PART 10
.
“Apa kau kerasukan roh?” tanya Ben ketika kami sedang
memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam bagasi mobil.
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti, sepertinya saat
ini otakku sedang tidak ada di tempatnya.
“Kau mendadak diam,”
Aku perlu waktu beberapa detik untuk menemukan jawaban
yang tepat agar Ben tidak curiga dengan kondisiku.
“Karena tidak ada lagi yang harus kukatakan pada orang
yang sangat tidak pandai berbelanja ini,” sahutku ketus.
Ben menutup bagasinya, “Baguslah. Kupikir ada roh yang
merasukimu,”
Aku tidak menanggapi ucapannya. Ketika aku hendak
membuka pintu mobil tiba-tiba muncul seseorang yang menabrakku dengan keras sehingga
membuat badanku tersungkur menghantam body mobil. Lalu tak lama aku
mendengar suara tangisan anak kecil.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku panik kepada gadis kecil berambut
pendek yang kini duduk di aspal sambil memegangi lututnya yang tergores. Dia
mengenakan sepatu roda di kakinya. Well,
mungkin dia menabrakku karena kehilangan keseimbangan.
“Sakit,” katanya di tengah tangisan.
Aku segera mengambil tissue di tasku lalu membersihkan
darah yang mengalir dari lukanya pelan-pelan.
“Kakak bersihkan lukamu ya,” kataku berusaha untuk
tetap tenang sambil terus membersihkan lukanya.
“Maafkan aku kak,” katanya.
Aku tersenyum lemah mendengarnya, “Lain kali hati-hati
ya,” kataku mengingatkan.
“Pakai ini,” ucap Ben yang muncul tiba-tiba sambil menyerahkan
plaster luka padaku.
“Terimakasih,” gumamku menerima plester luka lalu
memakaikan pada anak itu.
“Kau tidak apa-apa adik kecil?” tanya Ben.
Anak itu mengangguk lemah lalu tiba-tiba dia beranjak
dari posisinya untuk berdiri di atas sepatu rodanya lagi, tapi dia hampir terjatuh
jika Ben tidak menangkapnya.
“Rachel!” panggil seorang wanita begitu keras.
Kontan kami menoleh menuju sumber suara. Tidak jauh
dari kami ada seorang wanita berambut gelap yang berdiri dengan tubuh sempoyongan.
“Mom!” teriak anak itu.
Ketika melihat anak itu, wanita itu segera berlari ke
arah kami. Dia meraih anaknya lalu
memeluknya dengan erat. Begitu erat, seolah-olah wanita itu takut anaknya akan
lenyap begitu saja jika dia mengendurkan pelukannya.
“Kau kemana saja? Mom sangat khawatir,” ucap
wanita itu sambil terisak.
“Maafkan aku,” kata Rachel menyesal.
Wanita itu menatap ke arah aku dan Ben, “Terimakasih,”
ungkapnya sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
“Terimakasih!” seru Rachel melambaikan tangan kecilnya.
Tiba-tiba air mataku meluncur dengan begitu deras
membasahi pipiku. Sekujur tubuhku gemetar tidak karuan hingga aku tidak sanggup
lagi untuk berdiri, namun Ben berhasil menangkapku sebelum aku mendarat di aspal.
“Ada apa?” tanya Ben panik sambil memegangku dalam
pelukannya.
Aku menatap Ben dengan air mata yang membasahi seluruh
wajahku, aku pasti terlihat menyedihkan, tapi aku tidak peduli.
“Katakan padaku, Ben,” kataku di tengah isakan, “Pernahkah kau kehilangan
seseorang yang kau cintai lalu menginginkan satu lagi kesempatan untuk bertemu dengan mereka? Pernahkah kau
berharap bisa menembus
waktu untuk kembali ke waktu ketika kau berpikir mereka akan selamanya ada untukmu?
Seandainya bisa seperti itu, Ben, kau mungkin bisa menghabiskan waktu seumur
hidupmu untuk menembus waktu mengunjungi hari-hari di masa lalu itu. Tapi itu
tidak akan cukup jika kau tetap kehilangan mereka sekarang!”
Ben tidak mengatakan apapun. Sepertinya Ben terlalu
syok untuk mengerti apa yang kukatakan. Oh, aku juga tidak mengerti apa yang kukatakan.
Tapi aku tidak peduli! Rasanya terlalu menyakitkan untukku. Aku tidak sanggup!
Aku tidak sanggup hidup tanpa Mom dan Dad!
Aku sangat merindukan mereka. Aku ingin pergi berbelanja
bersama Dad. Aku ingin pelukan Mom. Aku…
***
Hari sudah gelap ketika kami sampai di rumah.
Untungnya bibi Corinne berhasil menyelamatkan Rolade Krim Beri yang diubah
menjadi Rolade Krim Mocca. Bibi Corinne tidak jadi membuat Cake Almond
karena almond yang ditunggu-tunggu terlambat datang. Jelas saja kami
terlambat. Ben menungguku menangis di parkiran supermarket selama berjam-jam.
Aku juga tidak habis pikir mengapa si manusia berdarah dingin itu rela berdiri
berjam-jam hanya untuk menungguku menangis. Sesekali dia bahkan menghapus air
mataku dan bergumam bahwa semua akan baik-baik saja. Berjam-jam dia lakukan
semua itu tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang mungkin mengenalinya. Oh,
ayolah, bisa saja mereka berpikir yang macam-macam. Tapi kurasa Ben tidak
peduli. Dan sebenarnya aku pun tidak.
“Jadi, apa yang terjadi dengan matamu? Mengapa
bentuknya sudah seperti telur puyuh?” tanya bibi Corinne ketika kami sedang
makan malam.
Aku hanya menggelengkan kepala. Saat ini aku tidak
ingin menjawab pertanyaan siapapun.
“Ok, baiklah. Kau mungkin sedang tidak ingin diganggu.
Tapi setidaknya habiskan makan malammu. Bibi sangat mengkhawatirkan keadaanmu.
Bibi tidak ingin kau sakit,” ucap bibi Corinne.
Aku tertegun mendengarnya. Aku merasa sangat bersalah
karena semua keegoisanku. Akupun mengangguk lalu mulai menyantap makan malamku,
semampuku. Aku tidak menikmati bagaimana rasanya, aku hanya menelan dan menelan
sampai semuanya berhasil kuhabiskan.
Setelah mencuci semua piring kotor, aku kembali ke
lantai atas. Ada satu hal yang sangat ingin kulakukan. Saat ini aku benar-benar
merindukan Mom dan Dad. Dan hanya ada satu hal yang bisa
kulakukan untuk mengingat dengan jelas wajah mereka yang sedang tersenyum.
Aku menghentikan langkahku tepat di hadapan grand
piano hitam. Aku tahu lagu apa yang akan kumainkan. Lagu ini adalah lagu yang
sering kumainkan hampir setiap malam. Mom akan duduk di sofa yang berada
tepat di hadapan piano kecil yang ada di rumahku yang dulu. Mom akan
menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri mengikuti irama yang kumainkan.
The Holly and The Ivy
Tepat setelah aku menekan nada terakhir aku baru
menyadari bahwa pipiku sudah basah oleh air mata. Sepertinya air mataku terus
mengalir selama aku bermain. Mendadak aku merasakan kehadiran seseorang di
belakangku. Kemungkinan dia sudah berdiri di sana sejak tadi. Setelah menghapus
bersih air mataku, aku berbalik untuk melihat bibi Corinne sedang bertepuk
tangan.
“Indah sekali. Permainanmu indah sekali,” ungkap bibi Corinne
melangkah mendekatiku.
“Terimakasih,”
Bibi Corinne duduk di sofa yang berjarak tidak terlalu
jauh dari tempatku. Jaraknya cukup dekat untuk saling berkomunikasi.
Aku bisa merasakan tatapan bibi Corinne yang intens
padaku. Ketika aku membalas tatapannya, bibi Corinne langsung menyunggingkan
senyuman sendu yang sangat kumengerti apa maksudnya. Ada kekhawatiran, empati
dan kasih sayang dalam tatapannya.
“Ada apa?”
tanya bibi Corinne.
Aku tahu kemana arah pertanyaan bibi Corinne. Tentu
bibi Corinne mengkhawatirkanku. Bagaimana pun tadi aku sudah menghabiskan waktu
seharian hanya untuk pergi belanja. Apalagi aku pulang dalam keadaan yang
menyedihkan.
“Aku tidak apa-apa,” kataku bohong tanpa berani
menatapnya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.
Lama bibi Corinne terdiam sebelum akhirnya dia bangkit
dari duduknya.
“Baiklah. Tidak apa-apa jika kau tidak mau
menceritakannya pada bibi. Bibi pun tidak bisa memaksa Ben untuk menceritakan
apa yang terjadi,” ucap bibi Corinne.
Aku langsung menatapnya. Rasanya tangisku nyaris pecah
karena rasa bersalah pada bibi Corinne. Aku tahu aku sudah banyak merepotkannya.
“Ma.. Maafkan aku,” ungkapku akhirnya dengan kepala yang
tertunduk tidak berdaya.
Aku bisa merasakan tangan bibi Corinne di bahuku yang
perlahan-lahan mengelus pundakku dengan lembut. Cara ini adalah cara yang
sering dilakukan Mom untuk meredakan
tangisanku.
”Kau tahu Irene, seorang manusia tidak bisa hidup
seorang diri. Untuk menyapa, berbicara, bertukar pikiran, bercanda atau
bertengkar sekalipun, manusia selalu membutuhkan orang lain. Yang perlu kau lakukan
adalah menemukan seseorang yang bisa membuatmu merasa nyaman untuk melakukan
semua itu. Karena kau tidak bisa melakukan semuanya sendirian,” kata bibi
Corinne.
Tengkukku masih tertunduk ketika tangan bibi Corinne
mulai meninggalkan bahuku. Aku tidak mempunyai keberanian untuk menatapnya, karena
aku yakin tangisku akan langsung pecah setelahnya.
“Ngomong-ngomong, kue-kue yang tadi kita buat, sudah
bibi antarkan ke panti asuhan. Anak-anak itu senang sekali menerimanya,” kata
bibi Corinne memberitahu sebelum menuruni tangga untuk kembali ke lantai satu.
Setelah itu aku tidak sanggup lagi untuk menahan air
mataku.
END - BAB V
“Apa kau kerasukan roh?” tanya Ben ketika kami sedang
memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam bagasi mobil.
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti, sepertinya saat
ini otakku sedang tidak ada di tempatnya.
“Kau mendadak diam,”
Aku perlu waktu beberapa detik untuk menemukan jawaban
yang tepat agar Ben tidak curiga dengan kondisiku.
“Karena tidak ada lagi yang harus kukatakan pada orang
yang sangat tidak pandai berbelanja ini,” sahutku ketus.
Ben menutup bagasinya, “Baguslah. Kupikir ada roh yang
merasukimu,”
Aku tidak menanggapi ucapannya. Ketika aku hendak
membuka pintu mobil tiba-tiba muncul seseorang yang menabrakku dengan keras sehingga
membuat badanku tersungkur menghantam body mobil. Lalu tak lama aku
mendengar suara tangisan anak kecil.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku panik kepada gadis kecil berambut
pendek yang kini duduk di aspal sambil memegangi lututnya yang tergores. Dia
mengenakan sepatu roda di kakinya. Well,
mungkin dia menabrakku karena kehilangan keseimbangan.
“Sakit,” katanya di tengah tangisan.
Aku segera mengambil tissue di tasku lalu membersihkan
darah yang mengalir dari lukanya pelan-pelan.
“Kakak bersihkan lukamu ya,” kataku berusaha untuk
tetap tenang sambil terus membersihkan lukanya.
“Maafkan aku kak,” katanya.
Aku tersenyum lemah mendengarnya, “Lain kali hati-hati
ya,” kataku mengingatkan.
“Pakai ini,” ucap Ben yang muncul tiba-tiba sambil menyerahkan
plaster luka padaku.
“Terimakasih,” gumamku menerima plester luka lalu
memakaikan pada anak itu.
“Kau tidak apa-apa adik kecil?” tanya Ben.
Anak itu mengangguk lemah lalu tiba-tiba dia beranjak
dari posisinya untuk berdiri di atas sepatu rodanya lagi, tapi dia hampir terjatuh
jika Ben tidak menangkapnya.
“Rachel!” panggil seorang wanita begitu keras.
Kontan kami menoleh menuju sumber suara. Tidak jauh
dari kami ada seorang wanita berambut gelap yang berdiri dengan tubuh sempoyongan.
“Mom!” teriak anak itu.
Ketika melihat anak itu, wanita itu segera berlari ke
arah kami. Dia meraih anaknya lalu
memeluknya dengan erat. Begitu erat, seolah-olah wanita itu takut anaknya akan
lenyap begitu saja jika dia mengendurkan pelukannya.
“Kau kemana saja? Mom sangat khawatir,” ucap
wanita itu sambil terisak.
“Maafkan aku,” kata Rachel menyesal.
Wanita itu menatap ke arah aku dan Ben, “Terimakasih,”
ungkapnya sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
“Terimakasih!” seru Rachel melambaikan tangan kecilnya.
Tiba-tiba air mataku meluncur dengan begitu deras
membasahi pipiku. Sekujur tubuhku gemetar tidak karuan hingga aku tidak sanggup
lagi untuk berdiri, namun Ben berhasil menangkapku sebelum aku mendarat di aspal.
“Ada apa?” tanya Ben panik sambil memegangku dalam
pelukannya.
Aku menatap Ben dengan air mata yang membasahi seluruh
wajahku, aku pasti terlihat menyedihkan, tapi aku tidak peduli.
“Katakan padaku, Ben,” kataku di tengah isakan, “Pernahkah kau kehilangan
seseorang yang kau cintai lalu menginginkan satu lagi kesempatan untuk bertemu dengan mereka? Pernahkah kau
berharap bisa menembus
waktu untuk kembali ke waktu ketika kau berpikir mereka akan selamanya ada untukmu?
Seandainya bisa seperti itu, Ben, kau mungkin bisa menghabiskan waktu seumur
hidupmu untuk menembus waktu mengunjungi hari-hari di masa lalu itu. Tapi itu
tidak akan cukup jika kau tetap kehilangan mereka sekarang!”
Ben tidak mengatakan apapun. Sepertinya Ben terlalu
syok untuk mengerti apa yang kukatakan. Oh, aku juga tidak mengerti apa yang kukatakan.
Tapi aku tidak peduli! Rasanya terlalu menyakitkan untukku. Aku tidak sanggup!
Aku tidak sanggup hidup tanpa Mom dan Dad!
Aku sangat merindukan mereka. Aku ingin pergi berbelanja
bersama Dad. Aku ingin pelukan Mom. Aku…
***
Hari sudah gelap ketika kami sampai di rumah.
Untungnya bibi Corinne berhasil menyelamatkan Rolade Krim Beri yang diubah
menjadi Rolade Krim Mocca. Bibi Corinne tidak jadi membuat Cake Almond
karena almond yang ditunggu-tunggu terlambat datang. Jelas saja kami
terlambat. Ben menungguku menangis di parkiran supermarket selama berjam-jam.
Aku juga tidak habis pikir mengapa si manusia berdarah dingin itu rela berdiri
berjam-jam hanya untuk menungguku menangis. Sesekali dia bahkan menghapus air
mataku dan bergumam bahwa semua akan baik-baik saja. Berjam-jam dia lakukan
semua itu tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang mungkin mengenalinya. Oh,
ayolah, bisa saja mereka berpikir yang macam-macam. Tapi kurasa Ben tidak
peduli. Dan sebenarnya aku pun tidak.
“Jadi, apa yang terjadi dengan matamu? Mengapa
bentuknya sudah seperti telur puyuh?” tanya bibi Corinne ketika kami sedang
makan malam.
Aku hanya menggelengkan kepala. Saat ini aku tidak
ingin menjawab pertanyaan siapapun.
“Ok, baiklah. Kau mungkin sedang tidak ingin diganggu.
Tapi setidaknya habiskan makan malammu. Bibi sangat mengkhawatirkan keadaanmu.
Bibi tidak ingin kau sakit,” ucap bibi Corinne.
Aku tertegun mendengarnya. Aku merasa sangat bersalah
karena semua keegoisanku. Akupun mengangguk lalu mulai menyantap makan malamku,
semampuku. Aku tidak menikmati bagaimana rasanya, aku hanya menelan dan menelan
sampai semuanya berhasil kuhabiskan.
Setelah mencuci semua piring kotor, aku kembali ke
lantai atas. Ada satu hal yang sangat ingin kulakukan. Saat ini aku benar-benar
merindukan Mom dan Dad. Dan hanya ada satu hal yang bisa
kulakukan untuk mengingat dengan jelas wajah mereka yang sedang tersenyum.
Aku menghentikan langkahku tepat di hadapan grand
piano hitam. Aku tahu lagu apa yang akan kumainkan. Lagu ini adalah lagu yang
sering kumainkan hampir setiap malam. Mom akan duduk di sofa yang berada
tepat di hadapan piano kecil yang ada di rumahku yang dulu. Mom akan
menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri mengikuti irama yang kumainkan.
The Holly and The Ivy
Tepat setelah aku menekan nada terakhir aku baru
menyadari bahwa pipiku sudah basah oleh air mata. Sepertinya air mataku terus
mengalir selama aku bermain. Mendadak aku merasakan kehadiran seseorang di
belakangku. Kemungkinan dia sudah berdiri di sana sejak tadi. Setelah menghapus
bersih air mataku, aku berbalik untuk melihat bibi Corinne sedang bertepuk
tangan.
“Indah sekali. Permainanmu indah sekali,” ungkap bibi Corinne
melangkah mendekatiku.
“Terimakasih,”
Bibi Corinne duduk di sofa yang berjarak tidak terlalu
jauh dari tempatku. Jaraknya cukup dekat untuk saling berkomunikasi.
Aku bisa merasakan tatapan bibi Corinne yang intens
padaku. Ketika aku membalas tatapannya, bibi Corinne langsung menyunggingkan
senyuman sendu yang sangat kumengerti apa maksudnya. Ada kekhawatiran, empati
dan kasih sayang dalam tatapannya.
“Ada apa?”
tanya bibi Corinne.
Aku tahu kemana arah pertanyaan bibi Corinne. Tentu
bibi Corinne mengkhawatirkanku. Bagaimana pun tadi aku sudah menghabiskan waktu
seharian hanya untuk pergi belanja. Apalagi aku pulang dalam keadaan yang
menyedihkan.
“Aku tidak apa-apa,” kataku bohong tanpa berani
menatapnya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.
Lama bibi Corinne terdiam sebelum akhirnya dia bangkit
dari duduknya.
“Baiklah. Tidak apa-apa jika kau tidak mau
menceritakannya pada bibi. Bibi pun tidak bisa memaksa Ben untuk menceritakan
apa yang terjadi,” ucap bibi Corinne.
Aku langsung menatapnya. Rasanya tangisku nyaris pecah
karena rasa bersalah pada bibi Corinne. Aku tahu aku sudah banyak merepotkannya.
“Ma.. Maafkan aku,” ungkapku akhirnya dengan kepala yang
tertunduk tidak berdaya.
Aku bisa merasakan tangan bibi Corinne di bahuku yang
perlahan-lahan mengelus pundakku dengan lembut. Cara ini adalah cara yang
sering dilakukan Mom untuk meredakan
tangisanku.
”Kau tahu Irene, seorang manusia tidak bisa hidup
seorang diri. Untuk menyapa, berbicara, bertukar pikiran, bercanda atau
bertengkar sekalipun, manusia selalu membutuhkan orang lain. Yang perlu kau lakukan
adalah menemukan seseorang yang bisa membuatmu merasa nyaman untuk melakukan
semua itu. Karena kau tidak bisa melakukan semuanya sendirian,” kata bibi
Corinne.
Tengkukku masih tertunduk ketika tangan bibi Corinne
mulai meninggalkan bahuku. Aku tidak mempunyai keberanian untuk menatapnya, karena
aku yakin tangisku akan langsung pecah setelahnya.
“Ngomong-ngomong, kue-kue yang tadi kita buat, sudah
bibi antarkan ke panti asuhan. Anak-anak itu senang sekali menerimanya,” kata
bibi Corinne memberitahu sebelum menuruni tangga untuk kembali ke lantai satu.
Setelah itu aku tidak sanggup lagi untuk menahan air
mataku.
END - BAB V
Komentar
Posting Komentar