PART 6
.
Aku bergegas
meninggalkan kelas XII B sebelum terlibat percakapan dengan Dylan. Aku menghiraukan
panggilan seorang teman sekelasku yang entah siapa namanya ketika aku menuruni
tangga. Aku bahkan tidak menunggu Carly yang tadi masih sibuk berbincang-bincang
dengan Luke.
Aku kesal. Aku marah. Aku
tidak tahu mengapa Dylan melakukan hal menyebalkan seperti itu padaku. Apakah Dylan
tidak tahu bahwa aku sedang frustasi?
Tentu saja dia tidak
tahu, aku tidak memberitahunya. Tapi itu tidak penting! Dylan membuatku marah sampai
pada titik dimana aku ingin berteriak sekencang-kencangnya sampai aku puas.
Tunggu!
Bukankah tadi aku merasa
sakit di dada ketika aku teringat dengan mimpiku tadi malam? Aku merasa dunia
menjadi buram sehingga aku tidak yakin apakah aku masih berpijak di muka bumi
atau tidak. Namun semua perasaan itu terlindas oleh kekesalan yang aku rasakan
kepada Dylan. Setidaknya setelah insiden itu aku sadar bahwa aku sedang berada
di dalam kelas. Setidaknya aku bisa mengikuti pelajaran-pelajaran berikutnya
dengan baik.
Apakah aku sudah bersikap
terlalu berlebihan dengan terus menghindari Dylan sampai detik ini? Aku
menghiraukan semua pertanyaan dan permintaan maafnya. Aku bahkan meminta Carly
untuk bertukar tempat duduk denganku. Alhasil aku benar-benar tidak melihat
wajah Dylan sampai bel tanda pulang sekolah berdering.
Apa-apaan aku ini?
Aku menghentikan
langkahku dan sedang berpikir apakah sebaiknya aku kembali ke kelas untuk
berbicara dengan Dylan, sampai orang yang sedang kupikirkan itu mendadak
berlari menghampiriku. Nafasnya terengah-engah. Sepertinya Dylan menuruni
tangga sambil berlari untuk mengejarku.
“Apa kau benar-benar
marah padaku?” tanya Dylan dengan nafas yang saling memburu. Rambut pirangnya
nampak semakin berantakan, menempel di sekitar dahinya yang berkeringat.
Aku tidak menyahut.
Mendadak egoku melarangku untuk mengutarakan apa yang tadi kupikirkan.
“Oh, ayolah. Aku minta
maaf,” pinta Dylan dengan tatapan yang memohon, “Tadi aku hanya ingin membawamu
kembali ke dunia nyata. Aku melihatmu melamun sepanjang pelajaran. Aku tidak
bermaksud membawamu dalam masalah, Walau sebenarnya aku menduga hal itu akan
terjadi,” jelasnya panjang lebar.
Aku mendengar ada
kekhawatiran yang tulus dalam penjelasan Dylan. Cara Dylan menatapku pun
menunjukan hal yang sama. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk bermain-main
denganku.
Akhirnya aku berhasil
melawan egoku untuk kemudian membalas tatapan Dylan.
“Baiklah,” gumamku, “Kurasa
aku harus berterimakasih karena kau telah membangunkanku. Walaupun caranya
tidak lebih kejam dari menyiramkan seember air dingin ke wajahku,” kataku
menyembunyikan kejujuran yang tulus di balik sarkasme.
Tapi Dylan cukup pintar
untuk mengerti apa yang sebenarnya ingin aku katakan. Aku mendengarnya tertawa
sebelum berlari untuk menyusulku.
***
“Hey, apakah kau
benar-benar tidak mau kuantar sampai ke rumahmu?” tanya Dylan untuk kesekian
kalinya ketika dia mengantarku ke pemberhentian bus di depan Albert Park yang
tidak jauh dari sekolah
“Tidak usah,” tolakku
sebelum membuka pintu mobil untuk turun.
“Kau yakin tahu
rutenya?” tanya Dylan terlihat khawatir.
Aku berusaha untuk
tidak memutar mataku mendengar pertanyaan Dylan, “Aku hanya perlu turun di
halte bus di dekat perumahan, Dylan,” kataku menggerutu yang ditanggapi oleh Dylan
dengan cengiran lebar di wajahnya, “Sudahlah, terimakasih,” imbuhku turun dari
mobil.
“Hati-hati!” seru Dylan
sebelum menjalankan Fiat birunya, menyebrangi jalan raya untuk memutar jalur.
Karena Ben belum juga
menjemputku sampai pukul empat sore, akhirnya aku memutuskan untuk pulang dengan
naik bus. Dylan yang menemaniku selama aku menunggu Ben, bersikeras ingin
mengantarku pulang sebagai permintaan maaf atas apa yang telah dia lakukan
tadi. Tapi aku menolak, karena selain aku tidak mau Dylan tahu dimana aku
tinggal, aku juga tidak mau berada di dalam mobil yang dikendarai oleh orang
yang tidak tahu mengenai kecelakaan yang pernah kualami. Maksudku bagaimana jika
tiba-tiba aku menjerit di dalam mobilnya, padahal dia tidak melakukan apapun
yang membahayakan. Tapi Dylan sangat keras kepala, sehingga aku memutuskan
untuk memintanya mengantarku sampai halte bus Albert Park, yang jaraknya hanya
beberapa menit saja dari sekolah.
Tidak sulit untuk
sampai di halte bus yang terletak tidak jauh dari perumahan tempat aku tinggal.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana aku bisa sampai ke rumahku yang berada di
dalam perumahan? Aku tidak mungkin berjalan kaki karena aku tidak tahu jalan
mana yang harus aku ambil. Well, aku
sudah mencoba untuk mengingatnya, tapi jalan perumahan itu bercabang-cabang,
membuatku bingung.
Aku sudah berniat untuk
menghubungi bibi Corinne untuk menjemputku. Tapi aku segera mengurungkan,
karena aku tahu dia sedang sibuk. Jika tidak, dia pasti akan menghubungiku,
menanyakan mengapa sampai jam segini aku belum pulang. Well, itulah yang terjadi ketika aku menemani Carly berlatih lagu
Carol Of The Bells di auditorium sekolah hingga matahari terbenam beberapa hari
yang lalu.
Kurasa aku bisa naik taksi.
Great! Sepertinya hari ini bukanlah hari yang baik untukku. Sampai
jarum jam arlojiku menunjukan pukul lima sore aku belum juga menemukan taksi
yang kosong.
Hampir satu jam
berdiri, membuat kaki-kakiku yang pendek mati rasa. Aku sudah sangat lelah hingga
rasanya aku bisa pingsan kapan saja. Karena tidak bisa bertahan lebih lama, aku
memutuskan untuk duduk di pelantaran halte bus yang sepi. Well, kebanyakan orang mungkin sudah pulang ke rumah.
Sesekali aku membuka
ponsel, memeriksa apakah ada panggilan masuk dari Ben yang tidak sengaja
kulewatkan. Tidak ada. Well, aku
tidak heran. Ben juga tidak merasa penting untuk mengirim pesan. Mungkin Ben
benar-benar sibuk hingga dia melupakan janjinya padaku.
Menit demi menit
berlalu, sang surya yang telah tiba di ufuk barat sedang memedarkan sinar
jingga kemerah-merahan yang menjelma seperti warna darah. Sang mentari senja
itu seakan menjelma menjadi pencabut nyawa yang melumuri dunia dengan darah. Warna
menyedihkan yang kini setia mengusik mimpiku. Entah berapa kali lagi aku harus
memimpikan warna menyeramkan itu mengalir dari kepala Mom dan Dad.
Aku merunduk, meratapi
takdir kejam yang telah menimpaku. Takdir kejam yang membuatku harus kehilangan
orangtua yang sangat kucintai. Takdir kejam yang membuatku menjadi sebatang
kara. Takdir kejam yang merenggut semua yang kumiliki. Takdir kejam yang
memaksaku melupakan mimpi-mimpi indah di masa lalu. Dan yang lebih kejam,
takdir itu menerjangku dengan tiba-tiba dan tanpa ampun, tidak memberikanku
kesempatan untuk menghindar.
Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku?
Aku merintih dalam hati.
Aku bisa merasakan air mata mulai
mengalir membasahi pipiku. Aku berusaha
keras untuk tidak terisak karena aku tidak mau memancing perhatian orang-orang
yang ada di sekitarku. Aku berusaha menundukan kepalaku untuk menyembunyikan
wajahku sampai daguku menyentuh dadaku. Aku mendekap tubuhku dengan kedua
tanganku untuk melawan semilir angin
musim dingin yang mengikis sisa-sisa kehangatan sang surya yang siap tenggelam.
Aku benar-benar
menyedihkan.
Tiba-tiba sebuah tangan
terentang di hadapanku, meraih daguku lalu mengangkatnya perlahan-lahan sampai
wajahku yang tadinya tertunduk jadi terangkat. Belum sempat aku mengetahui
siapa pemilik tangan itu, tangan yang satunya menyentuh pipiku lembut untuk
menghapus air mata dengan jari-jarinya yang hangat.
“Maaf aku terlambat menjemputmu,” ucap sesosok
suara datar yang amat sangat kukenal.
Perlahan-lahan aku
mengangkat kepalaku untuk menatap Ben yang berjongkok di hadapanku. Bibirku
terkatup rapat, tidak mampu berkata-kata ketika kulihat ekspresi di wajahnya
yang tampan.
Ben menarik tanganya
dari wajahku, membuatku langsung merindukan jari-jarinya yang hangat. Kemudian dia
mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya lalu memberikannya kepadaku.
“Aku hampir memutari
seluruh kota untuk mencarimu,” kata Ben masih berjongkok di hadapanku.
Aku tidak mengerti
mengapa Ben melakukannya. Aku bahkan tidak berharap Ben akan benar-benar datang
menjemputku. Tapi sekarang Ben berada di hadapanku, menghapus air mataku dengan
jari-jarinya yang hangat, memberiku sapu tangan miliknya yang lembut, memutari
seluruh kota untuk mencariku, menatapku dengan penuh kekhawatiran yang
membuatku bingung. Oh, Tuhan, aku tidak bisa mengira isi hatinya.
“Maaf,” gumamku merasa
bersalah.
Tiba-tiba Ben bangkit
untuk berdiri, dia merunduk menatapku dengan ekspresi wajah yang berbeda dari
beberapa detik yang lalu.
“Kau tidak perlu minta
maaf,” katanya dingin, “Ayo kita pergi,”
Aku tidak mengerti apa
yang sedang terjadi dengan Ben. Baru saja aku berpikir Ben peduli padaku, tapi
sekarang dia kembali memperlakukanku seperti pengganggu yang merepotkan.
Tidak mau membuat Ben
menunggu lebih lama, aku pun segera bangkit untuk menyusul Ben yang sudah
melangkah menuju mobilnya.
Komentar
Posting Komentar