Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB III]


PART 6

.

Aku bergegas meninggalkan kelas XII B sebelum terlibat percakapan dengan Dylan. Aku menghiraukan panggilan seorang teman sekelasku yang entah siapa namanya ketika aku menuruni tangga. Aku bahkan tidak menunggu Carly yang tadi masih sibuk berbincang-bincang dengan Luke.
Aku kesal. Aku marah. Aku tidak tahu mengapa Dylan melakukan hal menyebalkan seperti itu padaku. Apakah Dylan tidak tahu bahwa aku sedang frustasi?
Tentu saja dia tidak tahu, aku tidak memberitahunya. Tapi itu tidak penting! Dylan membuatku marah sampai pada titik dimana aku ingin berteriak sekencang-kencangnya sampai aku puas.
Tunggu!
Bukankah tadi aku merasa sakit di dada ketika aku teringat dengan mimpiku tadi malam? Aku merasa dunia menjadi buram sehingga aku tidak yakin apakah aku masih berpijak di muka bumi atau tidak. Namun semua perasaan itu terlindas oleh kekesalan yang aku rasakan kepada Dylan. Setidaknya setelah insiden itu aku sadar bahwa aku sedang berada di dalam kelas. Setidaknya aku bisa mengikuti pelajaran-pelajaran berikutnya dengan baik.
Apakah aku sudah bersikap terlalu berlebihan dengan terus menghindari Dylan sampai detik ini? Aku menghiraukan semua pertanyaan dan permintaan maafnya. Aku bahkan meminta Carly untuk bertukar tempat duduk denganku. Alhasil aku benar-benar tidak melihat wajah Dylan sampai bel tanda pulang sekolah berdering.
Apa-apaan aku ini?
Aku menghentikan langkahku dan sedang berpikir apakah sebaiknya aku kembali ke kelas untuk berbicara dengan Dylan, sampai orang yang sedang kupikirkan itu mendadak berlari menghampiriku. Nafasnya terengah-engah. Sepertinya Dylan menuruni tangga sambil berlari untuk mengejarku.
“Apa kau benar-benar marah padaku?” tanya Dylan dengan nafas yang saling memburu. Rambut pirangnya nampak semakin berantakan, menempel di sekitar dahinya yang berkeringat.
Aku tidak menyahut. Mendadak egoku melarangku untuk mengutarakan apa yang tadi kupikirkan.
“Oh, ayolah. Aku minta maaf,” pinta Dylan dengan tatapan yang memohon, “Tadi aku hanya ingin membawamu kembali ke dunia nyata. Aku melihatmu melamun sepanjang pelajaran. Aku tidak bermaksud membawamu dalam masalah, Walau sebenarnya aku menduga hal itu akan terjadi,” jelasnya panjang lebar.
Aku mendengar ada kekhawatiran yang tulus dalam penjelasan Dylan. Cara Dylan menatapku pun menunjukan hal yang sama. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk bermain-main denganku.
Akhirnya aku berhasil melawan egoku untuk kemudian membalas tatapan Dylan.
“Baiklah,” gumamku, “Kurasa aku harus berterimakasih karena kau telah membangunkanku. Walaupun caranya tidak lebih kejam dari menyiramkan seember air dingin ke wajahku,” kataku menyembunyikan kejujuran yang tulus di balik sarkasme.
Tapi Dylan cukup pintar untuk mengerti apa yang sebenarnya ingin aku katakan. Aku mendengarnya tertawa sebelum berlari untuk menyusulku.

***

“Hey, apakah kau benar-benar tidak mau kuantar sampai ke rumahmu?” tanya Dylan untuk kesekian kalinya ketika dia mengantarku ke pemberhentian bus di depan Albert Park yang tidak jauh dari sekolah
“Tidak usah,” tolakku sebelum membuka pintu mobil untuk turun.
“Kau yakin tahu rutenya?” tanya Dylan terlihat khawatir.
Aku berusaha untuk tidak memutar mataku mendengar pertanyaan Dylan, “Aku hanya perlu turun di halte bus di dekat perumahan, Dylan,” kataku menggerutu yang ditanggapi oleh Dylan dengan cengiran lebar di wajahnya, “Sudahlah, terimakasih,” imbuhku turun dari mobil.
“Hati-hati!” seru Dylan sebelum menjalankan Fiat birunya, menyebrangi jalan raya untuk memutar jalur.
Karena Ben belum juga menjemputku sampai pukul empat sore, akhirnya aku memutuskan untuk pulang dengan naik bus. Dylan yang menemaniku selama aku menunggu Ben, bersikeras ingin mengantarku pulang sebagai permintaan maaf atas apa yang telah dia lakukan tadi. Tapi aku menolak, karena selain aku tidak mau Dylan tahu dimana aku tinggal, aku juga tidak mau berada di dalam mobil yang dikendarai oleh orang yang tidak tahu mengenai kecelakaan yang pernah kualami. Maksudku bagaimana jika tiba-tiba aku menjerit di dalam mobilnya, padahal dia tidak melakukan apapun yang membahayakan. Tapi Dylan sangat keras kepala, sehingga aku memutuskan untuk memintanya mengantarku sampai halte bus Albert Park, yang jaraknya hanya beberapa menit saja dari sekolah.
Tidak sulit untuk sampai di halte bus yang terletak tidak jauh dari perumahan tempat aku tinggal. Yang menjadi masalah adalah bagaimana aku bisa sampai ke rumahku yang berada di dalam perumahan? Aku tidak mungkin berjalan kaki karena aku tidak tahu jalan mana yang harus aku ambil. Well, aku sudah mencoba untuk mengingatnya, tapi jalan perumahan itu bercabang-cabang, membuatku bingung.
Aku sudah berniat untuk menghubungi bibi Corinne untuk menjemputku. Tapi aku segera mengurungkan, karena aku tahu dia sedang sibuk. Jika tidak, dia pasti akan menghubungiku, menanyakan mengapa sampai jam segini aku belum pulang. Well, itulah yang terjadi ketika aku menemani Carly berlatih lagu Carol Of The Bells di auditorium sekolah hingga matahari terbenam beberapa hari yang lalu.
Kurasa aku bisa naik taksi.
Great! Sepertinya hari ini bukanlah hari yang baik untukku. Sampai jarum jam arlojiku menunjukan pukul lima sore aku belum juga menemukan taksi yang kosong.
Hampir satu jam berdiri, membuat kaki-kakiku yang pendek mati rasa. Aku sudah sangat lelah hingga rasanya aku bisa pingsan kapan saja. Karena tidak bisa bertahan lebih lama, aku memutuskan untuk duduk di pelantaran halte bus yang sepi. Well, kebanyakan orang mungkin sudah pulang ke rumah.
Sesekali aku membuka ponsel, memeriksa apakah ada panggilan masuk dari Ben yang tidak sengaja kulewatkan. Tidak ada. Well, aku tidak heran. Ben juga tidak merasa penting untuk mengirim pesan. Mungkin Ben benar-benar sibuk hingga dia melupakan janjinya padaku.
Menit demi menit berlalu, sang surya yang telah tiba di ufuk barat sedang memedarkan sinar jingga kemerah-merahan yang menjelma seperti warna darah. Sang mentari senja itu seakan menjelma menjadi pencabut nyawa yang melumuri dunia dengan darah. Warna menyedihkan yang kini setia mengusik mimpiku. Entah berapa kali lagi aku harus memimpikan warna menyeramkan itu mengalir dari kepala Mom dan Dad.
Aku merunduk, meratapi takdir kejam yang telah menimpaku. Takdir kejam yang membuatku harus kehilangan orangtua yang sangat kucintai. Takdir kejam yang membuatku menjadi sebatang kara. Takdir kejam yang merenggut semua yang kumiliki. Takdir kejam yang memaksaku melupakan mimpi-mimpi indah di masa lalu. Dan yang lebih kejam, takdir itu menerjangku dengan tiba-tiba dan tanpa ampun, tidak memberikanku kesempatan untuk menghindar. 
Mengapa? Mengapa semua ini harus terjadi kepadaku?
Aku merintih dalam hati. Aku bisa merasakan  air mata mulai mengalir  membasahi pipiku. Aku berusaha keras untuk tidak terisak karena aku tidak mau memancing perhatian orang-orang yang ada di sekitarku. Aku berusaha menundukan kepalaku untuk menyembunyikan wajahku sampai daguku menyentuh dadaku. Aku mendekap tubuhku dengan kedua tanganku untuk melawan  semilir angin musim dingin yang mengikis sisa-sisa kehangatan sang surya yang siap tenggelam.
Aku benar-benar menyedihkan.
Tiba-tiba sebuah tangan terentang di hadapanku, meraih daguku lalu mengangkatnya perlahan-lahan sampai wajahku yang tadinya tertunduk jadi terangkat. Belum sempat aku mengetahui siapa pemilik tangan itu, tangan yang satunya menyentuh pipiku lembut untuk menghapus air mata dengan jari-jarinya yang hangat.
 “Maaf aku terlambat menjemputmu,” ucap sesosok suara datar yang amat sangat kukenal.
Perlahan-lahan aku mengangkat kepalaku untuk menatap Ben yang berjongkok di hadapanku. Bibirku terkatup rapat, tidak mampu berkata-kata ketika kulihat ekspresi di wajahnya yang tampan.
Ben menarik tanganya dari wajahku, membuatku langsung merindukan jari-jarinya yang hangat. Kemudian dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya lalu memberikannya kepadaku.
“Aku hampir memutari seluruh kota untuk mencarimu,” kata Ben masih berjongkok di hadapanku.
Aku tidak mengerti mengapa Ben melakukannya. Aku bahkan tidak berharap Ben akan benar-benar datang menjemputku. Tapi sekarang Ben berada di hadapanku, menghapus air mataku dengan jari-jarinya yang hangat, memberiku sapu tangan miliknya yang lembut, memutari seluruh kota untuk mencariku, menatapku dengan penuh kekhawatiran yang membuatku bingung. Oh, Tuhan, aku tidak bisa mengira isi hatinya.
“Maaf,” gumamku merasa bersalah.
Tiba-tiba Ben bangkit untuk berdiri, dia merunduk menatapku dengan ekspresi wajah yang berbeda dari beberapa detik yang lalu.
“Kau tidak perlu minta maaf,” katanya dingin, “Ayo kita pergi,”
Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi dengan Ben. Baru saja aku berpikir Ben peduli padaku, tapi sekarang dia kembali memperlakukanku seperti pengganggu yang merepotkan.
Tidak mau membuat Ben menunggu lebih lama, aku pun segera bangkit untuk menyusul Ben yang sudah melangkah menuju mobilnya.

END - BAB III

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b