PART 15
.
Beberapa minggu telah berlalu. Tibalah hari dimana
konser amal yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh penghuni Royal Vogue High. Konser
amal merupakan salah satu dari beberapa acara yang diselenggarakan oleh Royal
Vogue High untuk menyambut datangnya musim panas yang istimewa di Selandia
Baru. Istimewa karena musim panas di negara ini dimulai di bulan Desember,
bulan yang paling sibuk di sepanjang tahun dimana hari-hari besar banyak yang jatuh
di bulan ini. Acara ini dihadiri oleh seluruh murid beserta orangtua atau wali,
guru-guru sampai komite sekolah.
Konser amal di Royal Vogue High, bukan hanya sebagai ajang
untuk mengumpulkan dana guna disumbangkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan,
melainkan juga sebagai ajang untuk menampilkan bakat dan kemampuan murid-murid
untuk menghibur para tamu undangan yang hadir. Acara ini akan berlangsung
selama tiga jam, mulai dari pukul enam sore sampai sembilan malam.
Klub orkestra simfoni akan menjadi salah satu pengisi
acara malam ini. Dan sesuai dengan keinginan Mrs. Hale, aku dan Carly akan menjadi
pengiring dengan bermain piano secara duet. Kami akan mengiringi beberapa lagu
yang akan dimainkan oleh orkestra yang dipimpin oleh Robin di pertengahan acara
sebelum pengumpulan dana. Bisa dibilang kami adalah bintang utama dalam konser
malam ini. Oleh karena itu kami dituntut untuk tampil sempurna.
“Aku gugup,” gumam Carly cemas, ketika kami sedang
berada di backstage menunggu
giliran tampil.
“Tenanglah,” kataku.
Tapi Carly tidak mendengarkanku. Dia berjalan
mengelilingi ruangan dengan kepala yang merunduk, menatap ujung sepatunya
seolah-olah menghitung setiap langkah yang dia ambil. Aku tidak mengerti
mengapa Carly melakukannya, tapi itu mulai membuatku risih. Maksudku, dia
bergerak seperti komedi putar membuat kepalaku pusing melihatnya. Apalagi suara
yang ditimbulkan oleh high heels yang
dia pakai yang seakan-akan mengetuk-etuk gendang telingaku.
“Kita akan baik-baik saja,” kataku kemudian.
Akhirnya Carly menghentikan langkahnya. Bola mata
sebiru langit miliknya mengamatiku untuk memastikan sesuatu sebelum kepalanya
mengangguk setuju, “Ya, kau benar, aku akan baik-baik saja karena ada kau di
sampingku. Kau akan mengingatkanku untuk tidak menekan nada yang salah bukan?”
Well, jadi
itu yang ada dalam pikirkannya?
Aku menyunggingkan senyuman tipis untuk menjamin hal
itu tidak akan terjadi. Carly yang terlihat puas dengan jawabanku, membalas
senyumanku lalu duduk di sofa yang disediakan oleh panitia untuk orang-orang
yang menunggu giliran tampil.
Di dalam situasi seperti ini, aku teringat dengan mendiang
Mom dan Dad. Dulu, sesibuk apapun Dad,
dia selalu menyempatkan diri untuk menghadiri pertunjukanku. Mom dan Dad akan duduk di barisan paling depan. Mom selalu membawa kamera digital untuk memotret dan merekam penampilanku.
Terkadang Mom menyelinap masuk ke
belakang panggung untuk memotret beberapa pose diriku yang kalut menunggu
giliran tampil. Tingkah Mom yang satu
itu entah mengapa selalu berhasil menenangkanku dalam situasi yang paling kritis
sekalipun. Well, seorang ibu memang selalu
mempunyai caranya sendiri untuk menenangkan anak-anaknya. Entah dengan belaian
lembut di kepala, kecupan manis di pipi, kata-kata bijak yang menenangkan hati
ataupun tingkah-tingkah konyol dan menjengkelkan seperti yang dilakukan oleh Mom untuk membuatku melupakan
kegugupanku.
Sekarang aku mengerti bahwa bumi memang berputar dan
waktu terus berjalan. Peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu tidak akan
terjadi lagi di tahun ini. Karena kehidupan bergerak dinamis, terus berjalan
detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun sampai seterusnya.
Aku tersenyum pilu merenungkan siklus kehidupan yang
kualami. Well, bagaimana pun aku
sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk berhenti merasa cemburu dengan masa
lalu.
“Ngomong-ngomong, apakah bibimu akan datang?” tanya Carly
membuyarkan lamunanku.
Aku berpikir sejenak, mencoba untuk mengumpulkan
informasi. Well, otakku selalu
bekerja lambat setiap kali aku mengingat masa lalu.
“Tidak,” kataku kecewa ketika menemukan jawabannya,
”Sepertinya Ben yang akan datang,” imbuhku yang sukses membuat Carly syok.
“Irene, katakan itu tidak benar!” pekik Carly
terdengar jauh lebih senang daripada yang pernah kubayangkan, “Ben Flyod akan
menonton pertunjukanku?!”
Aku memutar bola mataku melihat tingkah temanku yang
satu ini. Sebenarnya aku tidak benar-benar yakin Ben akan datang menghadiri
acara ini. Setelah bibi Corinne gagal datang karena ada hal penting yang harus dia
urus di luar kota, aku jadi sangsi
apakah akan ada orang yang menonton pertunjukanku atau maksudku khusus datang
untuk menonton pertunjukanku seperti yang selalu dilakukan oleh Mom dan Dad. Walaupun kuakui akhir-akhir ini Ben berubah menjadi begitu baik
padaku, tapi aku tetap tidak bisa menjamin apakah dia akan datang memenuhi undangan
sebagai waliku. Kurasa dia terlalu sibuk untuk menghadiri acara amal anak
sekolahan.
“Hey, kalian sudah di sini!” seru Robin yang muncul
berasama anggota klub orkestra simfoni lainnya.
Aku tersenyum lebar menyambut anggota klub orksetra
simfoni yang malam ini tampil kompak dengan dresscode
hitam-hitam sesuai dengan permintaan Mrs Hale. Anak laki-laki mengenakan
setelan tuksedo hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Anak perempuan
mengenakan dress hitam selutut tanpa
lengan dengan bando hitam sebagai aksesoris. Sedikit berbeda dengan yang lain,
Robin sebagai konduktor yang memimpin orkestra, mengenakan setelan yang lebih
grande dengan tuksedo hitam yang lebih panjang bagian belakangnya hingga
menyentuh belakang lutut. Sebagai pengiring, aku dan Carly tampil dengan mengenakan
pakaian yang berbeda dari yang lain. Aku mengenakan dress Lielie
berwarna putih selutut yang dibelikan oleh bibi Corinne kemarin sebagai ‘hadiah’
permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri acara ini. Sedangkan Carly, senada
denganku, dia mengenakan dress berbahan
brukat putih selutut dengan jepit berbentuk pita yang menghiasai rambutnya yang
tergerai.
“Oh, Robin. Aku gugup sekali,” kata Carly menghampiri Robin.
“Aku juga,” gumam anggota lain.
“Penontonnya ramai sekali,” ucap seseorang berbadan
tambun dengan rambut keriting berwarna merah yang kukenali bernama Austin, ”Bagaimana
jika senar biolaku putus?!” imbuhnya panik.
“Bodoh, jangan
berbicara seperti itu!” seru Robin melemparkan tatapan tidak suka kepada
Austin, “Perkataan adalah doa,” katanya.
Austin nampak gugup di bawah tatapan Robin yang
mengintimidasinya, “Maafkan aku,” gumamnya kemudian.
Carly terlihat semakin cemas melihat semua itu. Dia
mulai menggigiti kuku-kuku jarinya.
“Ikut aku,” kataku kepada Carly menyeretnya menjauh
dari pusaran kepanikan keluar dari backstage.
Aku berhenti ketika melihat Luke tidak jauh dari backstage. Dia sedang mengobrol dengan
seorang gadis yang tidak aku kenal.
“Luke!” seru Carly memanggilnya.
Luke menoleh, lalu dia menyeringai lebar ketika
melihat kami, “Hey!” sapanya sebelum berlari menghampiri kami, meninggalkan
sang gadis yang nampak tidak suka melihat kami merebut Luke darinya.
“Wow!” seru Luke ketika berhenti di hadapan kami
berdua, “Siapa gerangan dua gadis cantik yang berdiri di hadapanku ini?”
Aku memutar bola mataku mendengarnya.
“Kau mengatakannya bukan karena kau ingin dibilang
keren bukan?” kata Carly bercanda namun cukup ampuh untuk membuat Luke tersipu.
Well, sampai
sekarang aku tidak pernah tahu cowok bisa tersipu. Tapi, kurasa benar jika
Carly bilang Luke keren. Paling tidak Luke terlihat berbeda dengan mengenakan setelan abu-abu dan kemeja
putih yang membungkus tubuhnya yang cukup berotot.
“Hey, dimana Dylan?
Kupikir dia bersamamu?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang mulai
canggung.
“Dia ada di sana,” jawab Luke sambil menunjuk, “Dia
sedang memenuhi permintaan foto dari para penggemarnya,”
Walaupun tidak begitu mengerti apa maksud perkataannya,
aku memandang ke arah Luke menunjuk. Tak lama, aku melihat kepala Dylan dengan
rambut pirangnnya yang menyala, menyembul di antara lautan para gadis yang mengelilinginya.
Dylan terlihat kelabakan menghadapi para gadis yang menyeretnya kesana kemari.
Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas sehingga aku tidak bisa melihat
ekspresinya, tapi aku bisa membayangkan betapa kesalnya dia saat ini.
“Berani taruhan, pasti Kimberly ada di sana!” seru Carly
terkekeh geli membayangkan ucapannya sendiri.
Luke hanya mengangkat bahu. Kupikir dia merasa
prihatin dengan apa yang dihadapi oleh sahabatnya.
“Dia seperti cowboy yang nyaris mati
dikelilingi oleh sapi-sapi betina yang liar,” kataku bercanda membuat Carly dan
Luke tertawa.
Well, apa
lagi analogi yang tepat untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapai oleh
Dylan yang malang? Barang obralan yang diperebutkan oleh ibu-ibu?
Tak lama kami mendengar nama kami dipanggil oleh Robin
yang muncul dari balik tirai backstage.
Sepertinya giliran kami telah tiba.
“Good luck!” seru Luke sebelum aku
pergi menuju backstage untuk
bergabung dengan Robin dan kawan-kawan.
Ketika aku menaiki panggung, aku hampir tidak
merasakan perasaan apapun. Rasanya sama saja seperti berjalan di koridor
sekolah yang ramai, aku bisa merasakan tatapan orang-orang padaku, tapi hanya
terasa sekejap sehingga tidak cukup kuat untuk membuatku gugup. Namun ternyata
perasaan itu tidak bertahan lama ketika mataku menangkap sesosok pria di antara
lautan manusia. Dengan mengenakan kemeja hitam yang sederhana namun sudah cukup
untuk memancarkan seluruh pesonanya, dia duduk di barisan paling depan, tepat
di samping Mr. Goyle yang sudah cukup sehat pasca kecelakaan yang dialaminya.
Ben.
Ben menyunggingkan senyuman ketika dia mengetahui aku
melihatnya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu aku tidak
bisa melepaskan tatapanku darinya.
“Irene, ayo!” seru Carly menarik tanganku.
Aku hanya menatap Carly bingung, lalu membiarkannya menyeretku
menuju tempat dimana piano berada. Ketika aku duduk di atas kursi piano, aku
baru merasakan jantungku berdetak begitu cepat seolah-olah aku baru saja turun
dari roller-coaster.
“Kau baik-baik saja, Irene?” tanya Carly khawatir.
Aku tidak menjawab karena aku tidak bisa menemukan
dimana suaruku.
“Jangan gugup, kita pasti bisa,” kata Carly berusaha untuk
tersenyum tapi dia gagal.
Tidak Carly, aku tidak gugup karena berada di atas panggung
dengan ratusan orang yang menonton pertunjukanku. Aku hanya melihat satu orang
di antara mereka. Dan melihatnya membuatku jauh lebih gugup dibandingkan melihat
ratusan orang lainnya.
TBC
Beberapa minggu telah berlalu. Tibalah hari dimana
konser amal yang telah ditunggu-tunggu oleh seluruh penghuni Royal Vogue High. Konser
amal merupakan salah satu dari beberapa acara yang diselenggarakan oleh Royal
Vogue High untuk menyambut datangnya musim panas yang istimewa di Selandia
Baru. Istimewa karena musim panas di negara ini dimulai di bulan Desember,
bulan yang paling sibuk di sepanjang tahun dimana hari-hari besar banyak yang jatuh
di bulan ini. Acara ini dihadiri oleh seluruh murid beserta orangtua atau wali,
guru-guru sampai komite sekolah.
Konser amal di Royal Vogue High, bukan hanya sebagai ajang
untuk mengumpulkan dana guna disumbangkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan,
melainkan juga sebagai ajang untuk menampilkan bakat dan kemampuan murid-murid
untuk menghibur para tamu undangan yang hadir. Acara ini akan berlangsung
selama tiga jam, mulai dari pukul enam sore sampai sembilan malam.
Klub orkestra simfoni akan menjadi salah satu pengisi
acara malam ini. Dan sesuai dengan keinginan Mrs. Hale, aku dan Carly akan menjadi
pengiring dengan bermain piano secara duet. Kami akan mengiringi beberapa lagu
yang akan dimainkan oleh orkestra yang dipimpin oleh Robin di pertengahan acara
sebelum pengumpulan dana. Bisa dibilang kami adalah bintang utama dalam konser
malam ini. Oleh karena itu kami dituntut untuk tampil sempurna.
“Aku gugup,” gumam Carly cemas, ketika kami sedang
berada di backstage menunggu
giliran tampil.
“Tenanglah,” kataku.
Tapi Carly tidak mendengarkanku. Dia berjalan
mengelilingi ruangan dengan kepala yang merunduk, menatap ujung sepatunya
seolah-olah menghitung setiap langkah yang dia ambil. Aku tidak mengerti
mengapa Carly melakukannya, tapi itu mulai membuatku risih. Maksudku, dia
bergerak seperti komedi putar membuat kepalaku pusing melihatnya. Apalagi suara
yang ditimbulkan oleh high heels yang
dia pakai yang seakan-akan mengetuk-etuk gendang telingaku.
“Kita akan baik-baik saja,” kataku kemudian.
Akhirnya Carly menghentikan langkahnya. Bola mata
sebiru langit miliknya mengamatiku untuk memastikan sesuatu sebelum kepalanya
mengangguk setuju, “Ya, kau benar, aku akan baik-baik saja karena ada kau di
sampingku. Kau akan mengingatkanku untuk tidak menekan nada yang salah bukan?”
Well, jadi
itu yang ada dalam pikirkannya?
Aku menyunggingkan senyuman tipis untuk menjamin hal
itu tidak akan terjadi. Carly yang terlihat puas dengan jawabanku, membalas
senyumanku lalu duduk di sofa yang disediakan oleh panitia untuk orang-orang
yang menunggu giliran tampil.
Di dalam situasi seperti ini, aku teringat dengan mendiang
Mom dan Dad. Dulu, sesibuk apapun Dad,
dia selalu menyempatkan diri untuk menghadiri pertunjukanku. Mom dan Dad akan duduk di barisan paling depan. Mom selalu membawa kamera digital untuk memotret dan merekam penampilanku.
Terkadang Mom menyelinap masuk ke
belakang panggung untuk memotret beberapa pose diriku yang kalut menunggu
giliran tampil. Tingkah Mom yang satu
itu entah mengapa selalu berhasil menenangkanku dalam situasi yang paling kritis
sekalipun. Well, seorang ibu memang selalu
mempunyai caranya sendiri untuk menenangkan anak-anaknya. Entah dengan belaian
lembut di kepala, kecupan manis di pipi, kata-kata bijak yang menenangkan hati
ataupun tingkah-tingkah konyol dan menjengkelkan seperti yang dilakukan oleh Mom untuk membuatku melupakan
kegugupanku.
Sekarang aku mengerti bahwa bumi memang berputar dan
waktu terus berjalan. Peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu tidak akan
terjadi lagi di tahun ini. Karena kehidupan bergerak dinamis, terus berjalan
detik demi detik, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun sampai seterusnya.
Aku tersenyum pilu merenungkan siklus kehidupan yang
kualami. Well, bagaimana pun aku
sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk berhenti merasa cemburu dengan masa
lalu.
“Ngomong-ngomong, apakah bibimu akan datang?” tanya Carly
membuyarkan lamunanku.
Aku berpikir sejenak, mencoba untuk mengumpulkan
informasi. Well, otakku selalu
bekerja lambat setiap kali aku mengingat masa lalu.
“Tidak,” kataku kecewa ketika menemukan jawabannya,
”Sepertinya Ben yang akan datang,” imbuhku yang sukses membuat Carly syok.
“Irene, katakan itu tidak benar!” pekik Carly
terdengar jauh lebih senang daripada yang pernah kubayangkan, “Ben Flyod akan
menonton pertunjukanku?!”
Aku memutar bola mataku melihat tingkah temanku yang
satu ini. Sebenarnya aku tidak benar-benar yakin Ben akan datang menghadiri
acara ini. Setelah bibi Corinne gagal datang karena ada hal penting yang harus dia
urus di luar kota, aku jadi sangsi
apakah akan ada orang yang menonton pertunjukanku atau maksudku khusus datang
untuk menonton pertunjukanku seperti yang selalu dilakukan oleh Mom dan Dad. Walaupun kuakui akhir-akhir ini Ben berubah menjadi begitu baik
padaku, tapi aku tetap tidak bisa menjamin apakah dia akan datang memenuhi undangan
sebagai waliku. Kurasa dia terlalu sibuk untuk menghadiri acara amal anak
sekolahan.
“Hey, kalian sudah di sini!” seru Robin yang muncul
berasama anggota klub orkestra simfoni lainnya.
Aku tersenyum lebar menyambut anggota klub orksetra
simfoni yang malam ini tampil kompak dengan dresscode
hitam-hitam sesuai dengan permintaan Mrs Hale. Anak laki-laki mengenakan
setelan tuksedo hitam dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Anak perempuan
mengenakan dress hitam selutut tanpa
lengan dengan bando hitam sebagai aksesoris. Sedikit berbeda dengan yang lain,
Robin sebagai konduktor yang memimpin orkestra, mengenakan setelan yang lebih
grande dengan tuksedo hitam yang lebih panjang bagian belakangnya hingga
menyentuh belakang lutut. Sebagai pengiring, aku dan Carly tampil dengan mengenakan
pakaian yang berbeda dari yang lain. Aku mengenakan dress Lielie
berwarna putih selutut yang dibelikan oleh bibi Corinne kemarin sebagai ‘hadiah’
permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri acara ini. Sedangkan Carly, senada
denganku, dia mengenakan dress berbahan
brukat putih selutut dengan jepit berbentuk pita yang menghiasai rambutnya yang
tergerai.
“Oh, Robin. Aku gugup sekali,” kata Carly menghampiri Robin.
“Aku juga,” gumam anggota lain.
“Penontonnya ramai sekali,” ucap seseorang berbadan
tambun dengan rambut keriting berwarna merah yang kukenali bernama Austin, ”Bagaimana
jika senar biolaku putus?!” imbuhnya panik.
“Bodoh, jangan
berbicara seperti itu!” seru Robin melemparkan tatapan tidak suka kepada
Austin, “Perkataan adalah doa,” katanya.
Austin nampak gugup di bawah tatapan Robin yang
mengintimidasinya, “Maafkan aku,” gumamnya kemudian.
Carly terlihat semakin cemas melihat semua itu. Dia
mulai menggigiti kuku-kuku jarinya.
“Ikut aku,” kataku kepada Carly menyeretnya menjauh
dari pusaran kepanikan keluar dari backstage.
Aku berhenti ketika melihat Luke tidak jauh dari backstage. Dia sedang mengobrol dengan
seorang gadis yang tidak aku kenal.
“Luke!” seru Carly memanggilnya.
Luke menoleh, lalu dia menyeringai lebar ketika
melihat kami, “Hey!” sapanya sebelum berlari menghampiri kami, meninggalkan
sang gadis yang nampak tidak suka melihat kami merebut Luke darinya.
“Wow!” seru Luke ketika berhenti di hadapan kami
berdua, “Siapa gerangan dua gadis cantik yang berdiri di hadapanku ini?”
Aku memutar bola mataku mendengarnya.
“Kau mengatakannya bukan karena kau ingin dibilang
keren bukan?” kata Carly bercanda namun cukup ampuh untuk membuat Luke tersipu.
Well, sampai
sekarang aku tidak pernah tahu cowok bisa tersipu. Tapi, kurasa benar jika
Carly bilang Luke keren. Paling tidak Luke terlihat berbeda dengan mengenakan setelan abu-abu dan kemeja
putih yang membungkus tubuhnya yang cukup berotot.
“Hey, dimana Dylan?
Kupikir dia bersamamu?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang mulai
canggung.
“Dia ada di sana,” jawab Luke sambil menunjuk, “Dia
sedang memenuhi permintaan foto dari para penggemarnya,”
Walaupun tidak begitu mengerti apa maksud perkataannya,
aku memandang ke arah Luke menunjuk. Tak lama, aku melihat kepala Dylan dengan
rambut pirangnnya yang menyala, menyembul di antara lautan para gadis yang mengelilinginya.
Dylan terlihat kelabakan menghadapi para gadis yang menyeretnya kesana kemari.
Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas sehingga aku tidak bisa melihat
ekspresinya, tapi aku bisa membayangkan betapa kesalnya dia saat ini.
“Berani taruhan, pasti Kimberly ada di sana!” seru Carly
terkekeh geli membayangkan ucapannya sendiri.
Luke hanya mengangkat bahu. Kupikir dia merasa
prihatin dengan apa yang dihadapi oleh sahabatnya.
“Dia seperti cowboy yang nyaris mati
dikelilingi oleh sapi-sapi betina yang liar,” kataku bercanda membuat Carly dan
Luke tertawa.
Well, apa
lagi analogi yang tepat untuk menggambarkan situasi yang sedang dihadapai oleh
Dylan yang malang? Barang obralan yang diperebutkan oleh ibu-ibu?
Tak lama kami mendengar nama kami dipanggil oleh Robin
yang muncul dari balik tirai backstage.
Sepertinya giliran kami telah tiba.
“Good luck!” seru Luke sebelum aku
pergi menuju backstage untuk
bergabung dengan Robin dan kawan-kawan.
Ketika aku menaiki panggung, aku hampir tidak
merasakan perasaan apapun. Rasanya sama saja seperti berjalan di koridor
sekolah yang ramai, aku bisa merasakan tatapan orang-orang padaku, tapi hanya
terasa sekejap sehingga tidak cukup kuat untuk membuatku gugup. Namun ternyata
perasaan itu tidak bertahan lama ketika mataku menangkap sesosok pria di antara
lautan manusia. Dengan mengenakan kemeja hitam yang sederhana namun sudah cukup
untuk memancarkan seluruh pesonanya, dia duduk di barisan paling depan, tepat
di samping Mr. Goyle yang sudah cukup sehat pasca kecelakaan yang dialaminya.
Ben.
Ben menyunggingkan senyuman ketika dia mengetahui aku
melihatnya. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, yang aku tahu aku tidak
bisa melepaskan tatapanku darinya.
“Irene, ayo!” seru Carly menarik tanganku.
Aku hanya menatap Carly bingung, lalu membiarkannya menyeretku
menuju tempat dimana piano berada. Ketika aku duduk di atas kursi piano, aku
baru merasakan jantungku berdetak begitu cepat seolah-olah aku baru saja turun
dari roller-coaster.
“Kau baik-baik saja, Irene?” tanya Carly khawatir.
Aku tidak menjawab karena aku tidak bisa menemukan
dimana suaruku.
“Jangan gugup, kita pasti bisa,” kata Carly berusaha untuk
tersenyum tapi dia gagal.
Tidak Carly, aku tidak gugup karena berada di atas panggung
dengan ratusan orang yang menonton pertunjukanku. Aku hanya melihat satu orang
di antara mereka. Dan melihatnya membuatku jauh lebih gugup dibandingkan melihat
ratusan orang lainnya.
TBC
Komentar
Posting Komentar