalami banyak hal, Irene. Dan aku berada di sana untuk menyaksikannya.
Sejak aku menjemputmu di rumah sakit sampai sekarang kau telah membuatku
merasakan banyak hal. Kau menunjukan kepadaku diriku yang lain yang mungin menjadi diriku yang sesungguhnya.”
Aku tidak mengerti apa yang Ben
katakan. Tidak sedikit pun! Tapi aku tidak bisa menemukan dimana suaraku untuk
menanyakan apa gerangan maksudnya. Ben menurunkan tangannya lalu menyelipkannya
ke dalam saku celana. Mulut Ben sempat berkedut sebelum membentuk senyuman
tipis yang membuat nafasku berhenti.
“Kau tidak tahu apa yang telah kau
lakukan padaku, Irene,” gumam Ben, “Darimu aku belajar dan mengetahui banyak
hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Kau seperti sebuah kunci yang
membuka semua misterinya,” katanya sambil menatapku.
Aku selalu tidak berdaya berada di
bawah tatapan Ben. Namun kali ini ada sesuatu yang begitu kuat yang membuatku
tidak bisa atau tidak mau melepaskan tatapanku darinya. Aku tidak mau
melewatkan sedikitpun emosi yang dipantulkan oleh sepasang mata indah itu.
Oh, Tuhan, aku yakin aku bukanlah
seseorang yang istimewa. Aku hanyalah seorang gadis remaja sama seperti Carly
dan lainnya. Namaku akan segera dilupakan ketika aku mati nanti. Akan tetapi
aku telah mencintai seseorang dengan sepenuh hatiku dan seluruh jiwaku. Dan
untuk itu aku merasa sangat cukup.
Ben mulai melangkah mendekatiku. Setiap langkah yang dia
ambil,
semakin dekat semakin membuat jantung berdetak
cepat. Ben
berdiri di hadapanku
sekarang. Entah bagaimana caranya dia berhasil memutar kursiku sehingga aku
benar-benar berhadap-hadapan dengannya yang kini membungkuk untuk menyamakan
tingginya denganku.
“Terimakasih,
Irene,”
ucap Ben.
Ben mengangkat tangannya untuk menyentuh pipiku yang panas
akibat
semua yang dia lakukan padaku. Aku menutup mataku
rapat-rapat, berusaha keras untuk hanya menikmati sentuhannya di pipiku, lalu
menghiraukan yang lain termasuk tatapannya yang tidak mau lepas dari wajahku serta aroma daun mint dan citrus yang memenuhi indera penciumanku. Oh,
Tuhan, betapa aku menyukai aroma itu.
Semua terjadi begitu cepat ketika tiba-tiba aku merasakan Ben
mengecup keningku.
Aku membuka mataku lebar-lebar, menatap Ben yang telah menciumku tanpa permisi. Namun senyuman menawan yang menempel di wajahnya
membuatku tidak bisa berkata
apa-apa.
“Kau
telah menjadi seseorang yang sangat penting untukku,” kata Ben
sebelum mengangkat tubuhnya, menjauh dariku,
memberiku ruang untuk
bernafas.
Oh, Tuhan, sekarang aku tidak lagi bisa mendengarkan suara mesin yang ada di ruangan ini.
Semua yang kudengar hanyalah detak jantungku yang lebih berisik daripada
sniper.
Aku terperanjat kaget ketika aku merasakan seseorang
menyentuhku punggungku dari belakang. Aku
menoleh, melihat bibi Corinne yang masih berbaring mulai membuka matanya. Kontan aku langsung beranjak dari
kursi untuk mendekatinya.
“Bibi!” panggilku.
Kelopak mata bibi Corinne perlahan-lahan terbuka memperlihatkan sepasang bola mata cokelat yang amat
sangat kukenal dan kurindukan. Aku merasakan air mataku hampir pecah.
“Oh,
terimakasih Tuhan!” seruku berulang-ulang.
“Mom!” panggil Ben yang muncul di
sisi lain ranjang bibi Corinne.
“Ben,” gumam bibi Corinne dengan
suara yang serak dan lemah.
Ben memegang
tangan ibunya erat-era, “Aku
di sini, Mom," katanya.
Bibi Corinne menolehkan kepalanya pelan-pelan ke arah Ben. Dia tersenyum ketika melihat Ben berada di sisinya.
“Irene,”
“Aku
ada di
sini,”
kataku menekan tangan bibi Corinne untuk
memberitahukan keberadaanku.
Bibi Corinne menyunggingkan senyuman ketika melihatku. Senyuman yang mampu
melepas semua beban yang berada pundakku.
Oh, Tuhan,
aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa
melihat senyuman itu lagi.
“Kalian
adalah alasan aku hidup,”
gumam bibi Corinne menatap aku dan Ben
secara bergantian, “Untuk kalian aku
akan hidup. Dan itu sudah cukup untuk
membuatku terus hidup.”
Aku tidak lagi bisa menahan air mataku
yang menetes kian deras. Aku tidak peduli! Aku
hampir kehilangan bibi Corinne. Mendapatkannya kembali membuatku bisa melakukan apa saja termasuk menangis.
Ben merunduk untuk mengecup pipi ibunya, “Terimakasih, Mom,” ungkapnya.
Aku yakin aku melihat air mata meluncur dari matanya. Tapi itu tidak
apa-apa. Itu adalah wujud rasa syukur karena Tuhan telah membawa kembali sosok
yang terlalu penting untuk kami. Dan mendapatkannya kembali adalah sesuatu yang tidak mampu
dijelaskan dengan kata-kata. Saat ini biarkan air mata kami berdua yang
mengatakannya.
THE END OF THE LONG AND WINDING ROAD
Cinthya Karina
Februari 2014
Aku
tidak tahu sudah berapa lama aku duduk di tempat ini. Di lorong yang sempit
tanpa jendela dengan dinding berwarna pucat yang mengapitku dari depan dan
belakang. Waktu
seolah-olah tidak ada artinya lagi
sekarang. Orang-orang datang, orang-orang pergi,
tapi tempat ini tetap sama, menyesakkan. Dan aku tetap terperangkap di
dalam ketidakpastian.
Apakah operasinya akan berjalan dengan lancar?
Apakah yang akan terjadi jika operasinya gagal?
Oh, Tuhan, semua ini bagaikan
siksaan yang membunuhku pelan-pelan!
Seorang perawat yang merawat bibi Corinne sempat menjelaskan kepadaku
bahwa saat ini bibi Corinne sedang menjalani operasi bypass. Katanya operasi itu dilakukan untuk mengalihkan aliran
darah dari area penyempitan arteri koroner. Aku tidak begitu mengerti dengan
penjelasan perawat itu, tapi ketika kutanyakan apakah bibi Corinne akan
baik-baik saja, perawat itu mengatakan bahwa operasi itu akan berhasil dan bibi
Corinne akan selamat.
Tapi omongan seorang perawat tidak cukup untuk membuatku
tenang. Aku terus bepikir apa yang akan terjadi jika operasi itu gagal.
Oh, Tuhan, membayangkan kemungkinan aku akan kehilangan
bibi Corinne membuatku merasa sendirian. Rasanya sama seperti ketika aku kehilangan Mom
dan Dad. Aku merasa sendirian di
dunia ini, seolah-olah aku telah ditinggalkan
oleh semua orang.
“Apa yang sedang kau
pikirkan?”
Aku terkesiap kaget ketika melihat Ben
muncul di hadapanku.
“Apa yang sedang kau
pikirkan?”
tanya Ben lagi.
Apa yang sedang kupikirkan?
Aku sedang memikirkan mengenai kematian bibi Corinne. Well, tentu
saja aku tidak bisa mengataknnya kepada Ben. Aku masih ingat
ekspresi wajah Ben ketika pertama kali dia melihat kondisi bibi Corinne yang
lebih mirip
mesin dari pada orang sakit.
Aku sedang berpikir untuk mencari sesuatu yang bisa
kugunakan untuk menghindari pertanyaan Ben yang mulai mendesak jika dilihat
dari ekpresi yang ditunjukan oleh Ben saat ini. Saat itulah aku melihat
bungkusan plastik yang dibawa oleh Ben.
“Apa itu?" tanyaku.
Ben merunduk melihat bungkusan plastik di tangannya.
Sepertinya dia lupa bahwa dia
membawanya.
“Makanlah,” kata Ben menyerahkan bungkusan plastik itu padaku.
“Apa ini?” tanyaku ketika menerima bungkusan itu.
“Makan malam,”
Aku terkesiap mendengarnya, “Makan malam?” tanyaku bingung, “Memangnya
sekarang jam berapa?”
“Hampir jam tujuh malam,” jawab Ben yang duduk di bangku yang berada di seberang lorong.
Oh, aku benar-benar kehilangan jejak waktu! Bagaiman bisa sebelas jam berlalu begitu saja
tanpa kusadari?
“Bagaimana denganmu?” tanyaku, “Apa kau sudah makan?”
Ben hanya menganggukan kepalanya untuk menjawab
pertanyaanku. Kemudian dia mengeluarkan ponsel yang secara tidak langsung
mengartikan bahwa dia sudah selesai berbicara denganku.
Aku
membuka bungkusan plastik pemberian Ben. Isinya adalah roti sandwitch ukuran
besar dari toko roti kesukaanku yang terletak di dekat sekolah serta susu kotak
rasa cokelat dengan merk langgananku.
Semuanya adalah makanan dan minuman favoritku. Dari mana Ben tahu semua
itu? Well¸ I have no idea!
“Terimakasih, Ben,” ungkapku setulus hati.
Aku tidak mengharapkan tanggapan dari Ben, jadi aku langsung aku
menyantap makananku dengan lahap. Namun dalam hati, aku tidak berhenti
memanjaatkan doa untuk kelancaran operasi bibi Corinne yang sampai saat ini ternyata
sudah berlangsung selama sepuluh jam.
Apa yang mereka lakukan selama itu?
Apakah operasinya begitu rumit
hingga memakan waktu begitu banyak?
Sesaat aku mengamati Ben yang duduk dengan kepala yang tertunduk menatap
layar ponsel. Ben terlihat sangat tenang seolah-olah ibunya tidak berada di
atas meja operasi di dalam sana. Tapi aku tahu betul bahwa hatinya sama
gelisahnya denganku.
Hari ini adalah hari yang berat bagi Ben. Beberapa kali Ben sempat
kehilangan ketenangannya yang menunjukan bahwa dia sangat kalut. Aku ingat, Ben
begitu terkejut ketika mendengar kabar dari Taylor tentang kondisi ibunya.
Apalagi mengetahui bahwa bibi Corinne harus menjalani operasi yang penuh resiko
seperti ini. Pikirannya pasti sudah tidak ada di tempatnya lagi. Tidak di
ponsel yang ada di tangannya, tidak juga di lorong ini.
Apa yang akan terjadi pada Ben jika bibi Corinne tidak selamat?
Apakah Ben akan mengalami hal yang sama denganku?
Mendadak aku kehilangan nafsu makanku. Tanganku gemetar memikirkan kemungkinan
ini dan itu.
“Dengar. Mulai saat ini kau akan
memulai kehidupanmu yang baru. Harimu yang baru. Di rumah ini, bersama denganku
dan Ben. Anggap aku sebagai orang tuamu. Dan Ben
sebagai saudaramu. Mulai sekarang kita adalah satu keluarga. Bibi tidak akan
meninggalkanmu seorang diri. Kau mengerti?”
Air mataku langsung menetes membasahi pipiku ketika aku teringat dengan
perkataan bibi Corinne di hari pertama kepindahanku. Aku berharap saat itu aku
juga mengatakan hal yang sama denganya.
Aku tidak akan meninggalkan bibi Corinne. Tidak akan pernah.
Tubuhku gemetar tidak karuan. Keringat dingin mulai membasahi keningku.
“Irene?” seru Ben yang berlutut di hadapanku.
Ben memungut roti sandwitch yang kucampakan di lantai.
Aku menatap Ben dengan mataku yang penuh dengan air mata, “Ben, bagaimana
jika bibi Corinne juga meninggalkanku?” tanyaku lirih.
Aku tidak peduli dengan tatapan yang diberikan oleh orang-orang yang
melintasi lorong.
Ben hanya menatapku bingung. Kupikir dia terkejut mendengar
pertanyaanku.
Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali membayangkan kemungkinan
terburuk itu.
“Aku tidak mau kehilangan bibi Corinne. Aku tidak mau kehilangan
orang-orang yang kucintai lagi,” pintaku putus asa.
Tiba-tiba Ben yang masih berjongkok di hadapanku, memegang tanganku yang
gemetar. Telapak tanganku kelihatan begitu mungil dibandingkan dengan telapak
tangan Ben.
“Tidak, Irene,” katanya.
Aku kembali menatap Ben untuk menemukannya memasang ekspresi wajah yang
membuatku menggigit bibirku untuk menahan isakan yang mengancam keluar.
“Itu tidak akan terjadi. Mom
pasti bisa bertahan,” ucap Ben menguatkan pegangan tangannya.
Aku menundukan kepalaku, berusaha untuk menghindari tatapannya. Aku tahu
Ben mengatakannya bukan hanya untuk menenangkanku. Dia juga sedang berusaha
untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ibunya akan baik-baik saja di dalam
sana. Apa yang kulakukan saat ini hanya akan membuat perasaannya menjadi semakin
kacau.
“Maafkan aku,” pintaku sebelum memeluk
Ben.
Aku membenamkan wajahku dalam-dalam di bahu Ben. Tanpa melepaskan
pelukanku padanya, Ben memposisikan dirinya untuk duduk di sampingku lalu
merangkulkan kedua tangannya di sekitar punggungku.
“Untuk apa kau meminta maaf?” tanyanya di telingaku.
Aku menggelengkan kepalaku, enggan untuk menjawab pertanyaannya.
“Dengar,” tegas Ben di telingaku, “Mom tidak akan meninggalkan
kita.”
Mendengar perkataan Ben, membuatku semakin menguatkan pelukanku padanya.
Entah sejak kapan aku mulai bergantung pada Ben. Jika bukan karena Ben,
mungkin aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini. Tanpa Ben, mungkin aku sudah
menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa yang berada jauh di atas bukit yang
terisolasi.
“Mom sudah berjanji kepadaku, ketika ayahku meninggal,” kata Ben
membuatku kaget.
Selama ini, baik Ben maupun bibi Corinne, tidak pernah membicarakan
mengenai sosok Mr. Flyod, ayah Ben yang sudah lama meninggal. Walaupun begitu
aku pernah mendengar sedikit cerita tentangnya dari Bibi Corinne secara tidak
sengaja. Itulah alasan mengapa aku tahu bahwa ayah Ben sudah lama meninggal.
“Mom berjanji tidak akan meninggalkanku seperti yang dilakukan
oleh ayahku,”
Perlahan-lahan aku melepaskan pelukanku darinya, “Ben,” ucapku, menatap
wajahnya.
Aku harus mengatakan bahwa Ben terlihat hampir menangis sekarang. Setelah
sekian lama, akhirnya aku menyadari bahwa Ben juga pernah terluka sepertiku. Ben
pernah kehilangan orang yang sangat dicintainya. Ben mengalami apa yang
kualami, itulah yang membuatnya mengerti aku.
Aku meraih Ben dengan tangan-tanganku yang masih gemetar. Dengan
menggunakan jari-jariku, aku menghapus setetes air mata yang jatuh di pipinya.
Aku tidak mau melihat Ben menangis, itu membuatku sakit.
“Jangan menangis, Ben,” kataku walaupun aku juga menangis, “Bibi Corinne
tidak akan pergi meninggalkan kita. Dia juga sudah berjanji kepadaku,”
Tiba-tiba Ben malah menyunggingkan senyuman yang membuatku menahan nafas
selama beberapa saat. Kemudian jari-jari Ben yang hangat menepi di permukaan
wajahku, menyapu air mataku yang tidak berhenti mengalir.
“Kau mengatakan hal yang sama dengan yang kukatakan kepadamu,” bisiknya.
Aku menyeringai lebar sebelum membenamkan wajahku kembali di bahunya.
***
“Sampai kapan bibi Corinne akan tidur?” tanyaku kepada Ben yang berdiri di belakangku.
“Sampai efek anestesinya habis,” jawab Ben.
Aku mengangguk mengerti. Saat ini aku tidak bisa
melepaskan tatapanku dari bibi Corinne yang masih tertidur pulas sejak
operasinya selesai sekitar dua jam yang lalu. Operasi bibi Corinne berjalan
dengan lancar. Dokter bilang tidak akan ada masalah lagi dengan jantungnya. Sang dokter bahkan mangatakan bahwa bibi
Corinne mendapatkan jantung yang baru. Well, bibi Corinne tidak
menjalani operasi transplantasi jantung. Itu tidak perlu. Hanya saja, sang
dokter bilang bahwa operasi yang dilakukan sangat sukses sehingga jantung yang
pernah rusak itu berhasil diperbaiki dengan sempurna seolah-olah menjadi baru
lagi.
Apa pun itu artinya, aku tetap bersyukur
karena bibi Corinne selamat. Bibi Corinne masih hidup
dan sedang tertidur pulas di hadapanku.
“Apa bibi Corinne kesakitan?” tanyaku ketika aku teringat
dengan luka
pasca operasi yang membelah di dadanya.
pasca operasi yang membelah di dadanya.
Aku sempat melihatnya ketika perawat mengganti pakaian bibi Corinne. Lukanya cukup panjang dan sudah pasti
dalam.
Bagaimanapun dokter harus memotong tulang rusuknya untuk membedah jantung yang
ada di dalamnya.
Oh, Tuhan,
membayangkannya saja sudah membuatku kesakitan.
“Tidak. Anestesi
membuatnya tidak bisa merasakan apa-apa, termasuk rasa sakit,” jawab Ben, “Mom
sudah melewati masa kritisnya. Dia akan segera
bangun lalu sembuh beberapa minggu kemudian. Jangan khawatir,”
bangun lalu sembuh beberapa minggu kemudian. Jangan khawatir,”
Kali ini aku menoleh, melihat Ben melalui bahuku. Ben berdiri
di
belakangku yang duduk di samping ranjang bibi Corinne. Punggung Ben
menyandar pada dinding di belakangnya. Wajahnya yang nampak lelah
menghadap bibi Corinne.
belakangku yang duduk di samping ranjang bibi Corinne. Punggung Ben
menyandar pada dinding di belakangnya. Wajahnya yang nampak lelah
menghadap bibi Corinne.
Sama sepertiku sebelumnya, Ben tidak bisa melepaskan tatapannya dari
bibi Corinne. Sepasang bola mata cokelatnya yang agak kemerahan karena kurang
tidur, menatap bibi Corinne dengan cemas.
Well, aku bisa
melihatnya sekarang. Aku yakin aku melihat kecemasan dan kekhawatiran terpantul di
matanya. Sekalipun tadi Ben bilang untuk tidak mengkhawatirkan bibi Corinne, bukan berarti Ben tidak mengkhawatirkannya. Saat ini aku melihat apa
yang Ben tidak bisa tunjukan kepadaku. Kecemasan dan kekhawatiran Ben kepada ibunya tidak bisa dia tunjukan kerena dia ingin
membuatku merasa lebih baik. Ben berusaha terlihat kuat untuk
menguatkanku yang tidak berdaya.
“Terimakasih, Ben,” ungkapku.
Ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan kepada Ben.
Terlalu banyak,
selain ucapan terimakasih yang memang pantas dia dapatkan.
selain ucapan terimakasih yang memang pantas dia dapatkan.
“Tanpamu,
apa jadinya aku,”
kataku merendahkan pandanganku.
Tanpa Ben, apa jadinya aku?
Ben telah melakukan begitu banyak hal padaku. Ben membuatku
menceritakan hal-hal tidak pernah kubagikan kepada orang lain. Ben
membangun kepercayaan diriku dengan menunjukan hal-hal mengenai diriku
yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.
menceritakan hal-hal tidak pernah kubagikan kepada orang lain. Ben
membangun kepercayaan diriku dengan menunjukan hal-hal mengenai diriku
yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.
“Kau lebih berani dari yang kau percaya, kau
lebih kuat dari yang kau
lihat, kau lebih pintar dari yang kau pikir,”
lihat, kau lebih pintar dari yang kau pikir,”
“Kau
membuatku merasa kuat bahkan di saat aku tidak berdaya sekalipun,” kataku.
Aku tidak tahu apa yang akan Ben pikirkan setelah mendengar semua ini. Yang aku tahu, Ben selalu ada
di pikiranku. Well, aku baru menyadarinya,
aku selalu memikirkan Ben setiap saat dan dalam setiap tindakan yang kuambil. Hal-hal sederhana membawa Ben dengan mudah ke dalam pikiranku. Seperti langit biru yang pucat, hembusan angin yang lembut atau bahkan awan badai di atas horizon.
aku selalu memikirkan Ben setiap saat dan dalam setiap tindakan yang kuambil. Hal-hal sederhana membawa Ben dengan mudah ke dalam pikiranku. Seperti langit biru yang pucat, hembusan angin yang lembut atau bahkan awan badai di atas horizon.
“Kau
mungkin tidak pernah membayangkan bahwa apa yang kau lakukan
membuat kehidupanku menjadi berbeda,” ungkapku, kali ini aku
mengangkat wajahku untuk melihat Ben yang tetap berdiri pasif dengan
kedua tangan dilipat di depan dada.
membuat kehidupanku menjadi berbeda,” ungkapku, kali ini aku
mengangkat wajahku untuk melihat Ben yang tetap berdiri pasif dengan
kedua tangan dilipat di depan dada.
Orang lain yang melihat kami berdua mungkin mengira Ben tidak
mendengarkan apapun itu yang sedang kukatakan padanya. Tapi
aku mengenal Ben dengan sangat baik
sekarang. Ben menyerap semua yang kukatakan dengan baik. Bahkan kadang-kadang dia ingin mendengar lebih
banyak lagi. Aku menyunggingkan senyuman yang berasal dari lubuk hatiku yang
paling dalam.
paling dalam.
“Kau
memberikanku harapan yang membuatmu menjadi bagian penting dalam hidupku,”
Bohong jika Ben tidak terkejut mendengar semua yang kukatakan padanya. Hanya saja Ben selalu tahu cara menyembunyikan perasaannya di balik wajahnya yang tetap datar. Akan tetapi, jika aku melihat lebih dekat dan lebih lama, aku bisa melihat bagaimana tatapannya berubah dari satu ekspresi ke
ekspresi lain yang menunjukan ada gejolak emosi di dalamnya.
“Kau
tahu apa itu soulmate?”
tanya Ben tiba-tiba tidak terduga
hingga membuatku tidak tahu harus menjawab apa.
hingga membuatku tidak tahu harus menjawab apa.
“Soulmate adalah
seseorang yang paling penting yang akan kau temukan. Dia akan datang ke dalam kehidupanmu untuk menunjukan lapisan lain dari dirimu. Tujuannya adalah untuk membuka hatimu supaya cahaya baru bisa masuk. Dia akan
membuatmu merasa putus asa dan tidak terkendali sehingga kau merasa harus
mengubah hidupmu,” dia berhenti sejenak,
“Seandainya soulmate memang ada, maka bagiku kau adalah orangnya,”
“Kau
mengalami banyak hal, Irene. Dan aku berada di sana untuk menyaksikannya.
Sejak aku menjemputmu di rumah sakit sampai sekarang kau telah membuatku
merasakan banyak hal. Kau menunjukan kepadaku diriku yang lain yang mungin menjadi diriku yang sesungguhnya.”
Aku tidak mengerti apa yang Ben
katakan. Tidak sedikit pun! Tapi aku tidak bisa menemukan dimana suaraku untuk
menanyakan apa gerangan maksudnya. Ben menurunkan tangannya lalu menyelipkannya
ke dalam saku celana. Mulut Ben sempat berkedut sebelum membentuk senyuman
tipis yang membuat nafasku berhenti.
“Kau tidak tahu apa yang telah kau
lakukan padaku, Irene,” gumam Ben, “Darimu aku belajar dan mengetahui banyak
hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Kau seperti sebuah kunci yang
membuka semua misterinya,” katanya sambil menatapku.
Aku selalu tidak berdaya berada di
bawah tatapan Ben. Namun kali ini ada sesuatu yang begitu kuat yang membuatku
tidak bisa atau tidak mau melepaskan tatapanku darinya. Aku tidak mau
melewatkan sedikitpun emosi yang dipantulkan oleh sepasang mata indah itu.
Oh, Tuhan, aku yakin aku bukanlah
seseorang yang istimewa. Aku hanyalah seorang gadis remaja sama seperti Carly
dan lainnya. Namaku akan segera dilupakan ketika aku mati nanti. Akan tetapi
aku telah mencintai seseorang dengan sepenuh hatiku dan seluruh jiwaku. Dan
untuk itu aku merasa sangat cukup.
Ben mulai melangkah mendekatiku. Setiap langkah yang dia
ambil,
semakin dekat semakin membuat jantung berdetak cepat. Ben berdiri di hadapanku sekarang. Entah bagaimana caranya dia berhasil memutar kursiku sehingga aku benar-benar berhadap-hadapan dengannya yang kini membungkuk untuk menyamakan tingginya denganku.
semakin dekat semakin membuat jantung berdetak cepat. Ben berdiri di hadapanku sekarang. Entah bagaimana caranya dia berhasil memutar kursiku sehingga aku benar-benar berhadap-hadapan dengannya yang kini membungkuk untuk menyamakan tingginya denganku.
“Terimakasih,
Irene,”
ucap Ben.
Ben mengangkat tangannya untuk menyentuh pipiku yang panas
akibat
semua yang dia lakukan padaku. Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha keras untuk hanya menikmati sentuhannya di pipiku, lalu menghiraukan yang lain termasuk tatapannya yang tidak mau lepas dari wajahku serta aroma daun mint dan citrus yang memenuhi indera penciumanku. Oh, Tuhan, betapa aku menyukai aroma itu.
semua yang dia lakukan padaku. Aku menutup mataku rapat-rapat, berusaha keras untuk hanya menikmati sentuhannya di pipiku, lalu menghiraukan yang lain termasuk tatapannya yang tidak mau lepas dari wajahku serta aroma daun mint dan citrus yang memenuhi indera penciumanku. Oh, Tuhan, betapa aku menyukai aroma itu.
Semua terjadi begitu cepat ketika tiba-tiba aku merasakan Ben
mengecup keningku.
Aku membuka mataku lebar-lebar, menatap Ben yang telah menciumku tanpa permisi. Namun senyuman menawan yang menempel di wajahnya
membuatku tidak bisa berkata
apa-apa.
“Kau
telah menjadi seseorang yang sangat penting untukku,” kata Ben
sebelum mengangkat tubuhnya, menjauh dariku, memberiku ruang untuk
bernafas.
sebelum mengangkat tubuhnya, menjauh dariku, memberiku ruang untuk
bernafas.
Oh, Tuhan, sekarang aku tidak lagi bisa mendengarkan suara mesin yang ada di ruangan ini.
Semua yang kudengar hanyalah detak jantungku yang lebih berisik daripada
sniper.
Aku terperanjat kaget ketika aku merasakan seseorang
menyentuhku punggungku dari belakang. Aku menoleh, melihat bibi Corinne yang masih berbaring mulai membuka matanya. Kontan aku langsung beranjak dari kursi untuk mendekatinya.
menyentuhku punggungku dari belakang. Aku menoleh, melihat bibi Corinne yang masih berbaring mulai membuka matanya. Kontan aku langsung beranjak dari kursi untuk mendekatinya.
“Bibi!” panggilku.
Kelopak mata bibi Corinne perlahan-lahan terbuka memperlihatkan sepasang bola mata cokelat yang amat
sangat kukenal dan kurindukan. Aku merasakan air mataku hampir pecah.
“Oh,
terimakasih Tuhan!” seruku berulang-ulang.
“Mom!” panggil Ben yang muncul di
sisi lain ranjang bibi Corinne.
“Ben,” gumam bibi Corinne dengan
suara yang serak dan lemah.
Ben memegang
tangan ibunya erat-era, “Aku
di sini, Mom," katanya.
Bibi Corinne menolehkan kepalanya pelan-pelan ke arah Ben. Dia tersenyum ketika melihat Ben berada di sisinya.
“Irene,”
“Aku
ada di
sini,”
kataku menekan tangan bibi Corinne untuk
memberitahukan keberadaanku.
Bibi Corinne menyunggingkan senyuman ketika melihatku. Senyuman yang mampu
melepas semua beban yang berada pundakku.
Oh, Tuhan,
aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa
melihat senyuman itu lagi.
“Kalian
adalah alasan aku hidup,”
gumam bibi Corinne menatap aku dan Ben
secara bergantian, “Untuk kalian aku
akan hidup. Dan itu sudah cukup untuk
membuatku terus hidup.”
Aku tidak lagi bisa menahan air mataku
yang menetes kian deras. Aku tidak peduli! Aku
hampir kehilangan bibi Corinne. Mendapatkannya kembali membuatku bisa melakukan apa saja termasuk menangis.
Ben merunduk untuk mengecup pipi ibunya, “Terimakasih, Mom,” ungkapnya.
Aku yakin aku melihat air mata meluncur dari matanya. Tapi itu tidak
apa-apa. Itu adalah wujud rasa syukur karena Tuhan telah membawa kembali sosok yang terlalu penting untuk kami. Dan mendapatkannya kembali adalah sesuatu yang tidak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Saat ini biarkan air mata kami berdua yang mengatakannya.
apa-apa. Itu adalah wujud rasa syukur karena Tuhan telah membawa kembali sosok yang terlalu penting untuk kami. Dan mendapatkannya kembali adalah sesuatu yang tidak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Saat ini biarkan air mata kami berdua yang mengatakannya.
THE END OF THE LONG AND WINDING ROAD
Cinthya Karina
Februari 2014
Komentar
Posting Komentar