Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [VI]

PART 12

.

Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanya bibi Corinne untuk kesekian kalinya.
Entah untuk yang ke berapa kalinya pula aku menggelengkan kepala. Tapi kali ini kuusahakan dengan segenap asa yang masih tersisa dalam tubuhku yang kian lemah untuk tersenyum. Well, hanya itulah yang bisa kulakukan untuk meyakinkan wanita yang wajahnya sudah sepucat mayat karena mengkhawatirkanku.
Bibi Corinne mengamatiku melalui bola mata cokelatnya yang menunjukan kekhawatiran dan kepedulian. Dia ingin memastikan bahwa aku berkata jujur.
Ok, baiklah,” katanya kemudian sebelum bangkit dari sisi tempat tidurku, “Lebih baik sekarang kau istirahat saja. Bibi akan memasak bubur telur untuk makan malam. Dan jangan lupa untuk berterimakasih kepada Dylan, dia sangat mengkhawatirkanmu,”
Aku mengangguk pelan.
Setelah bibi Corinne menghilang dari balik pintu kamarku, aku mendengar ponselku berdering. Ada telpon masuk.
Caller ID
Dylan.
Bukannya aku ingin membangkang. Aku hanya sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Kurasa aku bisa berterimakasih kepada Dylan lain waktu. Oleh karena itu kuputuskan untuk menonaktifkan ponselku lalu melemparnya ke sisi lain tempat tidur. Setelah itu kutarik selimut hingga menutupi wajahku.

***

Tiga hari sudah berlalu sejak Mrs Bred menyampaikan kabar buruk mengenai kecelakaan mobil yang dialami oleh wali kelasku, Mr Goyle. Tiga hari sudah aku terbaring di tempat tidur tanpa sanggup melakukan apapun karena sekujur tubuhku mati rasa. Tiga hari sudah aku absen dari sekolah. Tiga hari pula aku menolak untuk berbicara dengan siapapun. Dan tanpa benar-benar kusadari, selama tiga hari itu, peristiwa kecelakan wali kelasku telah meracuni diriku.
Peristiwa itu menjelma bak enzim yang kembali mengaktifkan trauma psikis yang seharusnya sudah bisa kukendalikan setidaknya selama sebulan ini. Semenjak aku kehilangan kesadaranku dan terjebak dalam halusinasi mengerikan tempo hari, otakku seakan secara otomatis kembali membuka fortal ingatan yang sudah susah payah kusembunyikan. Sungguh mengerikan. Bayangan wajah berlumuran darah Mom dan Dad, teriakkan Mom sebelum truk itu menghantam mobil kami, rutin hadir mengusikku. Selama tiga hari ini aku bahkan tidak bisa tidur. Setiap kali aku berusaha untuk memejamkan mata, aku langsung tersedot ke dalam dimensi ruang yang menggambarkan lokasi kecelakan di jalanan pegunungan itu. Entah apa gerangan yang terjadi denganku sekarang. Terkadang aku merasa bahwa aku sudah kehilangan kewarasanku.
Suara ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan.
Masuk,” seruku lemah.
Kali ini yang muncul dari balik pintu kamarku adalah Ben. Untuk kesekian kalinya aku melihatnya memasang ekspresi aneh yang bagiku itu lebih terlihat seperti ekspresi kasihan. Rasanya memalukan menyadari Ben selalu menemukanku dalam keadaan yang menyedihkan. Entah sudah berapa kali aku menangis di hadapannya.
Bagaimana keadaanmu?tanya Ben melangkah memasuki kamar.
Aku beranjak dari posisiku berbaring lalu menyandarkan punggungku pada sandaran tempat tidur, “Sudah baikan,” jawabku.
Ben duduk di tepi tempat tidur dengan tubuhnya yang menghadap ke arahku. Perlahan Ben menyunggingkan senyuman yang terlihat asing di wajahnya, “Syukurlah,” katanya membuatku bingung.
Tidak ada lagi yang Ben katakan setelah itu. Ben hanya menatapku dengan tatapan yang begitu intens. Aku merasa Ben sedang mencari sesuatu di sana. Sesuatu di mataku yang membuatku berpikir bahwa Ben sedang berusaha untuk membaca pikiranku.
“Mengapa kau peduli padaku?” tanyaku tiba-tiba.
Aku sungguh tidak menyangka pertanyaan semacam itu bisa keluar begitu saja dari mulutku. Aku segera memalingkan wajahku untuk menyembunyikan wajahku yang memerah dari pandangannya.
“Karena ibuku peduli padamu,” jawab Ben terdengar monoton.
Mendengar jawaban Ben yang begitu dingin, membuatku langsung menatapnya kesal. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku harus kesal dibuatnya. Kemudian aku kembali memalingkan wajahku darinya menuju jendela yang sengaja tidak kututup gordennya agar aku bisa melihat langit malam musim semi yang cerah. Tapi aku masih bisa merasakan tatapan Ben yang membakar punggungku. Hingga akhirnya aku menyerah lalu kembali menatap bola mata cokelatnya yang terlihat begitu terang di bawah pantulan neon yang menggantung di langit-langit kamarku.
“Apa bibi sudah tidur?” tanyaku.
“Belum,” jawab Ben, “Dia sedang meminum beberapa gelas sherry di bawah sana,” imbuhnya membuatku merasa bersalah.
“Maafkan aku,” gumamku menundukan kepala, “Bibi pasti gelisah karena mengkhawatirkanku,”
“Menurutmu begitu?” tanya Ben.
Aku langsung mengangkat kepalaku untuk kembali menerima tatapannya. Tapi entah mengapa, kini tatapannya malah membuatku merasa nyaman. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Ben menatapku kali ini.
“Aku terus menolak untuk menceritakan semuanya,” kataku.
Aku meremas selimut yang menutupi separuh tubuhku. Aku tidak bisa menahan keinginanku untuk menceritakan semuanya kepada Ben. Tatapannya yang tidak sedetikpun meninggalkanku membuatku merasa yakin bahwa dia akan mendengarkanku. Mendengarkan semua ketakutanku.
“Tiga hari yang lalu ada guruku yang mengalami kecelakaan. E.. Entah mengapa mendadak aku jadi teringat kembali dengan peristiwa ke.. kecelakaan itu,” kataku menjelaskan.
Aku bisa merasakan kedua tanganku yang meremas selimut mulai gemetar, “A,, aku pingsan dan tiba-tiba aku sudah berada di lokasi kecelakaan itu,” lanjutku
Ekspresi wajah Ben sama sekali tidak berubah mendengar ceritaku. Datar seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang kini berubah dari tatapannya. Tidak ada tatapan jijik, kasihan ataupun prihatin seperti yang selalu kulihat sebelumnya. Mengerti. Cara Ben menatapku saat ini seakan mengatakan kepadaku bahwa Ben mengerti apa yang sedang kurasakan.
“Aku berada di jalanan yang gelap. Tak lama aku mendengar suara dua mesin kendaraan yang melaju dari arah berlawanan,” aku terdiam sejenak sambil memejamkan mataku, “Semakin dekat. Semakin dekat,”
Aku bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi keningku ketika suara jeritan Mom kembali terdengar di telingaku. Badanku merinding ketika potret wajah Mom dan Dad yang berlumuran darah berseliweran di depan mataku.
“Aku ingin menghentikannya,” seruku, “Tapi aku tidak bisa. Aku berteriak. Tapi suaraku hilang ditelan raungan mesin dua kendaraan itu. Dan.. Dan,”
Aku tidak bisa melanjutkannya. Rasa sakit di dadaku terlalu banyak hingga membuatku sesak. Aku menenggelamkan wajahku di dalam telapak tangan sambil mengerang frustasi.
“Kupikir aku sudah gila,” kataku lirih.
Aku tidak peduli dengan apa Ben pikirkan tentangku saat ini. Dia mungkin mengira aku gila. Mungkin dia benar, mungkin aku sudah gila.
“Kau tidak gila,” kata Ben kemudian membuatku terkejut.
Aku mendongak, mengangkat kepalaku untuk melihat Ben. Ekspresinya tidak terbaca, tapi aku tahu dia berkata jujur.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi denganku?” tanyaku menuntut, aku bisa mendengar keputusasaan dalam suaraku, “Kejadian itu sama persis dengan kejadian di supermarket. Tiba-tiba aku berada di tempat lain yang mengingatkanku pada Mom dan Dad,”
“Kau  mengalami kejadian traumatik, Irene,” kata Ben, “Setelah kejadian di supermarket dan mendengar ceritamu barusan, aku menyadari bahwa kau masih trauma dengan kecelakaan yang kau alami,”
Aku tidak mengerti dengan apa yang Ben katakan tapi aku membiarkan Ben untuk melanjutkannya.
“Aku membaca beberapa artikel mengenai PTSD dan apa yang kau alami itu disebut disosiasi,”
“Disosiasi?” tanyaku.
Ben mengangguk pelan, “Ketika kau mengalami disosiasi itu disebabkan oleh sesuatu. Aroma, suara, musik, kata-kata, semua itu bisa menjadi pemicu. Pemicu yang membawa kembali kenangan-kenangan pahit yang membuatmu panik, atau sekedar membuatmu terguncang oleh perasaan yang sangat kuat yang datang tiba-tiba. Aku berpikir bahwa berbelanja ke supermarket serta kecelakaan yang menimpa wali kelasmu adalah pemicunya,”
“Apakah itu berati aku tidak bisa pergi ke supermarket atau mendengar mengenai kecelakaan?”
Ben menggelengkan kepalanya, senyuman lemah terlukis di permukaan wajahnya yang tampan, “Tidak. Ada beberapa trik yang bisa kau lakukan untuk menjagamu tetap sadar,”
Apapun itu, asal aku tidak kembali mengalami kejadian mengerikan itu.
“Contohnya,” Ben memulai, dia memperbaiki posisi duduknya ingin mendapatkan posisi yang lebih nyaman, “Hal pertama yang harus kau lakukan ketika kau marasa terguncang atau ketika kau mulai merasa terdisosiasi kau harus mengingat kapan dan dimana kau berada. Kau bisa pergi ke kulkas untuk mengambil es batu lalu menggenggamnya dalam tanganmu, membasuh wajahmu dengan air atau apapun yang bisa membuktikan bahwa kau sadar,”
Oh, Ben, aku tidak bisa mengatakan kepadamu  berapa kali aku mencoba untuk membasuh wajahku hingga aku merasa wajahku akan terkelupas ketika aku mendapatkan mimpi buruk di tengah malam. Aku membutuhkan yang lain.
“Kau juga bisa mencatat daftar kegiatan-kegiatan apa saja yang bisa kau lakukan untuk mengalihkan perhatianmu ketika kau merasa terguncang secara emosional. Kau bisa melakukan kegiatan fisik seperti mandi, berlari, menggambar, menulis, mendengarkan musik, menyalakan lilin, menonton film atau bermain piano untuk membuatmu merasa lebih baik”
“Hal yang paling penting,” Ben melanjutkan, “Adalah memastikan bahwa kau makan secara teratur. Kau akan mudah terkena depresi jika kau tidak menjaga kesehatanmu,”
Ben mengatakannya karena dia tahu aku hampir tidak makan apapun selama tiga hari belakangan ini.
“Bagaimana kau bisa tahu semua ini?” tanyaku kemudian.
Aku tahu Ben membaca untuk mengetahui semua itu. Tapi yang tidak aku tahu mengapa Ben melakukannya? Maksudku, mengapa Ben harus membaca untuk mengetahui semua itu lalu memberitahukannya padaku?
Aku yakin Ben tahu apa maksud pertanyaanku yang sebenarnya. Sesaat aku melihat ada kegundahan di wajahnya yang tetap pasif. Seolah-olah dia sedang mengalami konflik batin untuk mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Lalu tiba-tiba dia menyungkingkan senyuman yang sangat asing untukku, aku tidak pernah melihat Ben tersenyum seperti itu sebelumnya.
Mom berpikir untuk membawamu ke psikolog. Tapi aku tidak setuju karena aku tahu kau tidak akan menyukainya,”
Ben mengatakannya tanpa melepaskan tatapannya padaku. Aku melihat ada kekhawatiran dalam tatapannya yang membuatku merasakan sesuatu yang aneh. Maksudku aku terbiasa melihat bibi Corinne menatapku dengan khawatir, namun Ben, aku harus mengedipkan mataku beberapa kali untuk memastikan aku tidak salah lihat.
“Apakah aku separah itu?” tanyaku.
“Mungkin,”
Aku merunduk menatap pangkuanku. Apa yang yang harus aku lakukan sekarang?
“Semua yang kau katakan itu benar, Ben,” kataku mengakui, “Aku benar-benar payah,”
Ben tidak mengatakan apa-apa. Awalnya kupikir Ben juga mengira bahwa aku memang payah. Namun kemudian aku merasakan Ben membawaku perlahan-lahan ke dalam pelukannya Sesaat setelah wajahku mendarat di permukaan bahunya yang bidang, tangisanku pun langsung pecah. Air mataku mengalir deras membasahi bajunya. Aku bisa merasakan telapak tangan Ben mulai menepuk-nepuk punggungku untuk menenangkanku
“Apa yang kau hadapi memang berat,” kata Ben berbisik di telingaku, “Tapi kau tidak boleh melupakan bahwa sekalipun mereka telah pergi, kasih sayang mereka tidak akan hilang.”
Aku membeku mendengar apa yang Ben katakan. Hatiku bergetar mendengarnya. Lama waktu berlalu dalam kebisuan membuatku akhirnya mengerti apa yang Ben coba sampaikan.
“Aku merindukan mereka Ben. Aku sangat merindukan mereka,” ungkapku lirih.

END - BAB VI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b