Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB VIII]

PART 15

.

Beberapa minggu telah berlalu. Tibalah hari dimana konser amal yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh penghuni Royal Vogue High. Konser amal merupakan salah satu dari beberapa acara yang diselenggarakan oleh Royal Vogue High untuk menyambut datangnya musim panas yang istimewa di Selandia Baru. Istimewa karena musim panas di negara ini dimulai di bulan Desember, bulan yang paling sibuk di sepanjang tahun dimana hari-hari besar banyak yang jatuh di bulan ini. Acara ini dihadiri oleh seluruh murid beserta orangtua atau wali, guru-guru sampai komite sekolah.
Konser amal di Royal Vogue High, bukan hanya sebagai ajang untuk mengumpulkan dana guna disumbangkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan, melainkan juga sebagai ajang untuk menampilkan bakat dan kemampuan murid-murid untuk menghibur para tamu undangan yang hadir. Acara ini akan berlangsung selama tiga jam, mulai dari pukul enam sore sampai sembilan malam.
Klub orkestra simfoni akan menjadi salah satu pengisi acara malam ini. Dan sesuai dengan keinginan Mrs. Hale, aku dan Carly akan menjadi pengiring dengan bermain piano secara duet. Kami akan mengiringi beberapa lagu yang akan dimainkan oleh orkestra yang dipimpin oleh Robin di pertengahan acara sebelum pengumpulan dana. Bisa dibilang kami adalah bintang utama dalam konser malam ini. Oleh karena itu kami dituntut untuk tampil sempurna.
“Aku gugup,” gumam Carly cemas, ketika kami sedang berada di backstage menunggu giliran tampil.
“Tenanglah,” kataku.
Tapi Carly tidak mendengarkanku. Dia berjalan mengelilingi ruangan dengan kepala yang merunduk, menatap ujung sepatunya seolah-olah menghitung setiap langkah yang dia ambil. Aku tidak mengerti mengapa Carly melakukannya, tapi itu mulai membuatku risih. Maksudku, dia bergerak seperti komedi putar membuat kepalaku pusing melihatnya. Apalagi suara yang ditimbulkan oleh high heels yang dia pakai yang seakan-akan mengetuk-etuk gendang telingaku.
“Kita akan baik-baik saja,” kataku kemudian.
Akhirnya Carly menghentikan langkahnya. Bola mata sebiru langit miliknya mengamatiku untuk memastikan sesuatu sebelum kepalanya mengangguk setuju, “Ya, kau benar, aku akan baik-baik saja karena ada kau di sampingku. Kau akan mengingatkanku untuk tidak menekan nada yang salah bukan?”
Well, jadi itu yang ada dalam pikirkannya?
Aku menyunggingkan senyuman tipis untuk menjamin hal itu tidak akan terjadi. Carly yang terlihat puas dengan jawabanku, membalas senyumanku lalu duduk di sofa yang disediakan oleh panitia untuk orang-orang yang menunggu giliran tampil.  
Di dalam situasi seperti ini, aku teringat dengan mendiang Mom dan Dad. Dulu, sesibuk apapun Dad, dia selalu menyempatkan diri untuk menghadiri pertunjukanku. Mom dan Dad akan duduk di barisan paling depan. Mom selalu membawa kamera digital untuk memotret dan merekam penampilanku. Terkadang Mom menyelinap masuk ke belakang panggung untuk memotret beberapa pose diriku yang kalut menunggu giliran tampil. Tingkah Mom yang satu itu entah mengapa selalu berhasil menenangkanku dalam situasi yang paling kritis sekalipun. Well, seorang ibu memang selalu mempunyai caranya sendiri untuk menenangkan anak-anaknya. Entah dengan belaian lembut di kepala, kecupan manis di pipi, kata-kata bijak yang menenangkan hati ataupun tingkah-tingkah konyol dan menjengkelkan seperti yang dilakukan oleh Mom untuk membuatku melupakan kegugupanku. 
Sekarang aku mengerti bahwa bumi memang berputar dan waktu terus berjalan. Peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu tidak akan terjadi lagi di tahun ini. Karena kehidupan bergerak dinamis, terus berjalan detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun sampai seterusnya.
Aku tersenyum pilu merenungkan siklus kehidupan yang kualami. Well, bagaimana pun aku sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk berhenti merasa cemburu dengan masa lalu.
“Ngomong-ngomong, apakah bibimu akan datang?” tanya Carly membuyarkan lamunanku.
Aku berpikir sejenak, mencoba untuk mengumpulkan informasi. Well, otakku selalu bekerja lambat setiap kali aku mengingat masa lalu.
“Tidak,” kataku kecewa ketika menemukan jawabannya, ”Sepertinya Ben yang akan datang,” imbuhku yang sukses membuat Carly syok.
“Irene, katakan itu tidak benar!” pekik Carly terdengar jauh lebih senang daripada yang pernah kubayangkan, “Ben Flyod akan menonton pertunjukanku?!”
Aku memutar bola mataku melihat tingkah temanku yang satu ini. Sebenarnya aku tidak benar-benar yakin Ben akan datang menghadiri acara ini. Setelah bibi Corinne gagal datang karena ada hal penting yang harus dia  urus di luar kota, aku jadi sangsi apakah akan ada orang yang menonton pertunjukanku atau maksudku khusus datang untuk menonton pertunjukanku seperti yang selalu dilakukan oleh Mom dan Dad. Walaupun kuakui akhir-akhir ini Ben berubah menjadi begitu baik padaku, tapi aku tetap tidak bisa menjamin apakah dia akan datang memenuhi undangan sebagai waliku. Kurasa dia terlalu sibuk untuk menghadiri acara amal anak sekolahan.
“Hey, kalian sudah di sini!” seru Robin yang muncul berasama anggota klub orkestra simfoni lainnya.
Aku tersenyum lebar menyambut anggota klub orksetra simfoni yang malam ini tampil kompak dengan dresscode hitam-hitam sesuai dengan permintaan Mrs Hale. Anak laki-laki mengenakan setelan tuksedo hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Anak perempuan mengenakan dress hitam selutut tanpa lengan dengan bando hitam sebagai aksesoris. Sedikit berbeda dengan yang lain, Robin sebagai konduktor yang memimpin orkestra, mengenakan setelan yang lebih grande dengan tuksedo hitam yang lebih panjang bagian belakangnya hingga menyentuh belakang lutut. Sebagai pengiring, aku dan Carly tampil dengan mengenakan pakaian yang berbeda dari yang lain. Aku mengenakan dress Lielie berwarna putih selutut yang dibelikan oleh bibi Corinne kemarin sebagai ‘hadiah’ permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri acara ini. Sedangkan Carly, senada denganku, dia mengenakan dress berbahan brukat putih selutut dengan jepit berbentuk pita yang menghiasai rambutnya yang tergerai. 
“Oh, Robin. Aku gugup sekali,” kata Carly menghampiri Robin.
“Aku juga,” gumam anggota lain.
“Penontonnya ramai sekali,” ucap seseorang berbadan tambun dengan rambut keriting berwarna merah yang kukenali bernama Austin, ”Bagaimana jika senar biolaku putus?!” imbuhnya panik.
 “Bodoh, jangan berbicara seperti itu!” seru Robin melemparkan tatapan tidak suka kepada Austin, “Perkataan adalah doa,” katanya.
Austin nampak gugup di bawah tatapan Robin yang mengintimidasinya, “Maafkan aku,” gumamnya kemudian.
Carly terlihat semakin cemas melihat semua itu. Dia mulai menggigiti kuku-kuku jarinya.
“Ikut aku,” kataku kepada Carly menyeretnya menjauh dari pusaran kepanikan keluar dari backstage.
Aku berhenti ketika melihat Luke tidak jauh dari backstage. Dia sedang mengobrol dengan seorang gadis yang tidak aku kenal.
“Luke!” seru Carly memanggilnya.
Luke menoleh, lalu dia menyeringai lebar ketika melihat kami, “Hey!” sapanya sebelum berlari menghampiri kami, meninggalkan sang gadis yang nampak tidak suka melihat kami merebut Luke darinya.
“Wow!” seru Luke ketika berhenti di hadapan kami berdua, “Siapa gerangan dua gadis cantik yang berdiri di hadapanku ini?”
Aku memutar bola mataku mendengarnya.
“Kau mengatakannya bukan karena kau ingin dibilang keren bukan?” kata Carly bercanda namun cukup ampuh untuk membuat Luke tersipu.
Well, sampai sekarang aku tidak pernah tahu cowok bisa tersipu. Tapi, kurasa benar jika Carly bilang Luke keren. Paling tidak Luke terlihat berbeda  dengan mengenakan setelan abu-abu dan kemeja putih yang membungkus tubuhnya yang cukup berotot.
 “Hey, dimana Dylan? Kupikir dia bersamamu?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang mulai canggung.
“Dia ada di sana,” jawab Luke sambil menunjuk, “Dia sedang memenuhi permintaan foto dari para penggemarnya,”
Walaupun tidak begitu mengerti apa maksud perkataannya, aku memandang ke arah Luke menunjuk. Tak lama, aku melihat kepala Dylan dengan rambut pirangnnya yang menyala, menyembul di antara lautan para gadis yang mengelilinginya. Dylan terlihat kelabakan menghadapi para gadis yang menyeretnya kesana kemari. Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas sehingga aku tidak bisa melihat ekspresinya, tapi aku bisa membayangkan betapa kesalnya dia saat ini.
“Berani taruhan, pasti Kimberly ada di sana!” seru Carly terkekeh geli membayangkan ucapannya sendiri.
Luke hanya mengangkat bahu. Kupikir dia merasa prihatin dengan apa yang dihadapi oleh sahabatnya.
“Dia seperti cowboy yang nyaris mati dikelilingi oleh sapi-sapi betina yang liar,” kataku bercanda membuat Carly dan Luke tertawa.
Well, apa lagi analogi yang tepat untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapai oleh Dylan yang malang? Barang obralan yang diperebutkan oleh ibu-ibu?
Tak lama kami mendengar nama kami dipanggil oleh Robin yang muncul dari balik tirai backstage. Sepertinya giliran kami telah tiba.
Good luck!” seru Luke sebelum aku pergi menuju backstage untuk bergabung dengan Robin dan kawan-kawan.
Ketika aku menaiki panggung, aku hampir tidak merasakan perasaan apapun. Rasanya sama saja seperti berjalan di koridor sekolah yang ramai, aku bisa merasakan tatapan orang-orang padaku, tapi hanya terasa sekejap sehingga tidak cukup kuat untuk membuatku gugup. Namun ternyata perasaan itu tidak bertahan lama ketika mataku menangkap sesosok pria di antara lautan manusia. Dengan mengenakan kemeja hitam yang sederhana namun sudah cukup untuk memancarkan seluruh pesonanya, dia duduk di barisan paling depan, tepat di samping Mr. Goyle yang sudah cukup sehat pasca kecelakaan yang dialaminya.
Ben.
Ben menyunggingkan senyuman ketika dia mengetahui aku melihatnya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu aku tidak bisa melepaskan tatapanku darinya.
“Irene, ayo!” seru Carly menarik tanganku.
Aku hanya menatap Carly bingung, lalu membiarkannya menyeretku menuju tempat dimana piano berada. Ketika aku duduk di atas kursi piano, aku baru merasakan jantungku berdetak begitu cepat seolah-olah aku baru saja turun dari roller-coaster.
“Kau baik-baik saja, Irene?” tanya Carly khawatir.
Aku tidak menjawab karena aku tidak bisa menemukan dimana suaruku.
“Jangan gugup, kita pasti bisa,” kata Carly berusaha untuk tersenyum tapi dia gagal.
Tidak Carly, aku tidak gugup karena berada di atas panggung dengan ratusan orang yang menonton pertunjukanku. Aku hanya melihat satu orang di antara mereka. Dan melihatnya membuatku jauh lebih gugup dibandingkan melihat ratusan orang lainnya.

TBC

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b