Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB V]

PART 9

.

Hari ini adalah hari Minggu yang cerah di akhir musim dingin. Udara yang tertiup oleh angin sudah tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas, rasanya begitu sejuk menyentuh kulitku. Matahari bersinar lebih terang tapi tidak cukup terang untuk membuat mataku silau. Salju-salju dipastikan sudah mencair semua, menyisakan genangan air di jalanan beraspal. Kuncup-kuncup bunga di taman sudah siap merekah menyambut datangnya musim semi.
“Irene, bisa tolong ambilkan raspberi segar di kulkas?” pinta bibi Corinne ketika bibi Corinne dan aku sedang berkutat di dapur untuk membuat berbagai macam cake. Setidaknya sudah tiga macam cake yang keluar dari oven. Sebut saja, Ganache Torte, Geteau Pacan, serta cake Lumpur Coklat. Dari tadi aku terus bertanya-tanya, siapa yang akan menghabiskan semua ini?
“Tunggu sebentar,” kataku mematikan mixer yang kugunakan untuk mengocok mentega, gula dan telur, “Aku tidak bisa menemukan raspberinya,” kataku memberitahu setelah mengecek semua isi kulkas raksasa itu.
“Oh tidak! Kurasa kita kehabisan raspberi!” pekik bibi Corinne panik, “Bagaimana kita bisa menyelesaikan Rolade Krim Beri ini,” katanya mengeluh seraya melangkah mendekati kulkas.
Bibi Corinne mengecek kulkas selama beberapa detik, “Kurasa kita juga kehabisan almond untuk cake yang terakhir,” ucapnya.
“Kalau begitu aku akan pergi ke supermarket untuk membelinya,” usulku.
“Kau? Sendirian?” tanya bibi Corinne meragukan.
 “Aku bisa naik taksi,” kataku.
Bibi Corinne langsung menggelengkan kepala tidak setuju, “Tidak. Kau diantar oleh Ben,” katanya sebelum memanggil Ben yang ada di kamarnya.
Tak lama Ben muncul dengan rambut yang berantakan dan wajah yang kusut. Well, aku merasa agak bersalah karena mengganggu tidurnya.
“Ada apa?” tanya Ben terdengar kesal.
“Kau antarkan Irene pergi ke supermarket,” kata bibi Corinne memerintahkan.
Sesaat Ben melemparkan tatapan dingin kepadaku sebelum menganggukan kepalanya, “Baiklah,” gumamnya malas.
“Sekalian saja kau belikan ini?” kata bibi Corinne memberiku secarik kertas ketika aku sedang membuka apron. Ada banyak bahan makanan yang harus dibeli.
“Kau tidak keberatan kan, sayang?” tanya bibi Corinne.
“Tidak kok,” sahutku.

***

“Bukan yang itu,” kataku kepada Ben.
Aku bisa mendengar Ben mendengus kesal tapi aku menghiraukannya.
“Aku kan sudah bilang, yang kita perlukan tepung terigu bukan tepung roti,” kataku menuturkan lalu menunjuk ke rak paling atas tempat dimana tepung terigu itu berada, “Tuh, yang di sebelahnya. Kau bisa melihatnya kan?”
“Kalau begitu mengapa bukan kau saja yang mengambilnya?” kata ben menggerutu.
Aku memutar bola mataku mendengar komentarnya, “Kalau aku bisa melakukannya sendiri, untuk apa aku meminta bantuanmu. Harus kah kukatakan bahwa aku memiliki tubuh yang jauh lebih pendek darimu,” kataku sarkastis.
Untungnya Ben tidak tertarik untuk menaggapi ucapanku. Namun sesaat aku bisa melihat dahinya mengkerut menahan kesal. Kemudian Ben mengambil tepung terigu yang kumaksud lalu melemparkannya ke dalam troli dengan kasar.
“Bisakah kau tidak melemparnya? Kau bisa merobek bungkusannya,” komentarku tajam.
Ben hanya mengangkat bahunya menanggapi ucapanku. Aku hanya diam mematung melihat tingkahnya. Kurasa Ben benar-benar tidak suka pergi berbelanja bersama denganku.
Aku sedang tenggelam dalam pikiranku sampai Ben mendorong trolinya meninggalkanku.
“Tunggu!” seruku berlari menghampirinya.
“Apa lagi selanjutnya?” tanya Ben.
Sesaat aku mengecek daftar belanjaan, “Tinggal raspberi,” jawabku, “Kau tahu dimana tempatnya?” tanyaku menengok kanan-kiri mencari stand buah-buahan.
Seperti biasa, dengan tidak menjawab pertanyaanku dengan kata-kata yang sepantasanya, Ben mendorong troli yang hampir penuh menuju tempat yang kutanyakan. Ben kemudian berhenti di depan stand makanan kaleng. Firasatku buruk mengenai ini. Benar saja, dia malah memasukan raspberi kalengan ke dalam troli.
“Jangan!” Aku segera menyambar raspberi kalengan itu dan meletakkannya di tempat semula.
Ben menatapku heran, mulutnya berkedut hendak mengatakan sesuatu tapi dia menahannya.
“Yang kita cari raspberi segar. Bukan yang kalengan,” kataku memperingatkan.
“Apa bedanya? Sama-sama raspberi kan?” katanya bingung.
Aku menggelengkan kepala, “Tentu saja berbeda. Makanan kalengan itu mengandung lebih banyak sodium yang tidak baik untuk kesehatan. Lagipula-,“
“Oh, baiklah. Terserah apa maumu,” kata Ben menggertak, memotong penjelasanku yang belum selesai.
Eh.
Stand buah-buahan ada di sebelah sana. Lebih baik sekarang kau yang memilih,” ucap Ben datar menunjuk ke arah stand buah-buahan yang ternyata berada di dekat kasir.
Akan tetapi aku hanya diam mematung di tempatku berdiri. Rasanya dulu aku pernah mengalami kejadian yang sama. Sama persis.

“Selanjutnya apa sayang?” tanya Dad ketika kami sedang berbelanja di sebuah supermarket. Mom tidak ikut karena dia sedang mengikuti arisan keluarga.
“Mom bilang dia ingin membuat fruit cake, kurasa kita harus membeli buah-buahan,” ucapku seraya mengecek daftar bahan-bahan yang harus dibeli melalui ponselku.
“Hmm, pasti enak!” seru Dad antusias, “Tapi, buah-buahan apa saja?”
Aku berpikir sejenak, membayangkan buah apa saja yang ada dalam fruit cake yang biasa dibuat oleh Mom, “Jeruk, kiwi, ceri, dan anggur,” jawabku.
“Ok!” sahut Dad  mendorong trolinya menuju tempat yang kumaksud.
Dad kemudian berhenti di depan stand makanan kaleng.
“Nah, ini dia!” Dad mengambil satu kaleng yang bergambarkan buah-buahan, “Kurasa isinya lengkap dengan semua buah-buahan yang kau sebutkan,” seru Dad.
Tapi sebelum Dad meletakan benda itu ke dalam troli, aku segera merebutnya.
“Tidak boleh Dad!” seruku.
“Loh, kenapa?” tanya Dad heran.
“Mom kan sering bilang, jangan membeli makanan kaleng,” ucapku.
“Memangnya kenapa? Bukannya sama saja ya?” tanya Dad.
“Tentu saja tidak! Makanan kalengan itu mengandung lebih banyak sodium yang tidak baik untuk kesehatan. Mom bilang-,“
“Ok, ok. Baiklah,” seru Dad memotong penjelasanku, “Kau benar-benar cerewet seperti ibumu,” imbuhnya membuatku tersipu malu.
“Daddy!”

“Hey!” seru Ben melambaikan tangannya di depan wajahku membuatku terperanjat kaget.
Aku mendongak menatapnya bingung, “Apa?”
Ben memutar matanya sebelum menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya, “Kau mau pergi ke stand buah-buahan atau tidak?”
Aku terdiam sejenak, berusaha untuk memulihkan kembali kesadaranku, “Ayo,” ucapku akhirnya melangkah menuju stand buah-buahan.
Aku kembali teringat dengan lamunanku barusan. Rasanya senang sekali bisa mengingat peristiwa yang terjadi di masa lalu itu. Sepertinya kejadian itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu. Aku jarang sekali pergi berbelanja bersama Dad, dia terlalu sibuk untuk melakukannya. Mungkin karena itulah kejadian itu terpatri dengan begitu jelas di ingatanku. Namun entah mengapa rasanya dadaku mulai terasa begitu sesak dan sakit. Sakit ketika aku mengetahui bahwa kejadian itu tidak akan pernah terulang lagi. Tidak akan pernah! Alasannya sangat jelas dan mutlak. Karena Dad sudah meninggal. Dia sudah tidak ada lagi di dunia ini.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b