Langsung ke konten utama

THE LONG AND WINDING ROAD [BAB V]

PART 10

.

“Apa kau kerasukan roh?” tanya Ben ketika kami sedang memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam bagasi mobil.
“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti, sepertinya saat ini otakku sedang tidak ada di tempatnya.
“Kau mendadak diam,”
Aku perlu waktu beberapa detik untuk menemukan jawaban yang tepat agar Ben tidak curiga dengan kondisiku.
“Karena tidak ada lagi yang harus kukatakan pada orang yang sangat tidak pandai berbelanja ini,” sahutku ketus.
Ben menutup bagasinya, “Baguslah. Kupikir ada roh yang merasukimu,”
Aku tidak menanggapi ucapannya. Ketika aku hendak membuka pintu mobil tiba-tiba muncul seseorang yang menabrakku dengan keras sehingga membuat badanku tersungkur menghantam body mobil. Lalu tak lama aku mendengar suara tangisan anak kecil.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku panik kepada gadis kecil berambut pendek yang kini duduk di aspal sambil memegangi lututnya yang tergores. Dia mengenakan sepatu roda di kakinya. Well, mungkin dia menabrakku karena kehilangan keseimbangan.
“Sakit,” katanya di tengah tangisan.
Aku segera mengambil tissue di tasku lalu membersihkan darah yang mengalir dari lukanya pelan-pelan.
“Kakak bersihkan lukamu ya,” kataku berusaha untuk tetap tenang sambil terus membersihkan lukanya.
“Maafkan aku kak,” katanya.
Aku tersenyum lemah mendengarnya, “Lain kali hati-hati ya,” kataku mengingatkan.
“Pakai ini,” ucap Ben yang muncul tiba-tiba sambil menyerahkan plaster luka padaku.
“Terimakasih,” gumamku menerima plester luka lalu memakaikan pada anak itu.
“Kau tidak apa-apa adik kecil?” tanya Ben.
Anak itu mengangguk lemah lalu tiba-tiba dia beranjak dari posisinya untuk berdiri di atas sepatu rodanya lagi, tapi dia hampir terjatuh jika Ben tidak menangkapnya.
“Rachel!” panggil seorang wanita begitu keras.
Kontan kami menoleh menuju sumber suara. Tidak jauh dari kami ada seorang wanita berambut gelap yang berdiri dengan tubuh sempoyongan. 
Mom!” teriak anak itu.
Ketika melihat anak itu, wanita itu segera berlari ke arah kami.  Dia meraih anaknya lalu memeluknya dengan erat. Begitu erat, seolah-olah wanita itu takut anaknya akan lenyap begitu saja jika dia mengendurkan pelukannya.
“Kau kemana saja? Mom sangat khawatir,” ucap wanita itu sambil terisak.
“Maafkan aku,” kata Rachel menyesal.
Wanita itu menatap ke arah aku dan Ben, “Terimakasih,” ungkapnya sebelum beranjak pergi meninggalkan kami.
“Terimakasih!” seru Rachel melambaikan tangan kecilnya.
Tiba-tiba air mataku meluncur dengan begitu deras membasahi pipiku. Sekujur tubuhku gemetar tidak karuan hingga aku tidak sanggup lagi untuk berdiri, namun Ben berhasil menangkapku sebelum aku mendarat di aspal.
“Ada apa?” tanya Ben panik sambil memegangku dalam pelukannya.
Aku menatap Ben dengan air mata yang membasahi seluruh wajahku, aku pasti terlihat menyedihkan, tapi aku tidak peduli.
“Katakan padaku, Ben,” kataku di tengah isakan, “Pernahkah kau kehilangan seseorang yang kau cintai lalu menginginkan satu lagi kesempatan untuk bertemu dengan mereka? Pernahkah kau berharap bisa menembus waktu untuk kembali ke waktu ketika kau berpikir mereka akan selamanya ada untukmu? Seandainya bisa seperti itu, Ben, kau mungkin bisa menghabiskan waktu seumur hidupmu untuk menembus waktu mengunjungi hari-hari di masa lalu itu. Tapi itu tidak akan cukup jika kau tetap kehilangan mereka sekarang!”
Ben tidak mengatakan apapun. Sepertinya Ben terlalu syok untuk mengerti apa yang kukatakan. Oh, aku juga tidak mengerti apa yang kukatakan. Tapi aku tidak peduli! Rasanya terlalu menyakitkan untukku. Aku tidak sanggup! Aku tidak sanggup hidup tanpa Mom dan Dad!
Aku sangat merindukan mereka. Aku ingin pergi berbelanja bersama Dad. Aku ingin pelukan Mom. Aku…

***

Hari sudah gelap ketika kami sampai di rumah. Untungnya bibi Corinne berhasil menyelamatkan Rolade Krim Beri yang diubah menjadi Rolade Krim Mocca. Bibi Corinne tidak jadi membuat Cake Almond karena almond yang ditunggu-tunggu terlambat datang. Jelas saja kami terlambat. Ben menungguku menangis di parkiran supermarket selama berjam-jam. Aku juga tidak habis pikir mengapa si manusia berdarah dingin itu rela berdiri berjam-jam hanya untuk menungguku menangis. Sesekali dia bahkan menghapus air mataku dan bergumam bahwa semua akan baik-baik saja. Berjam-jam dia lakukan semua itu tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang mungkin mengenalinya. Oh, ayolah, bisa saja mereka berpikir yang macam-macam. Tapi kurasa Ben tidak peduli. Dan sebenarnya aku pun tidak.
“Jadi, apa yang terjadi dengan matamu? Mengapa bentuknya sudah seperti telur puyuh?” tanya bibi Corinne ketika kami sedang makan malam.
Aku hanya menggelengkan kepala. Saat ini aku tidak ingin menjawab pertanyaan siapapun.
“Ok, baiklah. Kau mungkin sedang tidak ingin diganggu. Tapi setidaknya habiskan makan malammu. Bibi sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Bibi tidak ingin kau sakit,” ucap bibi Corinne.
Aku tertegun mendengarnya. Aku merasa sangat bersalah karena semua keegoisanku. Akupun mengangguk lalu mulai menyantap makan malamku, semampuku. Aku tidak menikmati bagaimana rasanya, aku hanya menelan dan menelan sampai semuanya berhasil kuhabiskan.
Setelah mencuci semua piring kotor, aku kembali ke lantai atas. Ada satu hal yang sangat ingin kulakukan. Saat ini aku benar-benar merindukan Mom dan Dad. Dan hanya ada satu hal yang bisa kulakukan untuk mengingat dengan jelas wajah mereka yang sedang tersenyum.
Aku menghentikan langkahku tepat di hadapan grand piano hitam. Aku tahu lagu apa yang akan kumainkan. Lagu ini adalah lagu yang sering kumainkan hampir setiap malam. Mom akan duduk di sofa yang berada tepat di hadapan piano kecil yang ada di rumahku yang dulu. Mom akan menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri mengikuti irama yang kumainkan.

The Holly and The Ivy

Tepat setelah aku menekan nada terakhir aku baru menyadari bahwa pipiku sudah basah oleh air mata. Sepertinya air mataku terus mengalir selama aku bermain. Mendadak aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku. Kemungkinan dia sudah berdiri di sana sejak tadi. Setelah menghapus bersih air mataku, aku berbalik untuk melihat bibi Corinne sedang bertepuk tangan.
“Indah sekali. Permainanmu indah sekali,” ungkap bibi Corinne melangkah mendekatiku.
“Terimakasih,”
Bibi Corinne duduk di sofa yang berjarak tidak terlalu jauh dari tempatku. Jaraknya cukup dekat untuk saling berkomunikasi.
Aku bisa merasakan tatapan bibi Corinne yang intens padaku. Ketika aku membalas tatapannya, bibi Corinne langsung menyunggingkan senyuman sendu yang sangat kumengerti apa maksudnya. Ada kekhawatiran, empati dan kasih sayang dalam tatapannya.
 “Ada apa?” tanya bibi Corinne.
Aku tahu kemana arah pertanyaan bibi Corinne. Tentu bibi Corinne mengkhawatirkanku. Bagaimana pun tadi aku sudah menghabiskan waktu seharian hanya untuk pergi belanja. Apalagi aku pulang dalam keadaan yang menyedihkan.
“Aku tidak apa-apa,” kataku bohong tanpa berani menatapnya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir.
Lama bibi Corinne terdiam sebelum akhirnya dia bangkit dari duduknya.
“Baiklah. Tidak apa-apa jika kau tidak mau menceritakannya pada bibi. Bibi pun tidak bisa memaksa Ben untuk menceritakan apa yang terjadi,” ucap bibi Corinne.
Aku langsung menatapnya. Rasanya tangisku nyaris pecah karena rasa bersalah pada bibi Corinne. Aku tahu aku sudah banyak merepotkannya.
“Ma.. Maafkan aku,” ungkapku akhirnya dengan kepala yang tertunduk tidak berdaya.
Aku bisa merasakan tangan bibi Corinne di bahuku yang perlahan-lahan mengelus pundakku dengan lembut. Cara ini adalah cara yang sering dilakukan Mom untuk meredakan tangisanku.
”Kau tahu Irene, seorang manusia tidak bisa hidup seorang diri. Untuk menyapa, berbicara, bertukar pikiran, bercanda atau bertengkar sekalipun, manusia selalu membutuhkan orang lain. Yang perlu kau lakukan adalah menemukan seseorang yang bisa membuatmu merasa nyaman untuk melakukan semua itu. Karena kau tidak bisa melakukan semuanya sendirian,” kata bibi Corinne.
Tengkukku masih tertunduk ketika tangan bibi Corinne mulai meninggalkan bahuku. Aku tidak mempunyai keberanian untuk menatapnya, karena aku yakin tangisku akan langsung pecah setelahnya.
“Ngomong-ngomong, kue-kue yang tadi kita buat, sudah bibi antarkan ke panti asuhan. Anak-anak itu senang sekali menerimanya,” kata bibi Corinne memberitahu sebelum menuruni tangga untuk kembali ke lantai satu.
Setelah itu aku tidak sanggup lagi untuk menahan air mataku. 

END - BAB V

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Orion Sang Pemburu

ORION adalah rasi bintang di langit yang dikenal sebagai rasi bintang sang pemburu. Dengan 3 bintang sejajar dan 4  bintang yang melingkupinya, rasi ini mungkin merupakan salah satu rasi bintang yang paling mudah dikenali di angkasa. Letaknya di ekuator langit, terlihat dari hampir seluruh bagian bumi. Di Indonesia rasi ini dikenal sebagai Waluku, pertanda bagi petani untuk mulai membajak sawah. Orion tampak paling jelas pada pukul 21:00 selama bulan Januari-Februari. Rasi bintang Orion bisa dilihat di langit sebelah barat. Untuk melihat Orion sebagai seorang pemburu, kita bisa berimajinasi. 3 bintang sejajar yang cukup terang; Alnitak (zeta Orionid), Alnilam (epsilon Orionid), Mintaka (delta Orionid) membentuk sabuk sang pemburu. Bergeser ke sebelah selatannya, tiga buah bintang yang lebih redup menandakan pedangnya. Di ujung sebelah kiri, bintang Betelgeuse (alpha Orionids) digambarkan sebagai bahu Orion. Di bawahnya secara diagonal terdapat bintang Rigel (Beta

The Landscape With The Fall Of Icarus

Icarus dan Daedalus, sebuah mitologi Yunani : "Ayah Icarus, Daedalus, memberikan sepasang sayap kepada anaknya. Bulu-bulu sayap itu terbuat dari lilin. Daedalus memperingatkan Icarus untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari. Tidak menuruti perintah ayahnya, Icarus malah terbang menuju matahari. Sayapnya meleleh dan dia jatuh ke dalam laut di bawahnya lalu tenggelam." Pada tahun 1560-an, Pieter Bruegel, seorang pelukis Renaisans, menggambarkan kisah tentang Icarus ke dalam lukisannya yang berjudul The Landscape With The Fall Of Icarus : ANALISA LUKISAN : Lukisan ini mengandung cerita. Persfektif dilihat dari atas, dari sudut pandang Daedalus. Icarus bukanlah fokus lukisan. Kakinya tergantung di udara saat ia tenggelam di sudut kanan bawah. Tidak ada orang yang berhenti dan mencoba untuk menyelamatkannya. Meskipun tampaknya subjek lukisan adalah Icarus, hal ini tidak terjadi. Bruegel lebih tertarik menggambarkan pekerja kelas bawah dalam cahaya y

Jendela Rumah Sakit

Jendela Rumah sakit Ada dua orang pria, keduanya sakit parah, mereka menghuni ruangan perawatan yang sama di sebuah rumah sakit. Pria yang satu diizinkan duduk di tempat tidurnya selama satu jam setiap siang untuk membantu mengeringkan cairan dalam paru-parunya. Tempat tidurnya berada di satu-satunya jendela yang ada di ruangan. Pria yang lain harus menghabiskan seluruh waktunya berbaring di tempat tidur. Kedua pria itu mengobrol tanpa henti. Mereka membicarakan tentang isteri dan keluarga mereka, rumah mereka, pekerjaan mereka, serta pengalaman mereka selama wajib militer. Setiap siang pria di samping jendela duduk. Untuk mengisi waktu dia menceritakan semua yang dilihatnya dari luar jendela kepada teman sekamarnya. Pria itu berkata, "Jendela ini memperlihatkan sebuah taman dengan danau yang cantik. Bebek-bebek dan angsa-angsa bermain-main di permukaan air saat anak-anak melayarkan perahu mainan mereka. Oh, ada pasangan muda berjalan bergandengan tangan di antara b