PART 3
.
Satu
hari menjelang hari pertamaku kembali ke sekolah, aku habiskan dengan
beristirahat penuh di dalam kamarku yang hangat. Bukan aku yang
menginginkannya, bibi Corinne menyuruhku untuk beristirahat agar aku siap berangkat ke sekolah
baruku esok hari.
Sayangnya berbaring di tempat tidur seharian tidak membuatku
rileks sama sekali. Orang bilang tidur akan membantumu melupakan masalahmu
(untuk sementara mungkin saja). Tapi itu tidak berlaku untukku. Terlalu banyak
yang kupikirkan hingga aku tidak bisa berhenti memikirkannya bahkan dalam
tidurku sekalipun.
Malam
harinya kondisiku malah
semakin memburuk.
Aku sama
sekali tidak bisa memejamkan mataku yang pegal karena overuse. Perasaan gelisah merayapi
benakku, membuat sekujur tubuhku tegang setiap saat, seolah-olah bahaya besar
sedang menungguku di depan.
“Ini benar-benar melelahkan!” keluhku frustasi.
Aku
beranjak dari tempat tidur untuk berdiri di atas lantai berlapis karpet,
menghadap pintu
kaca yang menuju balkon. Aku memandangi langit malam musim dingin yang sama sekali tidak berbintang.
Well, langit malam ini sama
seperti suasana hatiku, kelabu dan suram. Tidak ada setitikpun cahaya
penerang yang mampu memusnahkan dimensi kegelapan yang menyesakkan.
Dinginnya
udara malam yang menyusup masuk melalui ventilasi udara serasa membekukan sarafku, menghentikan aliran
darahku.
Dan
esok hari.
Bisakah aku menjalani semua ini? Memulai kehidupanku yang baru?
Aku
memutar badan untuk melihat bayangan yang dipantulkan oleh cermin rias
di hadapanku.
Oh, aku terlihat seperti mayat hidup dengan kulit pucat yang tidak
menarik sama sekali.
Berat badanku turun drastis dalam sebulan ini, menyisakan tubuh yang kurus dan lemah.
Aku membayangkan diriku sendiri sebagai Gollum, mahkluk
menyedihkan dengan wajah
pucat pasi, bola mata yang seolah-olah hendak menyebul keluar, serta tulang pipi yang menonjol.
Adakah orang yang mau berteman
denganku?
Well, aku
tidak terlalu optimis dengan jawabannya karena di sekolahku yang sebelumnya pun
aku tidak memiliki banyak teman.
Oh,
sudahlah. Aku harus berhenti sebelum aku menjadi gila karena terlalu
banyak berpikir negatif.
“Aku butuh air,” kataku, berbicara kepada bayanganku
sendiri.
Kesunyian yang mengelilingiku membuat perjalanan menuju dapur terasa mencekam. Aku
tidak bisa mendengar apapun selain derap langkahku yang lemah serta detak jarum
jam yang menempel di dinding yang menunjukan pukul satu tengah lama. Aku
merasakan level stress-ku terus meningkat
dalam setiap langkah yang kuambil.
Segelas air putih memang sanggup menyegarkan dahagaku. Tapi tidak
cukup untuk menenangkanku.
Aku mengambil
satu gelas
lagi, lagi dan satu gelas lagi sampai aku merasa terlalu banyak, membuatku tersedak.
“Sedang apa kau?”
Aku tersentak kaget mendengar suara monoton yang sangat aku kenal. Aku menoleh, melihat Ben sedang berdiri di
ambang pintu dapur. Dia mengenakan celana denim
berwarna hitam dengan atasan jaket klub Rugby universitas Auckland berwarna biru dongker. Sepertinya
Ben
baru pulang.
Saat ini Ben sedang kuliah di universitas Auckland,
mengambil jurusan Business School. Tahun ini adalah tahun terakhirnya, yang
berarti dia empat tahun lebih tua dariku. Ben bergabung dalam klub Rugby
universitas Auckland yang sangat prestisius itu. Well, bibi Corinne yang memberitahuku semua itu ketika makan malam
tadi.
“Minum,” jawabku sudah
barang tentu.
Walaupun begitu, aku
bisa
mendengar getaran yang aneh dalam suaraku.
Ben menatapku heran, seolah-olah dia tidak
mengharapkan jawaban itu dariku.
“Di lantai atas ada
dispenser air jika kau memang haus,” katanya masih berdiri di ambang pintu.
Aku
tidak memberikan tanggapan, malah memalingkan wajahku darinya. Aku tidak mau
menunjukan wajahku yang dipenuhi oleh kegelisahan kepada orang lain, apalagi
kepada Ben yang memperlakukanku seperti beban yang merepotkan. Walaupun
kenyataannya memang begitu.
Tanpa
aku
sadari, Ben sudah berdiri di
sampingku. Dia
menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya dengan tenang.
“Apa saja
yang kau lakukan sampai selarut ini?” tanyaku meluncur begitu saja dari mulutku.
“Aku punya banyak tugas yang harus aku kerjakan,”
jawabnya.
“Oh,” gumamku
terdengar seperti orang bodoh.
Lama
waktu berselang, tidak ada satu pun di antara kami yang berbicara,
membuat suasana
menjadi begitu sunyi. Sankin sunyinya aku bisa mendengar hembusan nafas Ben yang teratur sesuai irama.
Berbeda sekali denganku yang terdengar seperti hembusan nafas seorang penderita asma yang
tersendat-sendat.
“Mengapa kau belum tidur?
Bukankah besok kau harus pergi ke sekolah?” tanya Ben.
Aku terkesiap kaget mendengar pertanyaannya. Maksudku sejak awal
aku tidak mempersiapkan diri untuk menerima pertanyaan apapun dari Ben. Karena
sejak kedatanganku kemarin, Ben memperlakukanku seolah-olah aku tidak ada.
”A.. aku hanya sedikit haus. D.. dan aku lupa bahwa di atas
ada dispenser air. Jadi aku kemari,” jawabku kalut. Aku mengutuk diriku
sendiri karena melakukannya.
Ben yang sejak tadi berdiri di sampingku tiba-tiba mengambil langkah untuk berdiri di hadapanku. Bola mata cokelatnya yang sudah terlihat
agak kemerahan karena mengantuk, menatapku.
Aku bisa melihat tatapannya sekarang. Tatapan yang dia
berikan ketika pertama kali kami bertemu. Tatapan yang tidak bisa kumengerti
karena ada banyak emosi yang bergejolak di dalamnya yang akhirnya membuatku
tidak bisa melihat apapun. Tapi aku selalu terkesima ketika melihatnya. Bola
mata cokelat dengan arsir keemasan yang dibingkai oleh bulu mata hitam yang
panjang, terlihat teduh dan tenang, namun dalam saat yang bersamaan juga
terlihat dingin. Aku pernah menganggapnya sebagai tatapan prihatin yang cukup
membuatku kesal waktu itu. Tapi, kuharap aku salah.
“Apa ada sesuatu di wajahku?” tanya Ben tiba-tiba.
Aku tersentak kaget ketika menyadari bahwa aku sudah
terlalu lama menatapnya. Segera aku memalingkan wajahku yang memerah karena malu
darinya.
“Mengkhawatirkan sesuatu itu hanya buang-buang waktu
saja, tidak akan mengubah apapun. Hanya akan mengganggu pikiranmu lalu mencuri
kebahagiaanmu,” kata Ben kemudian.
Aku tidak memiliki kesempatan untuk menanggapi
perkataan Ben karena tiba-tiba dia berjalan meninggalkanku yang masih syok dengan
semua kejadian memalukan barusan.
“Aku mau tidur dan lebih baik kau juga,” katanya
sambil menguap.
Mungkin aku akan tetap diam membatu di tempatku
berdiri jika Ben tidak mematikan lampu dapur, membuat semuannya menjadi gelap. Berada
di dalam ruangan gelap seorang diri adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan
sekarang.
“Hey, tunggu!” seruku panik, berlari mengikutinya.
Aku merasa bersyukur karena setelah kejadian itu entah
bagaimana, akhirnya aku bisa memejamkan mataku.
***
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah baru,
jantungku masih berdetak jauh di atas batas normal, begitupula dengan aliran
nafasku yang saling memburu satu sama lain. Keringat dingin tidak
hentinya menetes membasahi
kening dan telapak tanganku. Mulutku terkunci rapat mencegah keluarnya jeritan ketakutan
yang akan mengagetkan bibi Corinne yang sedang menyetir. Dua puluh menit waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai Royal Vogue High yang terletak di pusat kota
Auckland, di Lorne Street, antara Auckland Central Library dan Aoeta Square.
Dua puluh menit yang sudah cukup untuk membuat sekujur tubuhku lemas.
“Aku akan menjemputmu jam tiga nanti saat pulang
sekolah,” ucap bibi Corinne setelah menghentikan mobilnya, “Dan
jangan lupa untuk menemui wali kelasmu. Temukan gedung utamanya dan tanyakan
ruangan Mr. Goyle kepada resepsionis yang berjaga di lobi,” jelasnya.
Aku
mengangguk mengerti, lalu bergegas turun dari mobil. Ketika aku keluar, gedung mewah nan megah Royal Vogue High langsung
membentang
di hadapanku. Aku mengedipkan mataku berkali-kali, bertanya-tanya
apakah aku berada di tempat yang tepat? Maksudku bangunan dengan
gaya
arsitektur Victorian di hadapanku ini lebih mirip istana
Buckingham dari pada sebuah sekolah.
Perlahan-lahan aku melangkah melewati sebuah gerbang besi raksasa dengan
hiasan berupa perisai segienam berpahatkan tulisan RVH. Yang pertama menarik
perhatianku adalah sebuah jam besar yang menempel di puncak menara. Bentuk jam itu menyerupai
Bigben
yang ada di gedung parlemen Inggris.
Semakin menjorok kedalam yang terhampar di hadapanku adalah halaman sekolah
berumput hijau yang begitu menyegarkan mata. Di tengah-tengahnya terdapat
sebuah kolam air mancur dengan air yang mengalir dari sebuah guci yang diangkut
oleh patung malaikat kecil bersayap. Kemudian dari sudut aku berdiri, aku
bisa melihat
struktur bangunan sekolah ini dengan lebih jelas. Terdapat beberapa gedung yang terpisah
satu sama lain. Gedung utama berada tepat di tengah-tengah bangunan lainnya, memiliki tinggi sekitar
lima
lantai. Di
sebelah kanan dan kiri, sedikit menjorok ke dalam terdapat gedung-gedung lain dengan desain yang
sama namun terlihat sedikit lebih pendek dari gedung utama. Beberapa kaki di
sebelah kanannya lagi terdapat sebuah gedung yang terlihat seperti GOR yang
cukup besar untuk menampung setidaknya lima lapangan bola basket.
Setelah memastikan yang mana gedung utama, aku pun kembali
melangkahkan
kakiku. Di dalam setiap derap langkahku, aku bisa merasakan atmosfer sekolah yang sudah
beberapa bulan
aku
tinggalkan.
Sejauh mata memandang, selain gedung-gedung, pohon-pohon maple yang kehilangan
daunnya, rumput hijau ataupun air mancur, yang kulihat di sekelilingku adalah
orang-orang seusiaku yang sibuk hilir mudik sana sini.
Aku bisa merasakan kelenjar adrenalin dalam tubuhku bergejolak
naik, menaikan tekanan darah dan denyut jantungku seketika.
Oh, it will be a
long day.
***
Aku berdiri di depan pintu dari kayu ek tebal yang
bertuliskan Kantor Wali Kelas Fred Goyle.
Berkat bantuan resepsionis yang berjaga di lobi, tidak sulit bagiku untuk
menemukan kantor wali kelasku yang berada di lantai dua gedung utama.
Aku sudah bersiap mengetuk pintu di depanku ketika tiba-tiba seorang gadis berambut
pirang yang bergelombang
muncul di sampingku membuatku kaget hingga nyaris jatuh tersungkur.
“Hey, maaf,” serunya
menangkap lenganku untuk membantuku berdiri.
Aku menatapnya heran. Sebenarnya aku cukup kesal
dengan tingkah sembrononya yang membuat jantungku hampir copot. Namun ketika
kulihat ada penyesalan yang mendalam di dalam bola mata berwarna biru langit
miliknya, hatiku pun langsung melunak.
“Maafkan aku. Aku tidak sengaja, tadi aku tidak
melihatmu,” pintanya kalut.
“Sudah, tidak apa-apa,“ kataku sambil tersenyum tipis untuk
menunjukan bahwa aku baik-baik saja.
Gadis itu membalas senyumanku, menampilkan deretan
giginya, “Syukurlah,” serunya lega, “Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan di
sini?” tanyanya menatapku dengan penasaran.
“Aku mau menemui wali kelasku,” jawabku
Gadis itu menatapku dengan sebelah alis terangkat,
“Maksudmu Mr. Goyle?” tanyanya bingung.
Aku melirik tulisan yang ada di pintu untuk memastikan
nama wali kelasku, “Iya,” jawabku.
Gadis itu kembali menatapku, kali ini dia terlihat sangat
bingung, “Kalau begitu seharusnya kau berada di kelas XII-B kan?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan, “Sebenarnya, aku murid baru di
sini. Ini hari pertamaku
sekolah,” kataku
menjelaskan.
“Oh, begitu,” seru gadis itu dengan senyuman lebar di wajahnya
yang dihiasi oleh beberapa bintik-bintik merah di sekitar hidungnya, “Pantas
saja aku tidak mengenalimu,”
Kemudian gadis itu mengulurkan tangannya padaku, “Kenalkan, aku Carly,”
Aku menatapnya heran, agak terkesima dengan sikapnya
yang sangat ramah terhadap orang asing, “Panggil aku Irene,”
kataku menjabat tangannya.
“Well, Irene, selamat datang di Royal Vogue High,” seru Carly
ceria.
Entah bagaimana aku bisa merasakan energi positif yang
memancar dari tubuhnya membuatku merasa lebih rileks, “Terimakasih,” kataku
”Bagaimana
kalau kita masuk sekarang?” tanya Carly yang kusambut dengan anggukan kepala
tanda setuju.
Carly sempat membisikkan beberapa hal mengenai Mr. Goyle. Carly bilang selain
sebagai wali kelas, Mr. Goyle juga mengajar matematika. Dan tentu saja dia
sangat pintar dengan angka-angka.
Aku terkejut ketika melihat penampilan Mr.
Goyle yang
tidak terlihat layaknya seperti seorang guru. Mr. Goyle nampak terlalu muda dengan celana slim to
fit dan atasan berupa kemeja hijau tanpa
dasi yang kancing paling atasnya dibiarkan terbuka. Rambutnya yang berwarna
gelap dijambul
ke atas membuat wajahnya yang
tampan
terlihat segar. Kenyataan yang kulihat jauh berbeda dengan apa yang sempat kubayangkan.
“Pagi sir!” sapa Carly terdengar terlalu bersemangat untuk
musim dingin yang mendung.
“Pagi,” balas Mr. Goyle yang
duduk di balik meja
dengan senyuman di wajahnya yang mampu membuat Carly meremas tanganku.
Hey, ada apa dengannya?
Mr. Goyle mempersilahkan
kami masuk dan duduk di kursi yang berada di hadapan mejanya.
“Kau datang pagi sekali, Carly. Ada yang bisa
kubantu?” tanya Mr. Goyle kepada gadis yang duduk di sebelahku.
“Aku ingin memberikan angket yang kemarin tertinggal,”
kata Carly meletakan secarik kertas di meja Mr. Goyle.
Mr. Goyle memeriksa kertas itu sejenak sebelum
meletakannya kembali, kemudian
Mr. Goyle mendaratkan pandanganya kepadaku.
“Oh, iya sir. Dia murid baru di kelas
kita,” kata Carly setelah menyadari tatapan
bingung Mr. Goyle padaku.
Bola mata hijau emerald
milik Mr. Goyle mengamatiku sejenak, “Jadi kau Irene Gilmore siswi pindahan dari Sacred Heart Girls?” tanyanya.
Aku
mengangguk pelan mengiyakan. Aku bisa merasakan Carly terkejut
mendengarnya. Well, Sacred Heart
Girls College adalah sebuah sekolah Katolik menengah atas khusus puteri yang
cukup prestisius di seluruh Selandia Baru. Sekolah itu terkenal dengan kegiatan-kegiatan
yang dimilikinya. Konser musik orkestra dan produksi musikal tahunan adalah
salah satu dari sekian banyak kegiatan yang rutin diselenggarakan setiap tahun.
Kemudian Mr. Goyle tersenyum lebar membuatku bingung, “Kudengar
kau sering mengikuti festival musik?” tanyanya memastikan.
Aku tersentak kaget, terkejut dengan apa yang
dikatakan oleh wali kelasku barusan. Secara naluriah aku menggenggam arloji
rusak pemberian Dad yang tersembunyi
di balik lengan kardigan yang kukenakan. Aku tidak
melewatkan ekspresi
Carly yang menatapku dengan penasaran.
“Tidak
juga,” sergahku, “Tapi dari
mana anda tahu sir?” tanyaku kepada Mr. Goyle yang sedang
mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam file case.
“Nyonya Flyod yang memberitahuku,” kata Mr.
Goyle menyodorkan kertas-kertas yang dikeluarkannya kepadaku.
Aku tersenyum simpul menerima kertas-kertas itu. Well, kuharap bibi Corinne tidak bercerita lebih
dari itu. Kemudian aku mulai mengamati tiga lembar dokumen di hadapanku sebelum
mengeluarkan pulpen untuk mengisi data diri dan beberapa pertanyaan lainnya.
“Carly,” panggil
Mr. Goyle menganggetkan teman baruku yang terlihat melamun, “Antarkan Irene ke
kelas. Aku akan menyusul setelah bel tanda masuk berdering,” ucap Mr. Goyle
yang direspon oleh Carly dengan anggukan kepala.
Komentar
Posting Komentar