PART 16
.
Setelah pertunjukanku, aku tidak melihat Ben lagi.
Awalnya kupikir dia pulang duluan karena tidak betah berada di tempat yang
terlalu ramai dan berisik. Terlebih lagi Ben menarik terlalu banyak perhatian orang-orang
yang mengenalnya sebagai the infamous
forward dari klub rugby Universitas Auckland, yang sedang diincar oleh
klub-klub profesional untuk bermain di NRL (National Rugby League).
Kupikir Ben sudah mengambil resiko untuk datang kemari.
Tapi Ben melakukannya untukku. Well,
dia menghadiri acara ini sebagai waliku untuk menggantikan bibi Corinne. Tentu
saja tidak semua orang mengetahui hal itu. Orang-orang selain Mr Goyle, Dylan, Carly
dan Luke mungkin mengira Ben datang sebagai alumni atau apalah itu. Tidak ada
juga yang peduli dengan alasan kedatangannya. Yang penting mereka bisa melihat sosoknya
yang tampan mempesona secara lebih dekat.
Ok, baiklah, aku terlalu banyak memujinya.
“Apakah Ben
benar-benar menunggumu di sini?” tanya Dylan yang berjalan begitu dekat di
sampingku hingga tangan kami saling bersentuhan.
“Iya, dia memberitahuku lewat pesan yang dia kirim,”
kataku.
Dylan mengangguk mengerti, “Mungkin dia sedang dalam
perjalanan kemari,” katanya.
Dylan yang selalu keras kepala, bersikeras ingin
menemaniku menuju lapangan parkir yang redup untuk menemui Ben. Seperti yang tadi
kukatakan, Ben yang kupikir sudah pulang, mengirimku pesan yang mengatakan
bahwa dia akan menungguku di lapangan parkir sekolah setelah acara selesai,
agar kami bisa pulang bersama-sama. Tapi Ben tidak ada dimana pun ketika aku
sampai di sana.
“Ngomong-ngomong,
pertunjukan kalian tadi sangat menakjubkan,” kata Dylan mengalihkan perhatianku.
Aku menoleh, melihat Dylan sedang tersenyum lebar
memperlihatkan gigi-giginya, “Terimakasih,” ungkapku.
“Dan kau benar-benar cantik, kau tahu itu,” kata Dylan
kemudian membuatku terkesiap.
Aku melihat Dylan sedang memasang ekspresi wajah yang
aneh. Walaupun dikelilingi oleh keremangan yang membuatku sulit untuk melihat
dengan jelas, aku masih bisa melihat semburat merah di wajahnya yang
kecokelatan.
Well,
sepertinya Dylan mulai bersikap seperti Luke.
Aku hendak mengatakan sesuatu mengenai hal itu ketika
aku melihat Dylan menatapku dengan sepasang bola mata biru samudera miliknya
yang berbinar-binar, membuatku bingung hingga tidak bisa berkata-kata. Kemudian
aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipiku, membuat tubuhku menjadi
kaku seketika.
“Irene,” panggil Dylan pelan hampir menyerupai bisikan
yang membuatku merasa tegang.
Saat itulah aku menyadari bahwa jari-jari Dylan sedang
mengelus-elus pipiku yang terasa dingin dibandingkan dengan sentuhannya yang
hangat.
“Irene,” panggil Dylan lagi kali ini lebih keras.
Aku termangu-mangu ketika menangkap sesuatu yang
berbeda dari cara Dylan menyebut namaku. Seolah-olah namaku aman berada di
dalam mulutnya yang sedang tersenyum. Tapi kali ini bukan senyuman lebar yang
menjadi ciri khasnya.
“Kau tahu, saat ini aku tidak bisa mengingat apa yang
terjadi kemarin. Dan aku tidak peduli apa yang akan terjadi besok. Saat ini
adalah segelanya,”
Aku tidak mengerti apa yang Dylan katakan. Tapi
tatapan yang dia berikan padaku saat ini memberikanku pengertian lain yang
membuatku tidak yakin kapan semua itu terjadi. Bahkan kapan semua itu dimulai.
Semua yang aku tahu adalah bahwa saat ini dan di sini, Dylan menunjukan
kepadaku apa yang selama ini Carly pikirkan. Awalnya aku memang tidak percaya,
tapi sekarang aku mengerti karena aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Hanya saja aku merasa bahwa apapun yang sedang terjadi
di antara kami itu tidak benar. Jari-jari Dylan yang menyentuh pipiku membuatku
merasa tidak nyaman. Seolah-olah sentuhannya terlalu panas untukku hampir
menyebabkan luka bakar. Berbeda sekali rasanya ketika Ben yang melakukannya.
Aku mengingat dengan baik bagaimana jari-jari Ben menyentuh pipiku untuk
menghapus air mataku. Sensasi yang kurasakan saat itu berbeda dengan saat ini.
Oh, apa yang sedang kupikirkan? Mengapa aku
membanding-bandingkan Dylan dengan Ben?
Tiba-tiba Dylan menarik tangannya, dia memalingkan
wajahnya yang memerah dariku untuk mencegahku melihat ekspresinya. Aku baru
menyadari betapa dekat posisi kami ketika Dylan mengambil beberapa langkah
mundur untuk menjauh dariku.
Mungkinkah Dylan bisa merasakan kerisauanku di bawah
sentuhannya?
“Dimana Ben?” tanya Dylan kemudian.
Entah mengapa suara Dylan terdengar jauh padahal dia
berdiri hanya beberapa langkah dariku. Tak lama aku mendengar seseorang datang
mendekat. Tidak perlu penyinaran yang baik untuk aku mengenali sosok Ben yang sedang
berjalan menghampiri kami.
“Ayo kita pulang,”
kata Ben ketika dia melihatku.
Aku mengangguk pelan lalu mengerling untuk melihat Dylan
hanya diam mematung.
“Kau membawa mobilmu sendiri atau kau ingin ikut
bersama kami?” tanya Ben kepada Dylan.
Dylan menggelengkan kepalanya, “Tidak usah, aku bawa
mobilku sendiri,” katanya.
Ben mengangguk lalu mengajakku untuk mengikutinya,
“Ayo,”
“Sampai jumpa,” kataku pamit kepada Dylan sebelum menyusul
Ben.
Aku tidak menoleh ketika Dylan membalas. Entahlah,
sesuatu mencegahku untuk melakukannya. Saat ini perhatianku hanya tertuju pada
Ben yang berjalan begitu cepat di depanku. Aku bertanya-tanya, apakah Ben akan
memperlambat kecepatannya jika kubilang aku ingin berjalan berdampingan
dengannya?
***.
Ketika aku membuka mataku keesokan paginya, aku merasa
kepalaku seolah-olah berputar, sekujur tubuhku kaku dan pegal-pegal terutama di
bagian pergelangan tangan dan bahu. Oh, aku benar-benar merasa kelelahan! Aku
bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk beranjak dari tempat tidur.
Well,
kemarin adalah hari yang melelahkan dan menguras tenaga serta pikiran. Aku
ingat bangun di pagi-pagi buta untuk mengikuti geladiresik di sekolah, membantu
mengangkut alat-alat musik yang berat dari studio musik sampai auditorium lalu
pergi ke rumah Carly yang berjarak setengah jam dari sekolah untuk melakukan
persiapan.
Aku mengerang sambil merentangkan kedua tanganku
lebar-lebar di udara untuk mengurangi ketegangan otot-ototku. Aku melirik jam
dinding di hadapanku yang menunjukan hampir pukul tujuh. Well, sepertinya kelelahan tidak membuatku tidur terlalu lama. Memutuskan
untuk tidak membuang-buang waktu, aku pun turun dari tempat tidur untuk memulai
hari.
Ketika aku mengintip kamar tidur Ben dari balik pintu
kamarku, kulihat pintu kamarnya masih tertutup rapat. Sebenarnya kamar itu memang
selalu tertutup, tapi kupikir mungkin Ben masih tidur. Aku berjalan
pelan-pelan, menuruni tangga, menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Ngomong-ngomong bibi Corinne belum pulang dari
perjalanan bisnisnya yang berarti aku harus menyiapkan sarapan untukku dan Ben.
Setiap kali bibi Corinne berpergian ke luar kota atau kemana pun itu yang
memakan waktu, aku selalu diberi tugas untuk menyiapkan makanan karena aku sudah
terbiasa memasak.
Aku sedang mengiris daun bawang untuk membuat omelet ketika
aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Tiba-tiba dari belakang muncul
tangan yang hendak meraih gelas yang berada di depanku.
Nafasku serasa terhenti di tenggorokan ketika aku
menghirup aroma yang keluar dari tubuh Ben. Aku baru benar-benar menyadarinya
sekarang. Ben tercium seperti perpaduan antara daun mint dan citrus yang mendatangkan sensasi aneh yang membuat perutku
kejang serta sekujur tubuhku seolah-olah melayang.
“Aww!”
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu Ben
yang berdiri di belakangku langsung meraih tanganku yang meneteskan darah
begitu banyak sampai berlumuran di sekitar telapak tangaku yang pucat.
“Apa yang kau lakukan?!” tanya Ben marah dengan
matanya yang melotot padaku.
Aku tidak tahu!
Tapi aku tidak mengatakannya. Aku tercengang melihat
reaksi yang ditunjukan oleh Ben. Maksduku untuk apa Ben marah-marah? Aku yang
melukai diriku sendiri, aku tidak melakukan apapun padanya yang bisa membuatnya
marah padaku.
Ben mengambil lap bersih yang tergeletak di counter untuk menutupi goresan sumber
darah.
“Pegang ini, kuambikan kotak P3K dulu,” instruksi Ben
sebelum pergi.
Tapi aku tidak merasa sakit karena luka di tanganku.
Saat ini seolah-olah kabut menghilang dari pandanganku, membuatku melihat dan
memahami bagaimana sebenarnya perasaanku kepadaku Ben.
“Hey,
apa kau pernah jatuh cinta?”
“Belum
pernah,”
“Cepat
atau lambat seseorang akan memasuki kehidupanku. Aku hanya harus menunggu
sampai saat itu tiba. Aku percaya bahwa cinta semua orang ada di luar sana.
Beberapa hanya sedang terjebak macet dalam perjalanan mereka untuk menemukan
kita,”
Well, aku
tidak mengerti mengapa kejadian barusan mengingatku pada percakapanku dengan
Carly beberapa minggu yang lalu. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa mungkin
saat itu telah tiba. Saat ketika akhirnya aku jatuh cinta. Saat ketika
seseorang memasuki kehidupanku juga memasuki ruang hatiku.
Sepertinya cinta tidak muncul dengan banyak tanda
peringatan. Aku jatuh terperosok ke dalamnya seperti didorong dari papan loncat
yang tinggi. Tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ini
adalah kejadian yang tidak bisa dihindari. Aku tidak bisa mengendalikannya.
Seperi saat ini, saat jantungku berdetak begitu cepat
seolah-olah aku baru saja turun dari roller-coaster ketika aku melihat Ben kembali
dengan menenteng kotak P3K.
“Duduk,” perintah Ben menunjuk pada salah satu kursi
di meja makan.
Aku kembali merasakan sensai yang aneh di perutku
ketika aku melangkah mendekati Ben. Cara Ben menatapku saat ini, antara marah,
kesal dan kasihan, membuat perutku kejang hingga aku merasa mual. Aku bisa
merasakan panas mulai merayapi tubuhku sampai wajahku. Oh, inilah yang kualami
setiap kali aku merasa gugup.
“Kau mengiris tanganmu sendiri dengan cukup dalam,”
kata Ben ketika dia memeriksa lukaku.
Aku tidak menanggapi komentar Ben. Aku sedang berusaha
keras untuk mengendalikan perasaanku dari tangannya yang memegang tanganku serta
tatapannya yang melekat padaku. Oh, itu mustahil untuk kulakukan!
Ben membersihkan darah yang belepotan di tanganku
dengan kapas yang diberi alkohol sebelum membalut lukanya dengan plester.
“Sudah selesai,” kata Ben.
Aku melihat senyuman tipis mengembang di wajah Ben yang
menunjukan bahwa dia puas dengan hasil kerjanya.
“Terimakasih,” ungkapku.
Ben menatapku dengan sepasang bola mata cokelatnya
yang memerah. Mungkin karena Ben kurang tidur atau dia masing mengantuk.
“Lain kali harus lebih hati-hati,” katanya
memperingatkan.
Aku mengangguk-angguk patuh. Kupikir setelah itu Ben
akan segera pergi meninggalkanku, tapi dia malah menatapiku seolah-olah ada
sesuatu di wajahku yang menarik perhatiannya.
“Kau terlihat semakin dekat dengan Dylan,” kata Ben
tiba-tiba membuatku terkesiap.
“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.
Aku masih mengingat apa yang terjadi antara aku dan
Dylan semalam di lapangan parkir sekolah.
Oh no! Jangan-jangan
Ben melihat semua itu?!
Ben menatapku terlalu lama, seolah-olah berusaha untuk
membaca pikiranku. Aku bisa merasakan wajahku memanas di bawah tatapannya.
Merasa tidak sanggup lagi menerima tatapannya yang
membuat hatiku lumer, akhirnya aku menundukan kepalaku pasrah.
“Hey, sesuatu terjadi di antara kau dan Dylan?”
Oh, sialan kau Ben! Seharusnya aku tahu, Ben bisa
membacaku seperti buku terbuka.
“Tidak ada terjadi di antara kami!” sergahku.
Ben nampak terkejut dengan jawabanku, atau mungkin dia
terkejut mendengarku meneriakinya. Tapi Ben tidak menanggapi ucapanku.
Oh, siapa yang bertanya dan siapa yang tidak mau
mendengar jawabannya?
Terkadang Ben bisa benar-benar menyebalkan!
Ben mulai membereskan kotak P3K-nya, menunjukan bahwa
dia sudah selesai berbicara denganku. Aku tetap duduk mematung di kursiku
ketika Ben pergi meninggalkan dapur.
Aku baru saja hendak mengulang semua proses memasak
sarapan ketika aku mendengar pintu depan terbuka. Kupikir Ben yang membukanya
sampai aku mendengar suara Taylor yang memanggil-manggil nama Ben dengan panik.
“Ben!” panggil Taylor beberapa kali.
Aku bergegas keluar dari dapur untuk menjumpai Taylor
yang terdengar terburu-buru dari cara dia memanggil ben.
“Taylor!” seruku berusaha untuk memanggilnya.
Aku menemukan Taylor berdiri sempoyongan di tengah-tengah ruang keluarga
dengan rambut pirang stoberinya yang berantakan seolah-olah dia tidak sempat
menyisirnya.
“Taylor?” gumamku bingung.
Taylor menatapku dengan wajah kecokelatannya yang pucat. Bibirnya
gemetar, bola mata hijaunya dipenuhi oleh ketakutan dan kepanikan yang
membuatku tercengang. Aku belum pernah melihat Taylor seperti itu
“Irene, dimana Ben?” tanyanya terdengar panik dan putus asa.
“Ada apa Taylor?” tanyaku khawatir sambil berjalan mendekatinya.
Entah mengapa mendadak aku merasa sangat gelisah seolah-olah sesuatu
yang buruk akan segera terjadi.
Taylor seolah-olah membatu di tempatnya. Lalu tiba-tiba tangisnya pecah
membuatku semakin panik. Sebelum aku sempat berpikir, Taylor berlari
menghampiriku lalu memelukku dengan begitu erat hampir membuatku tersedak.
“Bibi,” gumamnya pelan di tengah isakan, “Bibi Corinne terkena serangan
jantung,” sambungnya membuat kakiku gemetar hingga aku merosot duduk di lantai.
END - BAB VIII
Setelah pertunjukanku, aku tidak melihat Ben lagi.
Awalnya kupikir dia pulang duluan karena tidak betah berada di tempat yang
terlalu ramai dan berisik. Terlebih lagi Ben menarik terlalu banyak perhatian orang-orang
yang mengenalnya sebagai the infamous
forward dari klub rugby Universitas Auckland, yang sedang diincar oleh
klub-klub profesional untuk bermain di NRL (National Rugby League).
Kupikir Ben sudah mengambil resiko untuk datang kemari.
Tapi Ben melakukannya untukku. Well,
dia menghadiri acara ini sebagai waliku untuk menggantikan bibi Corinne. Tentu
saja tidak semua orang mengetahui hal itu. Orang-orang selain Mr Goyle, Dylan, Carly
dan Luke mungkin mengira Ben datang sebagai alumni atau apalah itu. Tidak ada
juga yang peduli dengan alasan kedatangannya. Yang penting mereka bisa melihat sosoknya
yang tampan mempesona secara lebih dekat.
Ok, baiklah, aku terlalu banyak memujinya.
“Apakah Ben
benar-benar menunggumu di sini?” tanya Dylan yang berjalan begitu dekat di
sampingku hingga tangan kami saling bersentuhan.
“Iya, dia memberitahuku lewat pesan yang dia kirim,”
kataku.
Dylan mengangguk mengerti, “Mungkin dia sedang dalam
perjalanan kemari,” katanya.
Dylan yang selalu keras kepala, bersikeras ingin
menemaniku menuju lapangan parkir yang redup untuk menemui Ben. Seperti yang tadi
kukatakan, Ben yang kupikir sudah pulang, mengirimku pesan yang mengatakan
bahwa dia akan menungguku di lapangan parkir sekolah setelah acara selesai,
agar kami bisa pulang bersama-sama. Tapi Ben tidak ada dimana pun ketika aku
sampai di sana.
“Ngomong-ngomong,
pertunjukan kalian tadi sangat menakjubkan,” kata Dylan mengalihkan perhatianku.
Aku menoleh, melihat Dylan sedang tersenyum lebar
memperlihatkan gigi-giginya, “Terimakasih,” ungkapku.
“Dan kau benar-benar cantik, kau tahu itu,” kata Dylan
kemudian membuatku terkesiap.
Aku melihat Dylan sedang memasang ekspresi wajah yang
aneh. Walaupun dikelilingi oleh keremangan yang membuatku sulit untuk melihat
dengan jelas, aku masih bisa melihat semburat merah di wajahnya yang
kecokelatan.
Well,
sepertinya Dylan mulai bersikap seperti Luke.
Aku hendak mengatakan sesuatu mengenai hal itu ketika
aku melihat Dylan menatapku dengan sepasang bola mata biru samudera miliknya
yang berbinar-binar, membuatku bingung hingga tidak bisa berkata-kata. Kemudian
aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipiku, membuat tubuhku menjadi
kaku seketika.
“Irene,” panggil Dylan pelan hampir menyerupai bisikan
yang membuatku merasa tegang.
Saat itulah aku menyadari bahwa jari-jari Dylan sedang
mengelus-elus pipiku yang terasa dingin dibandingkan dengan sentuhannya yang
hangat.
“Irene,” panggil Dylan lagi kali ini lebih keras.
Aku termangu-mangu ketika menangkap sesuatu yang
berbeda dari cara Dylan menyebut namaku. Seolah-olah namaku aman berada di
dalam mulutnya yang sedang tersenyum. Tapi kali ini bukan senyuman lebar yang
menjadi ciri khasnya.
“Kau tahu, saat ini aku tidak bisa mengingat apa yang
terjadi kemarin. Dan aku tidak peduli apa yang akan terjadi besok. Saat ini
adalah segelanya,”
Aku tidak mengerti apa yang Dylan katakan. Tapi
tatapan yang dia berikan padaku saat ini memberikanku pengertian lain yang
membuatku tidak yakin kapan semua itu terjadi. Bahkan kapan semua itu dimulai.
Semua yang aku tahu adalah bahwa saat ini dan di sini, Dylan menunjukan
kepadaku apa yang selama ini Carly pikirkan. Awalnya aku memang tidak percaya,
tapi sekarang aku mengerti karena aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Hanya saja aku merasa bahwa apapun yang sedang terjadi
di antara kami itu tidak benar. Jari-jari Dylan yang menyentuh pipiku membuatku
merasa tidak nyaman. Seolah-olah sentuhannya terlalu panas untukku hampir
menyebabkan luka bakar. Berbeda sekali rasanya ketika Ben yang melakukannya.
Aku mengingat dengan baik bagaimana jari-jari Ben menyentuh pipiku untuk
menghapus air mataku. Sensasi yang kurasakan saat itu berbeda dengan saat ini.
Oh, apa yang sedang kupikirkan? Mengapa aku
membanding-bandingkan Dylan dengan Ben?
Tiba-tiba Dylan menarik tangannya, dia memalingkan
wajahnya yang memerah dariku untuk mencegahku melihat ekspresinya. Aku baru
menyadari betapa dekat posisi kami ketika Dylan mengambil beberapa langkah
mundur untuk menjauh dariku.
Mungkinkah Dylan bisa merasakan kerisauanku di bawah
sentuhannya?
“Dimana Ben?” tanya Dylan kemudian.
Entah mengapa suara Dylan terdengar jauh padahal dia
berdiri hanya beberapa langkah dariku. Tak lama aku mendengar seseorang datang
mendekat. Tidak perlu penyinaran yang baik untuk aku mengenali sosok Ben yang sedang
berjalan menghampiri kami.
“Ayo kita pulang,”
kata Ben ketika dia melihatku.
Aku mengangguk pelan lalu mengerling untuk melihat Dylan
hanya diam mematung.
“Kau membawa mobilmu sendiri atau kau ingin ikut
bersama kami?” tanya Ben kepada Dylan.
Dylan menggelengkan kepalanya, “Tidak usah, aku bawa
mobilku sendiri,” katanya.
Ben mengangguk lalu mengajakku untuk mengikutinya,
“Ayo,”
“Sampai jumpa,” kataku pamit kepada Dylan sebelum menyusul
Ben.
Aku tidak menoleh ketika Dylan membalas. Entahlah,
sesuatu mencegahku untuk melakukannya. Saat ini perhatianku hanya tertuju pada
Ben yang berjalan begitu cepat di depanku. Aku bertanya-tanya, apakah Ben akan
memperlambat kecepatannya jika kubilang aku ingin berjalan berdampingan
dengannya?
***.
Ketika aku membuka mataku keesokan paginya, aku merasa
kepalaku seolah-olah berputar, sekujur tubuhku kaku dan pegal-pegal terutama di
bagian pergelangan tangan dan bahu. Oh, aku benar-benar merasa kelelahan! Aku
bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk beranjak dari tempat tidur.
Well,
kemarin adalah hari yang melelahkan dan menguras tenaga serta pikiran. Aku
ingat bangun di pagi-pagi buta untuk mengikuti geladiresik di sekolah, membantu
mengangkut alat-alat musik yang berat dari studio musik sampai auditorium lalu
pergi ke rumah Carly yang berjarak setengah jam dari sekolah untuk melakukan
persiapan.
Aku mengerang sambil merentangkan kedua tanganku
lebar-lebar di udara untuk mengurangi ketegangan otot-ototku. Aku melirik jam
dinding di hadapanku yang menunjukan hampir pukul tujuh. Well, sepertinya kelelahan tidak membuatku tidur terlalu lama. Memutuskan
untuk tidak membuang-buang waktu, aku pun turun dari tempat tidur untuk memulai
hari.
Ketika aku mengintip kamar tidur Ben dari balik pintu
kamarku, kulihat pintu kamarnya masih tertutup rapat. Sebenarnya kamar itu memang
selalu tertutup, tapi kupikir mungkin Ben masih tidur. Aku berjalan
pelan-pelan, menuruni tangga, menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Ngomong-ngomong bibi Corinne belum pulang dari
perjalanan bisnisnya yang berarti aku harus menyiapkan sarapan untukku dan Ben.
Setiap kali bibi Corinne berpergian ke luar kota atau kemana pun itu yang
memakan waktu, aku selalu diberi tugas untuk menyiapkan makanan karena aku sudah
terbiasa memasak.
Aku sedang mengiris daun bawang untuk membuat omelet ketika
aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Tiba-tiba dari belakang muncul
tangan yang hendak meraih gelas yang berada di depanku.
Nafasku serasa terhenti di tenggorokan ketika aku
menghirup aroma yang keluar dari tubuh Ben. Aku baru benar-benar menyadarinya
sekarang. Ben tercium seperti perpaduan antara daun mint dan citrus yang mendatangkan sensasi aneh yang membuat perutku
kejang serta sekujur tubuhku seolah-olah melayang.
“Aww!”
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu Ben
yang berdiri di belakangku langsung meraih tanganku yang meneteskan darah
begitu banyak sampai berlumuran di sekitar telapak tangaku yang pucat.
“Apa yang kau lakukan?!” tanya Ben marah dengan
matanya yang melotot padaku.
Aku tidak tahu!
Tapi aku tidak mengatakannya. Aku tercengang melihat
reaksi yang ditunjukan oleh Ben. Maksduku untuk apa Ben marah-marah? Aku yang
melukai diriku sendiri, aku tidak melakukan apapun padanya yang bisa membuatnya
marah padaku.
Ben mengambil lap bersih yang tergeletak di counter untuk menutupi goresan sumber
darah.
“Pegang ini, kuambikan kotak P3K dulu,” instruksi Ben
sebelum pergi.
Tapi aku tidak merasa sakit karena luka di tanganku.
Saat ini seolah-olah kabut menghilang dari pandanganku, membuatku melihat dan
memahami bagaimana sebenarnya perasaanku kepadaku Ben.
“Hey,
apa kau pernah jatuh cinta?”
“Belum
pernah,”
“Cepat
atau lambat seseorang akan memasuki kehidupanku. Aku hanya harus menunggu
sampai saat itu tiba. Aku percaya bahwa cinta semua orang ada di luar sana.
Beberapa hanya sedang terjebak macet dalam perjalanan mereka untuk menemukan
kita,”
Well, aku
tidak mengerti mengapa kejadian barusan mengingatku pada percakapanku dengan
Carly beberapa minggu yang lalu. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa mungkin
saat itu telah tiba. Saat ketika akhirnya aku jatuh cinta. Saat ketika
seseorang memasuki kehidupanku juga memasuki ruang hatiku.
Sepertinya cinta tidak muncul dengan banyak tanda
peringatan. Aku jatuh terperosok ke dalamnya seperti didorong dari papan loncat
yang tinggi. Tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ini
adalah kejadian yang tidak bisa dihindari. Aku tidak bisa mengendalikannya.
Seperi saat ini, saat jantungku berdetak begitu cepat
seolah-olah aku baru saja turun dari roller-coaster ketika aku melihat Ben kembali
dengan menenteng kotak P3K.
“Duduk,” perintah Ben menunjuk pada salah satu kursi
di meja makan.
Aku kembali merasakan sensai yang aneh di perutku
ketika aku melangkah mendekati Ben. Cara Ben menatapku saat ini, antara marah,
kesal dan kasihan, membuat perutku kejang hingga aku merasa mual. Aku bisa
merasakan panas mulai merayapi tubuhku sampai wajahku. Oh, inilah yang kualami
setiap kali aku merasa gugup.
“Kau mengiris tanganmu sendiri dengan cukup dalam,”
kata Ben ketika dia memeriksa lukaku.
Aku tidak menanggapi komentar Ben. Aku sedang berusaha
keras untuk mengendalikan perasaanku dari tangannya yang memegang tanganku serta
tatapannya yang melekat padaku. Oh, itu mustahil untuk kulakukan!
Ben membersihkan darah yang belepotan di tanganku
dengan kapas yang diberi alkohol sebelum membalut lukanya dengan plester.
“Sudah selesai,” kata Ben.
Aku melihat senyuman tipis mengembang di wajah Ben yang
menunjukan bahwa dia puas dengan hasil kerjanya.
“Terimakasih,” ungkapku.
Ben menatapku dengan sepasang bola mata cokelatnya
yang memerah. Mungkin karena Ben kurang tidur atau dia masing mengantuk.
“Lain kali harus lebih hati-hati,” katanya
memperingatkan.
Aku mengangguk-angguk patuh. Kupikir setelah itu Ben
akan segera pergi meninggalkanku, tapi dia malah menatapiku seolah-olah ada
sesuatu di wajahku yang menarik perhatiannya.
“Kau terlihat semakin dekat dengan Dylan,” kata Ben
tiba-tiba membuatku terkesiap.
“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.
Aku masih mengingat apa yang terjadi antara aku dan
Dylan semalam di lapangan parkir sekolah.
Oh no! Jangan-jangan
Ben melihat semua itu?!
Ben menatapku terlalu lama, seolah-olah berusaha untuk
membaca pikiranku. Aku bisa merasakan wajahku memanas di bawah tatapannya.
Merasa tidak sanggup lagi menerima tatapannya yang
membuat hatiku lumer, akhirnya aku menundukan kepalaku pasrah.
“Hey, sesuatu terjadi di antara kau dan Dylan?”
Oh, sialan kau Ben! Seharusnya aku tahu, Ben bisa
membacaku seperti buku terbuka.
“Tidak ada terjadi di antara kami!” sergahku.
Ben nampak terkejut dengan jawabanku, atau mungkin dia
terkejut mendengarku meneriakinya. Tapi Ben tidak menanggapi ucapanku.
Oh, siapa yang bertanya dan siapa yang tidak mau
mendengar jawabannya?
Terkadang Ben bisa benar-benar menyebalkan!
Ben mulai membereskan kotak P3K-nya, menunjukan bahwa
dia sudah selesai berbicara denganku. Aku tetap duduk mematung di kursiku
ketika Ben pergi meninggalkan dapur.
Aku baru saja hendak mengulang semua proses memasak
sarapan ketika aku mendengar pintu depan terbuka. Kupikir Ben yang membukanya
sampai aku mendengar suara Taylor yang memanggil-manggil nama Ben dengan panik.
“Ben!” panggil Taylor beberapa kali.
Aku bergegas keluar dari dapur untuk menjumpai Taylor
yang terdengar terburu-buru dari cara dia memanggil ben.
“Taylor!” seruku berusaha untuk memanggilnya.
Aku menemukan Taylor berdiri sempoyongan di tengah-tengah ruang keluarga
dengan rambut pirang stoberinya yang berantakan seolah-olah dia tidak sempat
menyisirnya.
“Taylor?” gumamku bingung.
Taylor menatapku dengan wajah kecokelatannya yang pucat. Bibirnya
gemetar, bola mata hijaunya dipenuhi oleh ketakutan dan kepanikan yang
membuatku tercengang. Aku belum pernah melihat Taylor seperti itu
“Irene, dimana Ben?” tanyanya terdengar panik dan putus asa.
“Ada apa Taylor?” tanyaku khawatir sambil berjalan mendekatinya.
Entah mengapa mendadak aku merasa sangat gelisah seolah-olah sesuatu
yang buruk akan segera terjadi.
Taylor seolah-olah membatu di tempatnya. Lalu tiba-tiba tangisnya pecah
membuatku semakin panik. Sebelum aku sempat berpikir, Taylor berlari
menghampiriku lalu memelukku dengan begitu erat hampir membuatku tersedak.
“Bibi,” gumamnya pelan di tengah isakan, “Bibi Corinne terkena serangan
jantung,” sambungnya membuat kakiku gemetar hingga aku merosot duduk di lantai.
END - BAB VIII
Komentar
Posting Komentar