PART 12
.
“Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanya bibi Corinne untuk kesekian
kalinya.
Entah untuk yang ke berapa kalinya pula aku menggelengkan
kepala. Tapi kali ini kuusahakan dengan segenap asa yang masih tersisa dalam
tubuhku yang kian lemah untuk
tersenyum. Well, hanya itulah yang bisa kulakukan untuk meyakinkan wanita yang
wajahnya sudah sepucat mayat karena mengkhawatirkanku.
Bibi Corinne mengamatiku melalui bola mata cokelatnya yang
menunjukan kekhawatiran dan kepedulian. Dia ingin memastikan bahwa aku berkata
jujur.
“Ok, baiklah,”
katanya kemudian sebelum bangkit dari sisi tempat tidurku, “Lebih baik sekarang kau
istirahat saja. Bibi akan memasak bubur telur untuk makan malam. Dan jangan lupa untuk
berterimakasih
kepada Dylan, dia sangat mengkhawatirkanmu,”
Aku
mengangguk pelan.
Setelah bibi Corinne menghilang dari balik pintu kamarku,
aku mendengar ponselku berdering. Ada telpon masuk.
Caller ID
Dylan.
Bukannya aku ingin membangkang. Aku hanya sedang tidak
ingin berbicara dengan siapapun. Kurasa aku bisa berterimakasih kepada Dylan
lain waktu. Oleh karena itu kuputuskan untuk menonaktifkan ponselku lalu
melemparnya ke sisi lain tempat tidur. Setelah itu kutarik selimut hingga
menutupi wajahku.
***
Tiga
hari sudah berlalu sejak Mrs Bred menyampaikan kabar buruk mengenai kecelakaan
mobil yang dialami oleh wali kelasku, Mr Goyle. Tiga
hari sudah aku terbaring di tempat tidur tanpa sanggup melakukan apapun karena
sekujur tubuhku mati rasa. Tiga hari sudah aku absen dari sekolah. Tiga hari
pula aku menolak untuk berbicara dengan siapapun. Dan tanpa benar-benar kusadari, selama
tiga hari itu, peristiwa
kecelakan wali kelasku telah meracuni diriku.
Peristiwa
itu menjelma bak enzim yang kembali mengaktifkan trauma psikis yang seharusnya
sudah bisa kukendalikan setidaknya selama sebulan ini. Semenjak aku kehilangan
kesadaranku dan terjebak dalam halusinasi mengerikan tempo hari, otakku seakan
secara otomatis kembali membuka fortal ingatan yang sudah susah payah
kusembunyikan. Sungguh mengerikan. Bayangan wajah berlumuran darah Mom dan Dad, teriakkan Mom sebelum truk itu
menghantam mobil kami, rutin hadir mengusikku. Selama tiga hari ini aku bahkan
tidak bisa tidur. Setiap kali aku berusaha untuk memejamkan mata, aku langsung
tersedot ke dalam dimensi ruang yang menggambarkan lokasi kecelakan di jalanan
pegunungan itu. Entah apa gerangan yang terjadi denganku sekarang. Terkadang aku
merasa bahwa aku sudah kehilangan kewarasanku.
Suara
ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan.
“Masuk,” seruku lemah.
Kali ini yang muncul dari balik pintu kamarku adalah Ben. Untuk kesekian
kalinya aku melihatnya memasang ekspresi aneh yang bagiku itu lebih terlihat
seperti ekspresi kasihan. Rasanya memalukan menyadari Ben selalu menemukanku
dalam keadaan yang menyedihkan. Entah sudah berapa kali aku menangis di
hadapannya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ben melangkah memasuki kamar.
Aku beranjak dari posisiku berbaring lalu menyandarkan
punggungku pada sandaran tempat tidur, “Sudah baikan,” jawabku.
Ben duduk di tepi tempat tidur dengan tubuhnya yang
menghadap ke arahku. Perlahan Ben menyunggingkan senyuman yang terlihat asing
di wajahnya, “Syukurlah,” katanya membuatku bingung.
Tidak ada lagi yang Ben katakan setelah itu. Ben hanya
menatapku dengan tatapan yang begitu intens. Aku merasa Ben sedang mencari
sesuatu di sana. Sesuatu di mataku yang membuatku berpikir bahwa Ben sedang
berusaha untuk membaca pikiranku.
“Mengapa kau peduli padaku?” tanyaku tiba-tiba.
Aku sungguh tidak menyangka pertanyaan semacam itu
bisa keluar begitu saja dari mulutku. Aku segera memalingkan wajahku untuk
menyembunyikan wajahku yang memerah dari pandangannya.
“Karena ibuku peduli padamu,” jawab Ben terdengar
monoton.
Mendengar jawaban Ben yang begitu dingin, membuatku
langsung menatapnya kesal. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku harus kesal
dibuatnya. Kemudian aku kembali memalingkan wajahku darinya menuju jendela yang
sengaja tidak kututup gordennya agar aku bisa melihat langit malam musim semi
yang cerah. Tapi aku masih bisa merasakan tatapan Ben yang membakar punggungku.
Hingga akhirnya aku menyerah lalu kembali menatap bola mata cokelatnya yang
terlihat begitu terang di bawah pantulan neon yang menggantung di langit-langit
kamarku.
“Apa bibi sudah tidur?” tanyaku.
“Belum,” jawab Ben, “Dia sedang meminum beberapa gelas
sherry di bawah sana,” imbuhnya membuatku merasa bersalah.
“Maafkan aku,” gumamku menundukan kepala, “Bibi pasti
gelisah karena mengkhawatirkanku,”
“Menurutmu begitu?” tanya Ben.
Aku langsung mengangkat kepalaku untuk kembali
menerima tatapannya. Tapi entah mengapa, kini tatapannya malah membuatku merasa
nyaman. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Ben menatapku kali ini.
“Aku terus menolak untuk menceritakan semuanya,” kataku.
Aku meremas selimut yang menutupi separuh tubuhku. Aku
tidak bisa menahan keinginanku untuk menceritakan semuanya kepada Ben.
Tatapannya yang tidak sedetikpun meninggalkanku membuatku merasa yakin bahwa
dia akan mendengarkanku. Mendengarkan semua ketakutanku.
“Tiga hari yang lalu ada guruku yang mengalami
kecelakaan. E.. Entah mengapa mendadak aku jadi teringat kembali dengan
peristiwa ke.. kecelakaan itu,” kataku menjelaskan.
Aku bisa merasakan kedua tanganku yang meremas selimut
mulai gemetar, “A,, aku pingsan dan tiba-tiba aku sudah berada di lokasi
kecelakaan itu,” lanjutku
Ekspresi wajah Ben sama sekali tidak berubah mendengar
ceritaku. Datar seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang kini berubah dari
tatapannya. Tidak ada tatapan jijik, kasihan ataupun prihatin seperti yang
selalu kulihat sebelumnya. Mengerti. Cara Ben menatapku saat ini seakan mengatakan
kepadaku bahwa Ben mengerti apa yang sedang kurasakan.
“Aku berada di jalanan yang gelap. Tak lama aku
mendengar suara dua mesin kendaraan yang melaju dari arah berlawanan,” aku
terdiam sejenak sambil memejamkan mataku, “Semakin dekat. Semakin dekat,”
Aku bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi
keningku ketika suara jeritan Mom kembali
terdengar di telingaku. Badanku merinding ketika potret wajah Mom dan Dad yang berlumuran darah berseliweran di depan mataku.
“Aku ingin menghentikannya,” seruku, “Tapi aku tidak
bisa. Aku berteriak. Tapi suaraku hilang ditelan raungan mesin dua kendaraan
itu. Dan.. Dan,”
Aku tidak bisa melanjutkannya. Rasa sakit di dadaku
terlalu banyak hingga membuatku sesak. Aku menenggelamkan wajahku di dalam
telapak tangan sambil mengerang frustasi.
“Kupikir aku sudah gila,” kataku lirih.
Aku tidak peduli dengan apa Ben pikirkan tentangku
saat ini. Dia mungkin mengira aku gila. Mungkin dia benar, mungkin aku sudah
gila.
“Kau tidak gila,” kata Ben kemudian membuatku terkejut.
Aku mendongak, mengangkat kepalaku untuk melihat Ben.
Ekspresinya tidak terbaca, tapi aku tahu dia berkata jujur.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi denganku?” tanyaku
menuntut, aku bisa mendengar keputusasaan dalam suaraku, “Kejadian itu sama
persis dengan kejadian di supermarket. Tiba-tiba aku berada di tempat lain yang
mengingatkanku pada Mom dan Dad,”
“Kau mengalami
kejadian traumatik, Irene,” kata Ben, “Setelah kejadian di supermarket dan
mendengar ceritamu barusan, aku menyadari bahwa kau masih trauma dengan
kecelakaan yang kau alami,”
Aku tidak mengerti dengan apa yang Ben katakan tapi
aku membiarkan Ben untuk melanjutkannya.
“Aku membaca beberapa artikel mengenai PTSD dan apa
yang kau alami itu disebut disosiasi,”
“Disosiasi?” tanyaku.
Ben mengangguk pelan, “Ketika kau mengalami disosiasi
itu disebabkan oleh sesuatu. Aroma, suara, musik, kata-kata, semua itu bisa
menjadi pemicu. Pemicu yang membawa kembali kenangan-kenangan pahit yang
membuatmu panik, atau sekedar membuatmu terguncang oleh perasaan yang sangat
kuat yang datang tiba-tiba. Aku berpikir bahwa berbelanja ke supermarket serta
kecelakaan yang menimpa wali kelasmu adalah pemicunya,”
“Apakah itu berati aku tidak bisa pergi ke supermarket
atau mendengar mengenai kecelakaan?”
Ben menggelengkan kepalanya, senyuman lemah terlukis
di permukaan wajahnya yang tampan, “Tidak. Ada beberapa trik yang bisa kau
lakukan untuk menjagamu tetap sadar,”
Apapun itu, asal aku tidak kembali mengalami kejadian
mengerikan itu.
“Contohnya,” Ben memulai, dia memperbaiki posisi
duduknya ingin mendapatkan posisi yang lebih nyaman, “Hal pertama yang harus
kau lakukan ketika kau marasa terguncang atau ketika kau mulai merasa
terdisosiasi kau harus mengingat kapan dan dimana kau berada. Kau bisa pergi ke
kulkas untuk mengambil es batu lalu menggenggamnya dalam tanganmu, membasuh
wajahmu dengan air atau apapun yang bisa membuktikan bahwa kau sadar,”
Oh, Ben, aku tidak bisa mengatakan kepadamu berapa kali aku mencoba untuk membasuh wajahku
hingga aku merasa wajahku akan terkelupas ketika aku mendapatkan mimpi buruk di
tengah malam. Aku membutuhkan yang lain.
“Kau juga bisa mencatat daftar kegiatan-kegiatan apa
saja yang bisa kau lakukan untuk mengalihkan perhatianmu ketika kau merasa
terguncang secara emosional. Kau bisa melakukan kegiatan fisik seperti mandi,
berlari, menggambar, menulis, mendengarkan musik, menyalakan lilin, menonton
film atau bermain piano untuk membuatmu merasa lebih baik”
“Hal yang paling penting,” Ben melanjutkan, “Adalah
memastikan bahwa kau makan secara teratur. Kau akan mudah terkena depresi jika
kau tidak menjaga kesehatanmu,”
Ben mengatakannya karena dia tahu aku hampir tidak
makan apapun selama tiga hari belakangan ini.
“Bagaimana kau bisa tahu semua ini?” tanyaku kemudian.
Aku tahu Ben membaca untuk mengetahui semua itu. Tapi
yang tidak aku tahu mengapa Ben melakukannya? Maksudku, mengapa Ben harus
membaca untuk mengetahui semua itu lalu memberitahukannya padaku?
Aku yakin Ben tahu apa maksud pertanyaanku yang
sebenarnya. Sesaat aku melihat ada kegundahan di wajahnya yang tetap pasif.
Seolah-olah dia sedang mengalami konflik batin untuk mengatakan yang sebenarnya
atau tidak. Lalu tiba-tiba dia menyungkingkan senyuman yang sangat asing
untukku, aku tidak pernah melihat Ben tersenyum seperti itu sebelumnya.
“Mom berpikir
untuk membawamu ke psikolog. Tapi aku tidak setuju karena aku tahu kau tidak
akan menyukainya,”
Ben mengatakannya tanpa melepaskan tatapannya padaku.
Aku melihat ada kekhawatiran dalam tatapannya yang membuatku merasakan sesuatu
yang aneh. Maksudku aku terbiasa melihat bibi Corinne menatapku dengan khawatir,
namun Ben, aku harus mengedipkan mataku beberapa kali untuk memastikan aku
tidak salah lihat.
“Apakah aku separah itu?” tanyaku.
“Mungkin,”
Aku merunduk menatap pangkuanku. Apa yang yang harus aku
lakukan sekarang?
“Semua yang kau katakan itu benar, Ben,” kataku mengakui,
“Aku benar-benar payah,”
Ben tidak mengatakan apa-apa. Awalnya kupikir Ben juga
mengira bahwa aku memang payah. Namun kemudian aku merasakan Ben membawaku
perlahan-lahan ke dalam pelukannya Sesaat setelah wajahku mendarat di permukaan
bahunya yang bidang, tangisanku pun langsung pecah. Air mataku mengalir deras
membasahi bajunya. Aku bisa merasakan telapak tangan Ben mulai menepuk-nepuk
punggungku untuk menenangkanku
“Apa yang kau hadapi memang berat,” kata Ben berbisik
di telingaku, “Tapi kau tidak boleh melupakan bahwa sekalipun mereka telah
pergi, kasih sayang mereka tidak akan hilang.”
Aku membeku mendengar apa yang Ben katakan. Hatiku
bergetar mendengarnya. Lama waktu berlalu dalam kebisuan membuatku akhirnya
mengerti apa yang Ben coba sampaikan.
“Aku merindukan mereka Ben. Aku sangat merindukan
mereka,” ungkapku lirih.
END - BAB VI
“Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanya bibi Corinne untuk kesekian
kalinya.
Entah untuk yang ke berapa kalinya pula aku menggelengkan
kepala. Tapi kali ini kuusahakan dengan segenap asa yang masih tersisa dalam
tubuhku yang kian lemah untuk
tersenyum. Well, hanya itulah yang bisa kulakukan untuk meyakinkan wanita yang
wajahnya sudah sepucat mayat karena mengkhawatirkanku.
Bibi Corinne mengamatiku melalui bola mata cokelatnya yang
menunjukan kekhawatiran dan kepedulian. Dia ingin memastikan bahwa aku berkata
jujur.
“Ok, baiklah,”
katanya kemudian sebelum bangkit dari sisi tempat tidurku, “Lebih baik sekarang kau
istirahat saja. Bibi akan memasak bubur telur untuk makan malam. Dan jangan lupa untuk
berterimakasih
kepada Dylan, dia sangat mengkhawatirkanmu,”
Aku
mengangguk pelan.
Setelah bibi Corinne menghilang dari balik pintu kamarku,
aku mendengar ponselku berdering. Ada telpon masuk.
Caller ID
Dylan.
Bukannya aku ingin membangkang. Aku hanya sedang tidak
ingin berbicara dengan siapapun. Kurasa aku bisa berterimakasih kepada Dylan
lain waktu. Oleh karena itu kuputuskan untuk menonaktifkan ponselku lalu
melemparnya ke sisi lain tempat tidur. Setelah itu kutarik selimut hingga
menutupi wajahku.
***
Tiga
hari sudah berlalu sejak Mrs Bred menyampaikan kabar buruk mengenai kecelakaan
mobil yang dialami oleh wali kelasku, Mr Goyle. Tiga
hari sudah aku terbaring di tempat tidur tanpa sanggup melakukan apapun karena
sekujur tubuhku mati rasa. Tiga hari sudah aku absen dari sekolah. Tiga hari
pula aku menolak untuk berbicara dengan siapapun. Dan tanpa benar-benar kusadari, selama
tiga hari itu, peristiwa
kecelakan wali kelasku telah meracuni diriku.
Peristiwa
itu menjelma bak enzim yang kembali mengaktifkan trauma psikis yang seharusnya
sudah bisa kukendalikan setidaknya selama sebulan ini. Semenjak aku kehilangan
kesadaranku dan terjebak dalam halusinasi mengerikan tempo hari, otakku seakan
secara otomatis kembali membuka fortal ingatan yang sudah susah payah
kusembunyikan. Sungguh mengerikan. Bayangan wajah berlumuran darah Mom dan Dad, teriakkan Mom sebelum truk itu
menghantam mobil kami, rutin hadir mengusikku. Selama tiga hari ini aku bahkan
tidak bisa tidur. Setiap kali aku berusaha untuk memejamkan mata, aku langsung
tersedot ke dalam dimensi ruang yang menggambarkan lokasi kecelakan di jalanan
pegunungan itu. Entah apa gerangan yang terjadi denganku sekarang. Terkadang aku
merasa bahwa aku sudah kehilangan kewarasanku.
Suara
ketukan pintu menyadarkanku dari lamunan.
“Masuk,” seruku lemah.
Kali ini yang muncul dari balik pintu kamarku adalah Ben. Untuk kesekian
kalinya aku melihatnya memasang ekspresi aneh yang bagiku itu lebih terlihat
seperti ekspresi kasihan. Rasanya memalukan menyadari Ben selalu menemukanku
dalam keadaan yang menyedihkan. Entah sudah berapa kali aku menangis di
hadapannya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ben melangkah memasuki kamar.
Aku beranjak dari posisiku berbaring lalu menyandarkan
punggungku pada sandaran tempat tidur, “Sudah baikan,” jawabku.
Ben duduk di tepi tempat tidur dengan tubuhnya yang
menghadap ke arahku. Perlahan Ben menyunggingkan senyuman yang terlihat asing
di wajahnya, “Syukurlah,” katanya membuatku bingung.
Tidak ada lagi yang Ben katakan setelah itu. Ben hanya
menatapku dengan tatapan yang begitu intens. Aku merasa Ben sedang mencari
sesuatu di sana. Sesuatu di mataku yang membuatku berpikir bahwa Ben sedang
berusaha untuk membaca pikiranku.
“Mengapa kau peduli padaku?” tanyaku tiba-tiba.
Aku sungguh tidak menyangka pertanyaan semacam itu
bisa keluar begitu saja dari mulutku. Aku segera memalingkan wajahku untuk
menyembunyikan wajahku yang memerah dari pandangannya.
“Karena ibuku peduli padamu,” jawab Ben terdengar
monoton.
Mendengar jawaban Ben yang begitu dingin, membuatku
langsung menatapnya kesal. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku harus kesal
dibuatnya. Kemudian aku kembali memalingkan wajahku darinya menuju jendela yang
sengaja tidak kututup gordennya agar aku bisa melihat langit malam musim semi
yang cerah. Tapi aku masih bisa merasakan tatapan Ben yang membakar punggungku.
Hingga akhirnya aku menyerah lalu kembali menatap bola mata cokelatnya yang
terlihat begitu terang di bawah pantulan neon yang menggantung di langit-langit
kamarku.
“Apa bibi sudah tidur?” tanyaku.
“Belum,” jawab Ben, “Dia sedang meminum beberapa gelas
sherry di bawah sana,” imbuhnya membuatku merasa bersalah.
“Maafkan aku,” gumamku menundukan kepala, “Bibi pasti
gelisah karena mengkhawatirkanku,”
“Menurutmu begitu?” tanya Ben.
Aku langsung mengangkat kepalaku untuk kembali
menerima tatapannya. Tapi entah mengapa, kini tatapannya malah membuatku merasa
nyaman. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Ben menatapku kali ini.
“Aku terus menolak untuk menceritakan semuanya,” kataku.
Aku meremas selimut yang menutupi separuh tubuhku. Aku
tidak bisa menahan keinginanku untuk menceritakan semuanya kepada Ben.
Tatapannya yang tidak sedetikpun meninggalkanku membuatku merasa yakin bahwa
dia akan mendengarkanku. Mendengarkan semua ketakutanku.
“Tiga hari yang lalu ada guruku yang mengalami
kecelakaan. E.. Entah mengapa mendadak aku jadi teringat kembali dengan
peristiwa ke.. kecelakaan itu,” kataku menjelaskan.
Aku bisa merasakan kedua tanganku yang meremas selimut
mulai gemetar, “A,, aku pingsan dan tiba-tiba aku sudah berada di lokasi
kecelakaan itu,” lanjutku
Ekspresi wajah Ben sama sekali tidak berubah mendengar
ceritaku. Datar seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang kini berubah dari
tatapannya. Tidak ada tatapan jijik, kasihan ataupun prihatin seperti yang
selalu kulihat sebelumnya. Mengerti. Cara Ben menatapku saat ini seakan mengatakan
kepadaku bahwa Ben mengerti apa yang sedang kurasakan.
“Aku berada di jalanan yang gelap. Tak lama aku
mendengar suara dua mesin kendaraan yang melaju dari arah berlawanan,” aku
terdiam sejenak sambil memejamkan mataku, “Semakin dekat. Semakin dekat,”
Aku bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi
keningku ketika suara jeritan Mom kembali
terdengar di telingaku. Badanku merinding ketika potret wajah Mom dan Dad yang berlumuran darah berseliweran di depan mataku.
“Aku ingin menghentikannya,” seruku, “Tapi aku tidak
bisa. Aku berteriak. Tapi suaraku hilang ditelan raungan mesin dua kendaraan
itu. Dan.. Dan,”
Aku tidak bisa melanjutkannya. Rasa sakit di dadaku
terlalu banyak hingga membuatku sesak. Aku menenggelamkan wajahku di dalam
telapak tangan sambil mengerang frustasi.
“Kupikir aku sudah gila,” kataku lirih.
Aku tidak peduli dengan apa Ben pikirkan tentangku
saat ini. Dia mungkin mengira aku gila. Mungkin dia benar, mungkin aku sudah
gila.
“Kau tidak gila,” kata Ben kemudian membuatku terkejut.
Aku mendongak, mengangkat kepalaku untuk melihat Ben.
Ekspresinya tidak terbaca, tapi aku tahu dia berkata jujur.
“Lalu apa yang sebenarnya terjadi denganku?” tanyaku
menuntut, aku bisa mendengar keputusasaan dalam suaraku, “Kejadian itu sama
persis dengan kejadian di supermarket. Tiba-tiba aku berada di tempat lain yang
mengingatkanku pada Mom dan Dad,”
“Kau mengalami
kejadian traumatik, Irene,” kata Ben, “Setelah kejadian di supermarket dan
mendengar ceritamu barusan, aku menyadari bahwa kau masih trauma dengan
kecelakaan yang kau alami,”
Aku tidak mengerti dengan apa yang Ben katakan tapi
aku membiarkan Ben untuk melanjutkannya.
“Aku membaca beberapa artikel mengenai PTSD dan apa
yang kau alami itu disebut disosiasi,”
“Disosiasi?” tanyaku.
Ben mengangguk pelan, “Ketika kau mengalami disosiasi
itu disebabkan oleh sesuatu. Aroma, suara, musik, kata-kata, semua itu bisa
menjadi pemicu. Pemicu yang membawa kembali kenangan-kenangan pahit yang
membuatmu panik, atau sekedar membuatmu terguncang oleh perasaan yang sangat
kuat yang datang tiba-tiba. Aku berpikir bahwa berbelanja ke supermarket serta
kecelakaan yang menimpa wali kelasmu adalah pemicunya,”
“Apakah itu berati aku tidak bisa pergi ke supermarket
atau mendengar mengenai kecelakaan?”
Ben menggelengkan kepalanya, senyuman lemah terlukis
di permukaan wajahnya yang tampan, “Tidak. Ada beberapa trik yang bisa kau
lakukan untuk menjagamu tetap sadar,”
Apapun itu, asal aku tidak kembali mengalami kejadian
mengerikan itu.
“Contohnya,” Ben memulai, dia memperbaiki posisi
duduknya ingin mendapatkan posisi yang lebih nyaman, “Hal pertama yang harus
kau lakukan ketika kau marasa terguncang atau ketika kau mulai merasa
terdisosiasi kau harus mengingat kapan dan dimana kau berada. Kau bisa pergi ke
kulkas untuk mengambil es batu lalu menggenggamnya dalam tanganmu, membasuh
wajahmu dengan air atau apapun yang bisa membuktikan bahwa kau sadar,”
Oh, Ben, aku tidak bisa mengatakan kepadamu berapa kali aku mencoba untuk membasuh wajahku
hingga aku merasa wajahku akan terkelupas ketika aku mendapatkan mimpi buruk di
tengah malam. Aku membutuhkan yang lain.
“Kau juga bisa mencatat daftar kegiatan-kegiatan apa
saja yang bisa kau lakukan untuk mengalihkan perhatianmu ketika kau merasa
terguncang secara emosional. Kau bisa melakukan kegiatan fisik seperti mandi,
berlari, menggambar, menulis, mendengarkan musik, menyalakan lilin, menonton
film atau bermain piano untuk membuatmu merasa lebih baik”
“Hal yang paling penting,” Ben melanjutkan, “Adalah
memastikan bahwa kau makan secara teratur. Kau akan mudah terkena depresi jika
kau tidak menjaga kesehatanmu,”
Ben mengatakannya karena dia tahu aku hampir tidak
makan apapun selama tiga hari belakangan ini.
“Bagaimana kau bisa tahu semua ini?” tanyaku kemudian.
Aku tahu Ben membaca untuk mengetahui semua itu. Tapi
yang tidak aku tahu mengapa Ben melakukannya? Maksudku, mengapa Ben harus
membaca untuk mengetahui semua itu lalu memberitahukannya padaku?
Aku yakin Ben tahu apa maksud pertanyaanku yang
sebenarnya. Sesaat aku melihat ada kegundahan di wajahnya yang tetap pasif.
Seolah-olah dia sedang mengalami konflik batin untuk mengatakan yang sebenarnya
atau tidak. Lalu tiba-tiba dia menyungkingkan senyuman yang sangat asing
untukku, aku tidak pernah melihat Ben tersenyum seperti itu sebelumnya.
“Mom berpikir
untuk membawamu ke psikolog. Tapi aku tidak setuju karena aku tahu kau tidak
akan menyukainya,”
Ben mengatakannya tanpa melepaskan tatapannya padaku.
Aku melihat ada kekhawatiran dalam tatapannya yang membuatku merasakan sesuatu
yang aneh. Maksudku aku terbiasa melihat bibi Corinne menatapku dengan khawatir,
namun Ben, aku harus mengedipkan mataku beberapa kali untuk memastikan aku
tidak salah lihat.
“Apakah aku separah itu?” tanyaku.
“Mungkin,”
Aku merunduk menatap pangkuanku. Apa yang yang harus aku
lakukan sekarang?
“Semua yang kau katakan itu benar, Ben,” kataku mengakui,
“Aku benar-benar payah,”
Ben tidak mengatakan apa-apa. Awalnya kupikir Ben juga
mengira bahwa aku memang payah. Namun kemudian aku merasakan Ben membawaku
perlahan-lahan ke dalam pelukannya Sesaat setelah wajahku mendarat di permukaan
bahunya yang bidang, tangisanku pun langsung pecah. Air mataku mengalir deras
membasahi bajunya. Aku bisa merasakan telapak tangan Ben mulai menepuk-nepuk
punggungku untuk menenangkanku
“Apa yang kau hadapi memang berat,” kata Ben berbisik
di telingaku, “Tapi kau tidak boleh melupakan bahwa sekalipun mereka telah
pergi, kasih sayang mereka tidak akan hilang.”
Aku membeku mendengar apa yang Ben katakan. Hatiku
bergetar mendengarnya. Lama waktu berlalu dalam kebisuan membuatku akhirnya
mengerti apa yang Ben coba sampaikan.
“Aku merindukan mereka Ben. Aku sangat merindukan
mereka,” ungkapku lirih.
END - BAB VI
Komentar
Posting Komentar