Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB III]


PART 5

.

“Skakmat!” seruku lantang ketika akhirnya aku berhasil menjebak raja hitam milik Dad dengan benteng, bishop  dan menteri putihku.
 Mengetahui dirinya sudah mati langkah, Dad langsung menyapu papan catur  dengan telapak tangannya yang lebar sehingga bidak-bidak yang tersisa berjatuhan. Dad selalu tidak ingin terkalahkan, jadi jelas saja kalau dia kesal. Aku tertawa terpingkal-pingkal melihat tingkahnya.
 “Kau menang karena kau curang, sayang. Kau mencuri kuda dan bishopku diam-diam,” tuding Dad menuduhku.
  “Tidak! Aku tidak mencurinya! Jelas-jelas tadi Dad melihat menteriku memakan mereka semua!”  sergahku membela diri.
“Benarkah? Rasanya tadi Daddy tidak melihatnya,” sahut Dad keras kepala.
“Aku tidak mencurinya!” seruku bersikukuh.
“Sayang-“
“Stop! Hentikan perdebatan tidak penting kalian. Sekarang istirahatkanlah bidak-bidak itu dan tutup papan caturnya. Makan siang sudah siap,” suara tegas tapi lembut ciri khas Mom sukses memotong perkataan Daddy.
“Yay! Ayo kita makan!” seruku menghamburkan bidak-bidak yang tadi menepi di pangkuanku dan berlari begitu saja tanpa membereskannya karena kuyakin Dad akan melakukannya untukku.
“Irene, jangan lari terlalu cepat nanti kau bisa jatuh!” seru Dad selalu terlalu khawatir.
Aku tidak mengindahkan perkataan Dad dan terus berlari menghampiri Mom yang sedang menata meja makan di dapur. Mom menggulung rambut cokelat panjangnya dengan sumpit bambu, sesuatu yang selalu dilakukan Mom setiap kali bekerja di dapur.
“Mom!” seruku.
“Apa sayang?” tanya Mom dengan perhatian yang masih tertuju pada meja makan.
“Mom,” ucapku seraya menarik-narik rok Mom untuk mendapatkan perhatiannya. Dan aku berhasil.
Mom menghentikan pekerjaannya sebelum tersenyum padaku. Mom berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya denganku. Mom mengecup pipiku lemvut sebelum menatapku  dengan sepasang bola mata cokelatnya yang teduh.
“Ada apa sayang?” tanyanya mengelus-elus rambutku.
“Aku berhasil mengalahkan Daddy, tapi Daddy tidak terima,” kataku kesal.
Mom tertawa ringan. Tawanya terdengar begitu merdu hingga membawa kedamaian dalam hatiku, “Begitulah sifat ayahmu sayang. Kalau sudah besar kau tidak boleh sepertinya ya?”
Aku menatap Mom bingung, “Kenapa tidak boleh?” tanyaku, ”Bukankah Daddy pintar? Daddy bisa mengerjakan semua PRku yang sulit.”
Mom kembali tertawa menampilkan deretan gigi putihnya yang indah, “Maksud Mom, kau tidak boleh meniru sikap keras kepalanya itu. Tentu kau boleh menjadi orang sepintar Daddy nanti,” katanya menuturkan, membuatku mengerti.
Tak lama Dad menghambur masuk ke dapur sambil menggulung lengan bajunya hingga siku, kebiasaan yang selalu dilakukan Dad, “Apa kalian sedang membicarakan kekalahanku?” tanyanya, “Inikan baru pertama kalinya Daddy kalah. Lain kali Daddy tidak akan kalah lagi,” imbuhnya membuat aku dan Mom tertawa berbarengan.

Suara alarm kemudian berhasil mengakhiri mimpi indahku. Tepatnya itu adalah mimpi yang memutar kembali peristiwa yang terjadi ketika aku masih kecil, sepertinya ketika aku berumur tujuh tahun. Aku langsung membuka mataku walau enggan karena aku bisa terlambat ke sekolah jika aku tidak bergegas. Akan tetapi aku tidak mau menyelesaikan mimpi indah yang akhirnya muncul juga.
Sungguh!
Aku nyaris putus asa menantikan kemunculan sesuatu yang indah dalam kembang tidurku. Aku sudah muak dengan mimpi buruk yang itu-itu saja. Seandainya aku bisa berkompromi dengan siapa pun atau apa pun itu yang memiliki kuasa atas dunia mimpiku, aku rela menyogoknya dengan seluruh uang yang kumiliki di buku tabunganku.
Aku kembali memejamkan mataku, berharap agar terbenam dalam tidur nyenyak dan kembali ke dimensi mimpiku. Sayangnya itu tidak berhasil. Yang ada aku malah kembali teringat dengan kecelakan itu. Potret wajah berlumuran darah Mom dan Dad kembali muncul di otakku.

***

“Ben,” panggilku pelan.
Ben yang berdiri di hadapan mobilnya, menatapku melalui bahunya yang bidang. Aku menggigit bibir bawahku, mengutuk seluruh dunia ketika mengetahui bahwa Ben yang akan mengantarku ke sekolah hari ini. Bibi Corinne tidak bisa mengantarku, pagi-pagi sekali dia sudah pergi ke kantor setelah dijemput oleh Ms. Anne, asisten pribadinya yang masih muda dan sangat cantik.
“Aku bisa naik bus jika kau tidak bisa mengantarku,” kataku merendahkan pandanganku, menolak untuk melihatnya.
“Kau yakin?” tanya Ben skeptis.
Aku mendongak menatap Ben yang sedang membuka pintu bagasi untuk memasukan peralatan olahraganya. Well¸ klub Rugby universitas Auckland akan bertanding di stadion Eden Park nanti siang. Sebagai pemain andalan, Ben sudah pasti akan ikut bertanding. Aku tidak bisa membayangkan betapa padat jadwalnya hari ini. Oleh karena itu aku tidak mau dia mengantarku.
“Kau tidak usah khawatir, kampusku dan sekolahmu itu searah, jadi kau tidak merepotkanku. Lagipula kau akan terlambat ke sekolah jika naik bus di jam seperti ini,” kata Ben.
Apa yang Ben katakan memang terdengar logis, tapi tetap terdengar tidak benar untukku. Maksduku, aku tahu Ben tidak menyukaiku, dia menganggapku merepotkan. Dan hal terakhir yang ingin kulakukan adalah menjadi penghalang untuk Ben menjalankan aktivitasnya.
Oh, sampai kapan Ben sanggup bertahan tinggal satu rumah dengan pengganggu sepertiku?
“Ayo naik,” instruksi Ben yang sudah duduk di jok pengemudi.
Dua puluh menit kemudian Ben menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang Royal Vogue High yang sudah ramai dipenuhi oleh orang-orang yang baru berdatangan.
“Jam berapa kau pulang?” tanya Ben ketika aku sedang berusaha untuk melepas sabuk pengaman.
Aku menatap Ben sekilas, “Jam tiga,” jawabku ragu-ragu.
Ben terdiam sejenak seperti sedang memikirkan sesuatu. Dalam hati aku berterimakasih kepada Ben karena kali ini dia mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Dibandingkan dengan apa yang Ben lakukan ketika menjemputku di rumah sakit Waikato, dia jelas telah banyak berubah.
“Apa kau juga yang akan menjemputku?” tanyaku kemudian.
Butuh waktu lama sebelum Ben menganggukkan kepalanya.
“Kau tidak perlu menjemputku jika kau sibuk. Aku bisa pulang dengan bus,” kataku mengambil keputusan.
Jika Ben tidak bisa mengatakannya secara langsung, maka aku yang akan mengatakannya.
Melihat tidak ada tanggapan dari Ben, aku pun segera membuka pintu mobil.
“Hey, mungkin akan sedikit terlambat,” kata Ben tiba-tiba.
Aku menoleh, melihat Ben memasang ekspresi wajah yang tidak aku mengerti. Aku tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan sebelum menutup pintu mobilnya.

***

“Pagi,  Irene!” sapa Carly ketika aku  memasuki kelas XII B yang masih sepi.
“Pagi,” kataku membalas.
“Kau bawa partitur lagunya?” tanya Carly setelah aku duduk  di bangku.
Aku mengangguk lalu membuka tasku untuk mencari map yang berisi partitur lagu-lagu George Winston yang sudah kusiapkan semalam.
“Ini, kau boleh memilikinya jika kau mau, kebetulan aku punya salinannya,” kataku menyerahkan mapnya.
“Benarkah?” tanya Carly memastikan.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Terimakasih!” ungkapnya gembira, “Kau tahu, sepertinya ibuku benar-benar tidak tahu George Winston. Kemarin dia bertanya, ‘Bukankah dia politisi yang bunuh diri karena kalah dalam pemilu dewan kota?’ konyol kan!”  
Aku hanya terkekeh mendengar ocehan Carly yang ternyata masih terus berlanjut. Sebenarnya aku tidak benar-benar menyimak apa saja yang dia katakan sampai dia berhenti ketika guru datang.
“Kita lanjutkan perbincangan panas kita nanti ya!” seru Carly sebelum beringsut menuju tempat duduknya.
Kemudian semuanya menjadi buram untukku. Aku kembali tidak menyimak apapun itu yang diucapkan oleh entah siapa guru fisika yang ada di depan kelas. Pikiranku tidak ada di kelas ini. Sekali lagi aku teringat dengan mimpi indahku tadi malam. Mimpi yang memutar kembali peristiwa yang terjadi di masa lalu yang indah.
Aku sering menghabiskan waktu bersama Dad dengan bermain catur atau bermain game. Dad adalah si jenius yang maniak game! Jika sedang senggang dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game. Dia baru akan berhenti jika Mom memarahinya. Kurasa sah-sah saja jika orang seperti Dad melakukan itu, dia butuh hiburan untuk melepaskan penat dari beban pekerjaannya. Dan aku selalu senang jika Dad mengajakku untuk bermain bersamanya.
“Apa kau anggota physicshaters?” tanya Dylan yang tiba-tiba mendongakkan wajahnya  di hadapanku.
Nyaris saja aku teriak sankin kagetnya, “Apa itu physicshaters?” tanyaku kesal.
“Itu nama fandom di internet yang berisi orang-orang pembenci mata pelajaran fisika,” katanya menjelaskan dengan wajah yang mengarah kepada guru wanita berambut keriting liar yang sepertinya sedang dalam proses mengabsensi kelas. 
“Tidak juga,” gumamku, “Maksudku aku tidak begitu membencinya sampai aku harus bergabung dengan fandom konyol yang paling-paling hanya siasat untuk mengumpulkan orang-orang yang cukup bodoh untuk ditipu,” kataku tanpa benar-benar mengerti dengan apa yang sebenarnya kukatakan.
“Ditipu?” tanyanya menatapku dengan dahi yang mengkerut.
“Kau bisa menghancurkan hidup seseorang jika kau mendapatkan alamat email orang tersebut. Kebanyakan fandom- fandom dibuat untuk mengumpulkan alamat email orang untuk kemudian ditipu. Misalnya dengan undian berhadiah melalu email. Masa kau tidak tahu sih?” kataku terdengar terlalu emosional.
Ada apa denganku?
Aku bisa mendengar Dylan terkekeh lalu dia kembali menatapku, “Jangan-jangan kau pernah mengalaminya ya?” tanyanya menantang.
Aku langsung menggelengkan kepalaku, “Tentu saja tidak. Aku tidak pernah bergabung dengan fandom manapun,” kataku ketus.
Kali ini Dylan tertawa menarik perhatian guru wanita berambut keriting liar itu.
“Apa kau Irene Gilmore?” tanyanya dengan suara horror yang sukses membuat suasana kelas menjadi hening sehingga seluruh mata tertuju padaku.
Aku hanya mengangguk pelan. Di depanku, Carly memutar badannya untuk melihatku. Dia memasang ekspresi wajah yang tidak kumengerti.  
“Lantas mengapa tadi kau tidak menyahut ketika namamu dipanggil?” tanya sang guru terdengar marah.
Tapi aku tidak mengerti mengapa dia harus marah kepadaku. Bukankah tadi Dylan yang berulah?
“Maaf, sepertinya tadi aku tidak mendengar,” kataku berusaha untuk tetap tenang.
Guru itu kembali menatapku dengan tatapan yang mulai membuatku merinding.
“Apa yang membuatmu tidak mendengarkan panggilanku?” tanyanya menantang sebelum beralih menatap Dylan, “Apa kau sibuk berbincang-bincang dengan teman di sebelahmu?”
 Sebelum aku sempat menyahut tiba-tiba Dylan berdeham meminta perhatian, “Maafkan aku, sebenarnya aku yang mengganggunya. Dia tidak mendengar panggilan anda karena aku terus mengajaknya bicara,” kata Dylan terdengar santai seolah-olah mereka sedang duduk di teras sambil minum kopi.
Aku melirik Dylan. Aku melihat bibirnya berkedut sebelum membentuk senyuman tidak berdosa ketika dia menyadari tatapanku padanya.
Apa maksud semua itu?
Jangan-jangan Dylan mengetahui ketika guru itu memanggil namaku lalu sengaja tidak memberitahuku. Dia sengaja ingin membuat guru itu marah padaku.
“Baiklah, aku juga tidak punya waktu untuk memberimu detensi. Tapi jangan pernah mengulanginya lagi. Konsentrasi itu patut diterapkan dalam setiap situasi. Mengerti?” kata sang guru.
Aku mengangguk pelan lalu aku melemparkan tatapan kesal kepada Dylan. Tapi dia malah menaruh jari telunjuk di bibirnya, melarangku untuk berbicara.

Sssttt, singa itu bisa menerkammu jika kau mengganggunya lagi,” bisiknya sebelum menyunggingkan senyuman tidak berdosa yang mulai membuatku muak.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b