Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB VIII]

PART 16

.

Setelah pertunjukanku, aku tidak melihat Ben lagi. Awalnya kupikir dia pulang duluan karena tidak betah berada di tempat yang terlalu ramai dan berisik. Terlebih lagi Ben menarik terlalu banyak perhatian orang-orang yang mengenalnya sebagai the infamous forward dari klub rugby Universitas Auckland, yang sedang diincar oleh klub-klub profesional untuk bermain di NRL (National Rugby League).
Kupikir Ben sudah mengambil resiko untuk datang kemari. Tapi Ben melakukannya untukku. Well, dia menghadiri acara ini sebagai waliku untuk menggantikan bibi Corinne. Tentu saja tidak semua orang mengetahui hal itu. Orang-orang selain Mr Goyle, Dylan, Carly dan Luke mungkin mengira Ben datang sebagai alumni atau apalah itu. Tidak ada juga yang peduli dengan alasan kedatangannya. Yang penting mereka bisa melihat sosoknya yang tampan mempesona secara lebih dekat.
Ok, baiklah, aku terlalu banyak memujinya.
 “Apakah Ben benar-benar menunggumu di sini?” tanya Dylan yang berjalan begitu dekat di sampingku hingga tangan kami saling bersentuhan.
“Iya, dia memberitahuku lewat pesan yang dia kirim,” kataku.
Dylan mengangguk mengerti, “Mungkin dia sedang dalam perjalanan kemari,” katanya.
Dylan yang selalu keras kepala, bersikeras ingin menemaniku menuju lapangan parkir yang redup untuk menemui Ben. Seperti yang tadi kukatakan, Ben yang kupikir sudah pulang, mengirimku pesan yang mengatakan bahwa dia akan menungguku di lapangan parkir sekolah setelah acara selesai, agar kami bisa pulang bersama-sama. Tapi Ben tidak ada dimana pun ketika aku sampai di sana.
 “Ngomong-ngomong, pertunjukan kalian tadi sangat menakjubkan,” kata Dylan mengalihkan perhatianku.
Aku menoleh, melihat Dylan sedang tersenyum lebar memperlihatkan gigi-giginya, “Terimakasih,” ungkapku.
“Dan kau benar-benar cantik, kau tahu itu,” kata Dylan kemudian membuatku terkesiap.
Aku melihat Dylan sedang memasang ekspresi wajah yang aneh. Walaupun dikelilingi oleh keremangan yang membuatku sulit untuk melihat dengan jelas, aku masih bisa melihat semburat merah di wajahnya yang kecokelatan.
Well, sepertinya Dylan mulai bersikap seperti Luke.
Aku hendak mengatakan sesuatu mengenai hal itu ketika aku melihat Dylan menatapku dengan sepasang bola mata biru samudera miliknya yang berbinar-binar, membuatku bingung hingga tidak bisa berkata-kata. Kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat menyentuh pipiku, membuat tubuhku menjadi kaku seketika.
“Irene,” panggil Dylan pelan hampir menyerupai bisikan yang membuatku merasa tegang.
Saat itulah aku menyadari bahwa jari-jari Dylan sedang mengelus-elus pipiku yang terasa dingin dibandingkan dengan sentuhannya yang hangat.
“Irene,” panggil Dylan lagi kali ini lebih keras.
Aku termangu-mangu ketika menangkap sesuatu yang berbeda dari cara Dylan menyebut namaku. Seolah-olah namaku aman berada di dalam mulutnya yang sedang tersenyum. Tapi kali ini bukan senyuman lebar yang menjadi ciri khasnya.
“Kau tahu, saat ini aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi kemarin. Dan aku tidak peduli apa yang akan terjadi besok. Saat ini adalah segelanya,”
Aku tidak mengerti apa yang Dylan katakan. Tapi tatapan yang dia berikan padaku saat ini memberikanku pengertian lain yang membuatku tidak yakin kapan semua itu terjadi. Bahkan kapan semua itu dimulai. Semua yang aku tahu adalah bahwa saat ini dan di sini, Dylan menunjukan kepadaku apa yang selama ini Carly pikirkan. Awalnya aku memang tidak percaya, tapi sekarang aku mengerti karena aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Hanya saja aku merasa bahwa apapun yang sedang terjadi di antara kami itu tidak benar. Jari-jari Dylan yang menyentuh pipiku membuatku merasa tidak nyaman. Seolah-olah sentuhannya terlalu panas untukku hampir menyebabkan luka bakar. Berbeda sekali rasanya ketika Ben yang melakukannya. Aku mengingat dengan baik bagaimana jari-jari Ben menyentuh pipiku untuk menghapus air mataku. Sensasi yang kurasakan saat itu berbeda dengan saat ini.
Oh, apa yang sedang kupikirkan? Mengapa aku membanding-bandingkan Dylan dengan Ben?
Tiba-tiba Dylan menarik tangannya, dia memalingkan wajahnya yang memerah dariku untuk mencegahku melihat ekspresinya. Aku baru menyadari betapa dekat posisi kami ketika Dylan mengambil beberapa langkah mundur untuk menjauh dariku.
Mungkinkah Dylan bisa merasakan kerisauanku di bawah sentuhannya?
“Dimana Ben?” tanya Dylan kemudian.
Entah mengapa suara Dylan terdengar jauh padahal dia berdiri hanya beberapa langkah dariku. Tak lama aku mendengar seseorang datang mendekat. Tidak perlu penyinaran yang baik untuk aku mengenali sosok Ben yang sedang berjalan menghampiri kami.
“Ayo kita pulang,”  kata Ben ketika dia melihatku.
Aku mengangguk pelan lalu mengerling untuk melihat Dylan hanya diam mematung.
“Kau membawa mobilmu sendiri atau kau ingin ikut bersama kami?” tanya Ben kepada Dylan.
Dylan menggelengkan kepalanya, “Tidak usah, aku bawa mobilku sendiri,” katanya.
Ben mengangguk lalu mengajakku untuk mengikutinya, “Ayo,”
“Sampai jumpa,” kataku pamit kepada Dylan sebelum menyusul Ben.
Aku tidak menoleh ketika Dylan membalas. Entahlah, sesuatu mencegahku untuk melakukannya. Saat ini perhatianku hanya tertuju pada Ben yang berjalan begitu cepat di depanku. Aku bertanya-tanya, apakah Ben akan memperlambat kecepatannya jika kubilang aku ingin berjalan berdampingan dengannya?
***.

Ketika aku membuka mataku keesokan paginya, aku merasa kepalaku seolah-olah berputar, sekujur tubuhku kaku dan pegal-pegal terutama di bagian pergelangan tangan dan bahu. Oh, aku benar-benar merasa kelelahan! Aku bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk beranjak dari tempat tidur. 
Well, kemarin adalah hari yang melelahkan dan menguras tenaga serta pikiran. Aku ingat bangun di pagi-pagi buta untuk mengikuti geladiresik di sekolah, membantu mengangkut alat-alat musik yang berat dari studio musik sampai auditorium lalu pergi ke rumah Carly yang berjarak setengah jam dari sekolah untuk melakukan persiapan.
Aku mengerang sambil merentangkan kedua tanganku lebar-lebar di udara untuk mengurangi ketegangan otot-ototku. Aku melirik jam dinding di hadapanku yang menunjukan hampir pukul tujuh. Well, sepertinya kelelahan tidak membuatku tidur terlalu lama. Memutuskan untuk tidak membuang-buang waktu, aku pun turun dari tempat tidur untuk memulai hari.
Ketika aku mengintip kamar tidur Ben dari balik pintu kamarku, kulihat pintu kamarnya masih tertutup rapat. Sebenarnya kamar itu memang selalu tertutup, tapi kupikir mungkin Ben masih tidur. Aku berjalan pelan-pelan, menuruni tangga, menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Ngomong-ngomong bibi Corinne belum pulang dari perjalanan bisnisnya yang berarti aku harus menyiapkan sarapan untukku dan Ben. Setiap kali bibi Corinne berpergian ke luar kota atau kemana pun itu yang memakan waktu, aku selalu diberi tugas untuk menyiapkan makanan karena aku sudah terbiasa memasak.
Aku sedang mengiris daun bawang untuk membuat omelet ketika aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Tiba-tiba dari belakang muncul tangan yang hendak meraih gelas yang berada di depanku.
Nafasku serasa terhenti di tenggorokan ketika aku menghirup aroma yang keluar dari tubuh Ben. Aku baru benar-benar menyadarinya sekarang. Ben tercium seperti perpaduan antara daun mint dan citrus yang mendatangkan sensasi aneh yang membuat perutku kejang serta sekujur tubuhku seolah-olah melayang.
“Aww!”
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu Ben yang berdiri di belakangku langsung meraih tanganku yang meneteskan darah begitu banyak sampai berlumuran di sekitar telapak tangaku yang pucat.
“Apa yang kau lakukan?!” tanya Ben marah dengan matanya yang melotot padaku.
Aku tidak tahu!
Tapi aku tidak mengatakannya. Aku tercengang melihat reaksi yang ditunjukan oleh Ben. Maksduku untuk apa Ben marah-marah? Aku yang melukai diriku sendiri, aku tidak melakukan apapun padanya yang bisa membuatnya marah padaku.
Ben mengambil lap bersih yang tergeletak di counter untuk menutupi goresan sumber darah.
“Pegang ini, kuambikan kotak P3K dulu,” instruksi Ben sebelum pergi.
Tapi aku tidak merasa sakit karena luka di tanganku. Saat ini seolah-olah kabut menghilang dari pandanganku, membuatku melihat dan memahami bagaimana sebenarnya perasaanku kepadaku Ben.

“Hey, apa kau pernah jatuh cinta?”
“Belum pernah,”
“Cepat atau lambat seseorang akan memasuki kehidupanku. Aku hanya harus menunggu sampai saat itu tiba. Aku percaya bahwa cinta semua orang ada di luar sana. Beberapa hanya sedang terjebak macet dalam perjalanan mereka untuk menemukan kita,”

Well, aku tidak mengerti mengapa kejadian barusan mengingatku pada percakapanku dengan Carly beberapa minggu yang lalu. Namun aku tidak bisa memungkiri bahwa mungkin saat itu telah tiba. Saat ketika akhirnya aku jatuh cinta. Saat ketika seseorang memasuki kehidupanku juga memasuki ruang hatiku.
Sepertinya cinta tidak muncul dengan banyak tanda peringatan. Aku jatuh terperosok ke dalamnya seperti didorong dari papan loncat yang tinggi. Tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Ini adalah kejadian yang tidak bisa dihindari. Aku tidak bisa mengendalikannya.
Seperi saat ini, saat jantungku berdetak begitu cepat seolah-olah aku baru saja turun dari roller-coaster ketika aku melihat Ben kembali dengan menenteng kotak P3K.
“Duduk,” perintah Ben menunjuk pada salah satu kursi di meja makan.
Aku kembali merasakan sensai yang aneh di perutku ketika aku melangkah mendekati Ben. Cara Ben menatapku saat ini, antara marah, kesal dan kasihan, membuat perutku kejang hingga aku merasa mual. Aku bisa merasakan panas mulai merayapi tubuhku sampai wajahku. Oh, inilah yang kualami setiap kali aku merasa gugup.
“Kau mengiris tanganmu sendiri dengan cukup dalam,” kata Ben ketika dia memeriksa lukaku.
Aku tidak menanggapi komentar Ben. Aku sedang berusaha keras untuk mengendalikan perasaanku dari tangannya yang memegang tanganku serta tatapannya yang melekat padaku. Oh, itu mustahil untuk kulakukan!
Ben membersihkan darah yang belepotan di tanganku dengan kapas yang diberi alkohol sebelum membalut lukanya dengan plester.
“Sudah selesai,” kata Ben.
Aku melihat senyuman tipis mengembang di wajah Ben yang menunjukan bahwa dia puas dengan hasil kerjanya.
“Terimakasih,” ungkapku.
Ben menatapku dengan sepasang bola mata cokelatnya yang memerah. Mungkin karena Ben kurang tidur atau dia masing mengantuk.
“Lain kali harus lebih hati-hati,” katanya memperingatkan.
Aku mengangguk-angguk patuh. Kupikir setelah itu Ben akan segera pergi meninggalkanku, tapi dia malah menatapiku seolah-olah ada sesuatu di wajahku yang menarik perhatiannya.
“Kau terlihat semakin dekat dengan Dylan,” kata Ben tiba-tiba membuatku terkesiap.
“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.
Aku masih mengingat apa yang terjadi antara aku dan Dylan semalam di lapangan parkir sekolah.
Oh no! Jangan-jangan Ben melihat semua itu?!
Ben menatapku terlalu lama, seolah-olah berusaha untuk membaca pikiranku. Aku bisa merasakan wajahku memanas di bawah tatapannya.
Merasa tidak sanggup lagi menerima tatapannya yang membuat hatiku lumer, akhirnya aku menundukan kepalaku pasrah.
“Hey, sesuatu terjadi di antara kau dan Dylan?”
Oh, sialan kau Ben! Seharusnya aku tahu, Ben bisa membacaku seperti buku terbuka.
“Tidak ada terjadi di antara kami!” sergahku.
Ben nampak terkejut dengan jawabanku, atau mungkin dia terkejut mendengarku meneriakinya. Tapi Ben tidak menanggapi ucapanku.
Oh, siapa yang bertanya dan siapa yang tidak mau mendengar jawabannya?
Terkadang Ben bisa benar-benar menyebalkan!
Ben mulai membereskan kotak P3K-nya, menunjukan bahwa dia sudah selesai berbicara denganku. Aku tetap duduk mematung di kursiku ketika Ben pergi meninggalkan dapur.
Aku baru saja hendak mengulang semua proses memasak sarapan ketika aku mendengar pintu depan terbuka. Kupikir Ben yang membukanya sampai aku mendengar suara Taylor yang memanggil-manggil nama Ben dengan panik.
“Ben!” panggil Taylor beberapa kali.
Aku bergegas keluar dari dapur untuk menjumpai Taylor yang terdengar terburu-buru dari cara dia memanggil ben.
“Taylor!” seruku berusaha untuk memanggilnya.
Aku menemukan Taylor berdiri sempoyongan di tengah-tengah ruang keluarga dengan rambut pirang stoberinya yang berantakan seolah-olah dia tidak sempat menyisirnya.
“Taylor?” gumamku bingung.
Taylor menatapku dengan wajah kecokelatannya yang pucat. Bibirnya gemetar, bola mata hijaunya dipenuhi oleh ketakutan dan kepanikan yang membuatku tercengang. Aku belum pernah melihat Taylor seperti itu
“Irene, dimana Ben?” tanyanya terdengar panik dan putus asa.
“Ada apa Taylor?” tanyaku khawatir sambil berjalan mendekatinya.
Entah mengapa mendadak aku merasa sangat gelisah seolah-olah sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Taylor seolah-olah membatu di tempatnya. Lalu tiba-tiba tangisnya pecah membuatku semakin panik. Sebelum aku sempat berpikir, Taylor berlari menghampiriku lalu memelukku dengan begitu erat hampir membuatku tersedak.
“Bibi,” gumamnya pelan di tengah isakan, “Bibi Corinne terkena serangan jantung,” sambungnya membuat kakiku gemetar hingga aku merosot duduk di lantai.

END - BAB VIII 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b