R I N G K A S A N
13 tahun yang lalu Jared James Williams (12 thn) menjadi saksi kasus penculikan Zoe Jane Foster (6 thn) di atas kapal pesiar yang sedang berlayar melintasi samudera Atlantik. Selama bertahun-tahun Jared bekerja sama dengan FBI memburu jejak Zoe sampai ke London. Dengan dihantui oleh janji yang tidak bisa ditepati, Jared berusaha keras mengumpulkan petunjuk-petunjuk untuk membongkar misteri keberadaan Zoe. Dapatkah Jared menemukan Zoe? Siapakah Rosie Marie Grace? Apakah hubungan dia dengan Zoe?
L O S T & F O U N D
B A G I A N S A T U
.
Cause you’re a sky, cause you’re a sky full of star
I wanna die in your arms
Cause you get lighter the more it gets dark
I’m gonna give you my heart
And I don’t care, go on and tear me apart
And I don’t care if you do
Cause in a sky, cause in a sky full of stars
I think I see you
Such a heavenly view
You’re such a heavenly view
A Sky Full Of Star – Coldplay
.
13 TAHUN YANG LALU
SAMUDERA ATLANTIK bergejolak malam ini. Seolah-olah sang Poseidon sedang mengamuk dan mengacam untuk membenturkan trisulanya yang hanya akan mendatangkan kehancuran di muka bumi. Jared James Williams, 12 tahun, menyasikan pemandangan menakutkan itu melalui jendela kaca yang membentang lebar di hadapannya dari dalam Queens Room Ballroom yang terletak di dek ke-3 kapal pesiar RMS Queen Marie. Orang-orang yang berada di sekelilingnya mengaggumi kengerian yang sedang Jared saksikan sebagai sebuah pemandangan yang spektakuler, menakjubkan, tidak terlupakan dan luar biasa mahal –mahal karena mereka harus menggelontorkan puluhan ribu dollar untuk setiap malam berlayar di atas kapal pesiar buatan negeri Ratu Elizabeth ini.
Apapun yang orang-orang sinting itu katakan, Jared khawatir gelombang air laut yang semakin mengganas itu akan melemparkan kapal pesiar yang dia tumpangi ini lalu menjungkirbalikannya secara instan. Kemudian secara perlahan-lahan tapi pasti kapal pesiar ini pun akan tenggelam ke dasar lautan yang paling dalam dimana terdapat sekelompok ikan hiu yang kelaparan bersiap-siap untuk menerkam dan memangsanya. Membayangkannya saja sudah membuat sekujur tubuhnya panas-dingin. Apalagi dengan pusing serta mual yang dia rasakan akibat mabuk laut. Rasanya seperti seluruh indera di sekujur tubuhnya menjadi terlalu sensitif terhadap keadaan mencekam di sekitarnya.
Well, hanya Tuhan yang benar-benar tahu berapa lama lagi Jared bisa bertahan.
“Kalau begitu mengapa aku berada di sini?”
Tentu saja Jared tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri. Dengan kejengkelan yang kentara di wajahnya yang masih kekanak-kanakan, Jared menengadah menuju pusat ruangan. Sekalipun berada di barisan paling belakang, dengan tempat duduk yang dibuat berjenjang Jared bisa melihat garis lantai dansa yang licin dan mengkilap secara jelas. Di dalam ruangan selebar 134 kaki di antara puluhan pasangan yang kebanyakan sudah lanjut usia, tidak sulit untuk Jared menemukan sepasang suami-isteri seperempat baya yang sedang berdansa mengikuti alunan musik yang dimainkan oleh para musisi di panggung utama. Ibunya mengenakan gaun panjang berwarna biru tua yang menjuntai menyentuh lantai. Kepalanya dengan rambut kecokelatan yang digulung dengan anggun ke belakang menyandar pada permukaan dada bidang ayahnya yang mengenakan setelan gelap yang membungkus tubuh tinggi besarnya dengan pas. Lengan ibunya melingkar di sekitar tubuh ayahnya begitu pula sebaliknya. Mereka berdua melekat satu sama lain dan tenggelam bersama-sama ke dalam dunia mereka sendiri dimana keberadaan putera semata wayang mereka dilupakan.
“Seharusnya aku tidak pernah menyetujui rencana ini!” gerutunya jengkel.
“Apa Mom bilang?!” desak Jared.
Ibunya menatap Jared dengan sepasang mata berwarna karamel yang berkilauan oleh semangat serta harapan, “Sayangku, liburan musim panas tahun ini akan menjadi perjalanan yang sangat panjang. 2 minggu pertama akan kita habiskan dengan mengarungi samudera atlantik menuju Norwegia. Setelah itu kita akan mengunjungi Darcy di Tromso. Oh, sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melihatnya. Lalu-.”
“Tidak mau!” seru Jared memotong tiba-tiba sebelum dia sempat memikirkan apa yang akan dia katakan, “Mom...,” gumamnya putus asa, “Kupikir kita akan menghabiskan liburan musim panas?”
Ibunya mengangguk sekali. Namun sebelum dia sempat mengatakan sesuatu Jared keburu menyela tidak sabaran, “Tapi Norwegia bukan tempat yang tempat untuk menikmati musim panas yang panas! Tahun ini aku ingin pergi ke pantai untuk belajar berselancar dengan paman Andrew!”
Kali ini ibunya menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Kau bisa menghabiskan seumur hidupmu berselancar di Florida, sayang. Tapi tidak tahun ini.”
Jared mengerang tidak setuju. Kemudian tatapan kelabunya beralih kepada ayahnya yang tetap diam saja sepanjang perdebatan mereka. Ayahnya menyesap kopi hitamnya dengan santai sebelum membalas tatapan Jared. Biasanya ayahnya tidak akan senang jika ada perdebatan di atas meja makan. Namun kali ini ayahnya justru tampak sangat gembira dengan senyuman mengembang lebar di wajahnya. Sepasang mata kelabu miliknya menatap Jared dengan intensitas yang sanggup membuat Jared menutup mulutnya yang gatal. Sekarang dia lupa lagi apa gerangan yang seharusnya dia katakan. Namun bukan karena ketakutan melainkan karena keheranan. Aneh melihat ayahnya bersikap seperti itu. Lebih aneh lagi ketika dia mendengar ayahnya berbicara dengan suara dingin yang kontras dengan senyuman hangat yang masih saja menempel di wajahnya yang mulai terlihat menyeramkan.
“Ayah sudah memesan tiket untuk kita semua sejak sebulan yang lalu. Sekarang lebih baik kau mulai mengemasi barang-barangmu, nak. Ayah yakin kau tidak mau melewatkan perjalanan ini.”
Setelah perdebatan alot di hari Minggu pagi itu tidak lebih dari seminggu kemudian mereka berangkat menuju pelabuhan Brooklyn New York. Tepat pukul 5 sore tadi, RMS Queen Marie mengangkat jangkarnya untuk berlayar melintasi samudera Atlantik yang membentang luas dari pantai timur Amerika Utara dan Amerika Latin hingga pantai barat benua Eropa dan benua Afrika. Dengan kecepatan rata-rata mencapai 30 knots atau 56 kilometer per jam kapal pesiar yang mengangkut lebih dari 2500 orang penumpang ini akan berlabuh di Southampton Inggris sekitar 7 hari dari sekarang sebelum melanjutkan perjalanan menuju Norwegia.
Perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang benar-benar panjang dan melelahkan. Jared membayangkan apa gerangan yang akan terjadi padanya jika di malam pertama saja dia sudah sekarat.
Jared mendengus kesal menyaksikan ibunya tertawa dari kejauhan. Well, apapun yang sedang orangtuanya bicarakan, hanya ibunya lah yang akan tertawa seperti itu mendengarkan lelucon payah yang dilontarkan oleh ayahnya. Dari lantai dansa Jared mendongakan kepalanya ke atas menuju langit-langit yang tingginya mencapat 2 kali tinggi bangunan pada umumnya. Tatapan kelabunya berkilat-kilat tertimpa cahaya lampu hias dari kristal yang menggantung di atap yang cembung.
Kemudian Jared mulai berpikir. Sebenarnya dia tahu mengapa akhirnya dia menyetujui rencana sepihak ibunya. Bukan hanya karena ancaman implisit ayahnya yang menghadirikan sensasi aneh di tulang punggungnya, melainkan karena jauh di lubuk hatinya Jared juga ingin ibunya bertemu dengan Darcy. Adik perempuan yang sangat dirindukan oleh ibunya. Darcy adalah seorang astrofisikawan yang mengajar di Universitas Tromso di Norwegia. Sudah 4 tahun sejak terakhir kali Jared melihatnya. Well, mungkin Jared juga merindukan bibinya yang sangat mahir membuat parfait cokelat yang paling enak.
Jadi kesimpulannya Jared tidak keberatan jika liburan musim panas tahun ini akan menjadi lebih sejuk daripada tahun-tahun sebelumnya.
Tiba-tiba saja Jared terlonjak kaget dari kursinya ketika dia merasakan seseorang menarik-narik lengan bajunya. Jared menoleh ke samping lalu menemukan seorang anak perempuan berambut pirang keemasan tengah memegang erat-erat lengan kemeja putih yang dikenakannya.
“He.. Hey!” seru Jared.
“Apa kau sendirian saja?” tanya anak perempuan itu dengan suara pelan yang hampir tidak kedengaran akibat kebisingan yang mengelilingi mereka.
“Hmm…,” gumam Jared tidak yakin harus menjawab apa, “Well, iya, saat ini aku sedang sendirian,” katanya kemudian.
“Kenapa?” tanya anak perempuan itu lagi, “Kenapa kau bisa sendirian?”
Dengan tatapan yang menyimpit serta alis mata yang mengkerut, Jared mengamati anak perempuan itu. Usianya pasti tidak lebih tua dari 6 tahun. Pada awalnya Jared enggan menjawab pertanyaan anak perempuan itu. Namun setelah melihat kepedulian yang ditunjukan melalui pandangan matanya yang begitu cemerlang, tiba-tiba saja Jared merasa perlu untuk memberikan apapun yang diinginkan oleh anak perempuan itu. Well¸ sekalipun dia tidak akan mendapatkan apapun sebagai balasan.
“Lihat di sana,” kata Jared menunjuk ke lantai dansa dimana dia melihat orangtuanya tengah berputar-putar, “Mom dan Dad sedang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Aku ditinggalkan sendirian di sini.”
Jared bermaksud agar terdengar sinis namun anak perempuan itu malah mengasihaninya dengan memberikan senyuman simpatik. Jared yang menyaksikannya hanya termangu-mangu. Bingung dan tidak mengerti. Well, dia tidak pernah tahu anak kecil bisa bersimpati.
Karena dulu aku tidak seperti itu. Pikir Jared. Namun dia tidak begitu yakin karena dia tidak bisa mengingat seperti apa dirinya saat masih kecil dulu –itupun kalau sekarang dia sudah dewasa.
Jared kemudian merunduk untuk melepaskan genggaman anak perempuan itu dari kemeja putihnya yang sudah kusut. Ibunya pasti tidak akan suka ketika melihatnya nanti, “Nah, bagaimana denganmu adik kecil? Kelihatannya kau datang sendirian,” tanyanya setelah menyadari tidak ada orang lain bersama dengan anak perempuan itu.
Anak perempuan itu menarik tangan mungilnya dari Jared dengan ragu-ragu. Tiba-tiba saja sepasang mata kehijauannya melebar ketakutan sedangkan wajahnya yang cantik berubah menjadi pucat. Merasa bingung dan cemas, Jared mengikuti kemana anak perempuan itu memandang. Tepat ketika tatapannya melekat pada jendela kaca di depannya, kilatan petir yang bercabang-cabang keluar dari kegelapan langit menembus awan-awan yang tebal dan pekat lalu menyambar lautan yang bergejolak liar di bawahnya. Untuk sesaat langit menjadi sangat terang tapi bukan karena sinar rembulan melainkan karena kilatan petir yang datang susul menyusul. Jared memang tidak bisa mendengarkan suara bergemuruh di langit atlantik yang tengah mengamuk, namun dia bisa merasakan energi yang luar biasa mengerikan memancar dari kilatan petir yang membelah lautan.
Lagi, Jared terlonjak kaget ketika dia merasakan tangan mungil anak perempuan itu yang gemetaran menyentuh lengannya. Akhirnya Jared turun dari kursinya lalu berjongkok di hadapan anak perempuan itu untuk mensejajarkan tinggi badan mereka. Sebenarnya Jared tidak tahu apa gerangan yang akan dia lakukan terhadap anak perempuan itu. Namun dia tahu dia harus melakukan sesuatu segera sebelum anak perempuan itu meledak sankin ketakutan.
Akhirnya Jared menyentuh bahu anak perempuan itu yang tegang lalu menggumam pelan, “Hey, adik kecil.”
Namun anak perempuan itu tetap merunduk memandangi sepatu merah yang menjadi alas kakinya, menolak untuk melihat Jared.
Jared mengigit bibirnya tidak yakin harus bilang apa, “Emm... Apakah kau baik-baik saja?”
Pertanyaan bodoh! Sudah jelas anak perempuan itu tidak baik-baik saja! Hanya saja Jared tidak bisa menemukan kata-kata lain yang lebih masuk akal daripada itu.
Anak perempuan itu hanya diam saja. Barulah ketika Jared hendak mengatakan sesuatu akhirnya anak perempuan itu mengangkat kepalanya lalu menatap Jared dengan sepasang mata kehijauan yang bening dan rapuh seperti gelas kaca yang retak, “Aku takut,” ungkapnya.
Entah mengapa Jared malah merasa lega mendengarkan pengakuan anak perempuan itu. Well, setidaknya anak perempuan itu telah cukup berani untuk mengungkapkan ketakutannya kepada orang lain. Tidak seperti dirinya yang berlagak sok berani padahal ketakutan setengah mati. Jared menertawakan dirinya sendiri sekarang.
“Well, kau tidak usah takut. Dad bilang kapal pesiar ini sangat kuat. Seburuk apapun cuaca di samudera atlantik kapal ini akan tetap berdiri tegak,” Jared mengatakannya begitu saja tanpa peduli bahwa ayahnya tidak pernah berkata seperti itu. Saat ini dia hanya ingin menenangkan dirinya sendiri serta anak perempuan itu. Sekalipun dia harus berbohong.
“Benarkan?” tanya anak perempuan itu.
Jared mengangguk penuh keyakinan, “Benar,” jawabnya dengan senyuman, “Lagipula badai sudah berlalu,” katanya sembari melirik ke belakang melalui bahunya, “Woah! Sejak kapan langit menjadi begitu cerah?!”
Jared tercengang menyaksikan pemandangan yang terpampang di balik jendela kaca di depannya. Entah sihir macam apa yang telah digunakan namun keajaiban yang terjadi di luar sana benar-benar menakjubkan, membuatnya terperangah hingga kehilangan kata-kata guna menjelaskan seperti apa perasaannya.
Kegelapan langit yang menyelimuti samudera atlantik semalaman telah meleleh begitu saja menyisakan angkasa luar yang ditaburi oleh cahaya-cahaya serta warna-warna yang berputar-putar menciptakan efek kaleidoskopik yang sangat kompleks. Jared mengedipkan matanya sekali. Di luar sana, di atas sana, di kejauhan sana, di dalam kekekalan yang tidak pernah terjangkau, jutaan bintang dan galaksi mengalir dan bergabung membentuk nebula yang berpendaran dalam berbagai macam warna. Biru. Hijau. Merah. Orange. Putih.
“Cantik! Langitnya cantik sekali!” seru anak perempuan itu.
Saat itu barulah Jared menyadari bahwa wajahnya telah menempel begitu rapat pada permukaan jendela kaca. Jared yang terkejut mendapati posisinya telah jauh berubah, secara tidak sengaja menyentakan kepalanya ke depan hingga dahinya membentur jendela kaca yang ternyata sangat tebal, membuatnya mengerang kesakitan.
“AWW!”
Di sebelah Jared anak perempuan itu tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kemalangannya. Jared yang tidak senang hati melemparkan tatapan jengkel yang langsung menutup mulut anak perempuan itu. Namun setelah mendapatkan reaksi seperti itu Jared malah merasa bersalah.
“Hey, jangan memasang tampang seperti itu. Kau lebih cantik saat tertawa.”
Anak perempuan itu tampak sangat senang mendengar pengakuan Jared. Senyuman lebar langsung saja mengembang di wajah manisnya membuat pipi gemuknya terangkat dan menunjukan sepasang lesung pipit yang menggemaskan. Dan menyaksikannya langsung membuat Jared merasa lega
“Well, kau benar. Langitnya memang sangat cantik. Penuh dengan bintang-bintang,” komentar Jared kembali memandangi pemandangan langit di atas samudera atlantik yang secara ajaib telah berubah menjadi sangat cerah setelah badai yang mengerikan itu berlalu, “Ah, aku bahkan bisa melihat Pleiades!”
“Plei… Apa?” tanya anak perempuan itu sambil mencari-cari apa yang dimaksudkan oleh Jared.
Telapak tangan mungilnya serta hidungnya yang berbintik-bintik kini menempel pada permukaan jendela kaca yang mulai berembun. Jared membayangkan dirinya sendiri melakukan hal yang sama persis beberapa menit yang lalu. Entah apa gerangan yang dipikirkan oleh orang-orang yang melihatnya tadi. Yang jelas sekarang Jared tidak bisa mencegah munculnya senyuman geli melihat kelakuan anak perempuan itu.
“Pleiades itu merupakan gugusan bintang terbuka di konstelasi Taurus, lihat di sana,” Jared menunjukan kepada anak perempuan itu yang dengan antusias mengikutinya, “Gugusan bintang yang paling jelas dilihat dengan menggunakan mata telanjang dan salah satu yang berada paling dekat dengan bumi kita. Kau bisa melihatnya? Bintang-bintang berwarna biru yang sejajar dengan bintang berwarna putih cemerlang yang itu, itu adalah planet Jupiter. Dan di sebelah planet Jupiter adalah bintang Aldebaran, bintang yang paling terang di konstelasi Taurus.”
Anak perempuan itu berusaha mengikuti kemana saja jari telunjuk Jared mengarah sampai akhirnya dia berhasil menemukan apa yang Jared sebut sebagai fenomena yang biasa terjadi. Namun kali ini menjadi luar biasa karena anak perempuan itu baru pertama kali menyaksikannya.
“Aku melihatnya! Aku benar-benar bisa melihatnya!” pekik anak perempuan itu histeris mengundang perhatian orang-orang yang berkumpul di sekitar mereka.
Namun dengan santainya Jared menghiraukan begitu saja tatapan bertanya-tanya mereka maupun cibiran tidak suka mereka. Jared malah ikut bersorak-sorai bersama dengan anak perempuan itu, “Berarti kau sudah bisa melihat konstelasi Taurus?” tanyanya.
Anak perempuan itu menggambarkan sesuatu pada permukaan jendela kaca menggunakan jari telunjuknya sebelum bergumam, “Maksudmu… kerbau itu?”
“Tepat sekali!” jawab Jared sambil menyeringai bangga, “Sekarang lihatlah bintang-bintang yang membentuk sabuk itu?”
“Iya...”
“Itu adalah Orion! Orion sang pemburu yang berdiri di sebelah sungai Eridanus bersama dengan dua anjingnya Canis Mayor dan Canis Minor. Mereka sedang bertarung melawab Taurus sang kerbau!”
“Wah!”
Sebelum Jared sempat memikirkan apa gerangan yang sedang dia lakukan, dia sudah selesai membagikan seluruh pengetahuannya yang masih terbatas mengenai astronomi kepada seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang sangat pintar, cepat tanggap dan penuh keingintahuan. Untuk yang terakhir Jared sama sekali tidak bisa menyalahkan tabiat anak perempuan itu yang tidak mau berhenti bertanya. Melihatnya sekarang justru mengingatkan Jared pada dirinya dulu ketika berada di atap rumahnya bersama dengan Darcy serta teleskopnya yang super mahal itu. Saat itu Darcy masih tinggal bersama dengan Jared dan orangtuanya. Dialah orang yang menceritakan kepada Jared tentang bintang-bintang, galaksi-galaksi serta alam semesta. Sayangnya hanya sedikit dari cerita-cerita menakjubkan itu yang masih diingat oleh Jared. Well, sekarang barulah Jared menyadari bahwa dia sangat merindukan bibinya lebih daripada parfait cokelat buatannya.
“Darcy bisa menjawab semua pertanyaanmu,” ujar Jared ketika dia tidak mampu lagi menjawab pertanyaan anak perempuan itu, “Dia adalah adik perempuan Mom. Sekarang dia tinggal di Norwegia. Kami pergi ke sana untuk mengunjunginya.”
Anak perempuan itu tidak memberikan tanggapan apa-apa seolah-olah dia tidak tertarik sama sekali terhadap Darcy. Untuk beberapa saat kemudian dia hanya diam saja membuat Jared merasa tidak enak setelah terbiasa mendengarkannya berceloteh, bersorak-sorai serta tertawa.
“Hey, ada apa?” tanya Jared mulai khawatir.
Namun anak perempuan itu tidak menjawab. Wajahnya kini berpaling dari Jared yang berlutut di hadapannya. Tatapannya berkelana kemana-mana, ke setiap penjuru ruangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang berdansa di lantai dansa maupun orang-orang yang mengobrol di tempat duduk. Ketika Jared hendak bertanya lagi, anak perempuan itu tiba-tiba saja malah menangis membuat Jared kelimpungan setengah mati. Jared sama sekali tidak tahu bagaimana meredakan tangisan orang lain. Bahkan dia tidak pernah menyaksikan orang lain menangis di hadapannya! Akhirnya dia hanya diam saja, mematung seperti orang bodoh tanpa tahu harus berbuat apa.
“Mom...,” bisik anak perempuan itu di antara isakannya yang diam-diam menyayat-nyayat hati Jared.
Jared tidak mengerti mengapa. Namun dia merasakan sesak di dadanya menyaksikan mahluk mungil di hadapnnya tampak begitu lemah dan tidak berdaya.
“Mom dan Dad tidak ada di sini… dimana mereka? Kenapa mereka meninggalkanku sendirian? Aku ingin bersama dengan Mom dan Dad.”
Anak perempuan itu kemudian menatap Jared dengan sepasang mata kehijauan yang telah berubah menjadi kemerahan. Wajahnya agak sembab dengan air mata yang berlinangan membasahi pipinya. Jared merasakan nafasnya tersendat di ujung tenggorokan. Dia benar-benar tidak menyukai apa yang dilihatnya. Bagaimana bisa wajah yang begitu cantik terlihat begitu sedih?
Jared tidak sempat mempertimbangkan tindakan yang akan dia ambil. Namun dia sama sekali tidak ragu-ragu ketika membawa anak perempuan itu ke dalam pelukannya. Awalnya memang agak canggung namun berselang beberapa saat setelah anak perempuan itu menyesuaikan diri di dalam pelukannya, Jared yakin dia telah melakukan tindakan yang tepat.
“Sepertinya kau tersesat,” ungkap Jared sudah barang tentu.
Anak perempuan itu hanya mengangguk lemah. Jared yakin dia telah membasahi kemeja putih yang sangat dibangga-banggakan oleh ibunya itu. Tapi siapa peduli? Dari posisinya saat ini Jared bisa menyaksikan orangtuanya sedang asyik mengobrol dengan sekelompok orang yang tidak dikenalinya. Jared jadi bertanya-tanya apakah mereka ingat memiliki seorang anak? Lalu apakah anak perempuan itu juga mengalami hal yang sama dengannya?
Pada awalnya Jared ingin memanggil orangtuanya untuk menceritakan tentang anak perempuan itu. Tapi dia segera mengurungkan niatnya. Well, dia bisa melakukannya sendirian. Dia sama sekali tidak membutuhkan bantuan orangtuanya yang sibuk dengan urusan mereka sendiri.
Akhrinya tanpa keraguan sedikit pun Jared berikrar, “Baiklah. Aku akan mempertemukanmu dengan orangtuamu. Jangan takut.”
***
Jared ingat ayahnya pernah bilang seandainya dia tersesat dan tidak bisa menemukan jalan menuju kabin, maka Jared harus pergi ke Grand Lobby, ruangan utama yang berada tepat di tengah-tengah kapal pesiar ini yang terletak di dek ke-2. Di sana terdapat meja pelayanan tamu dengan para petugas yang berjaga akan membantunya menunjukan jalan. Dan sekarang ke sana lah Jared akan membawa anak perempuan itu.
Dengan bergandengan tangan mereka baru saja melewati restoran Britania tempat Jared dan orangtuanya makan malam sekitar 2 jam yang lalu. Ngomong-ngomong, anak perempuan itu memiliki tangan yang sangatlah kecil jika dibandingkan dengan tangan Jared yang lebih besar. Namun anehnya tangan kecil itu mampu memancarkan kehangatan yang membuat sekujur tubuh Jared yang awalnya tegang menjadi rileks. Jared jadi memikirkan tentang kehadiran anak perempuan itu yang sepertinya datang dengan membawa perubahan-perubahan yang aneh dan ajaib. Semenjak kemunculannya yang mendadak, tidak hanya langit yang tadinya mendung berubah menjadi cerah tapi juga Jared yang tadinya merana berubah menjadi gembira.
Aneh tapi natural. Well, entahlah. Pertemuan dengan orang-orang baru sebenarnya merupakan peristiwa yang biasa terjadi dalam kehidupan. Yang tidak biasa pertemuan Jared dengan anak perempuan itu telah membawa keanehan –atau lebih tepat disebut keajaiban. Well, apapun itu Jared harus mengakui bahwa dia senang bertemu dengan anak perempuan itu.
“Oh!” anak peremuan itu tiba-tiba saja bersuara, “Tadi kami ke sini!”
Sebelum Jared sempat protes, anak peremuan itu sudah menariknya.
“Art Gallery…,” gumam Jared membaca tulisan yang dicetak di dinding.
Jared mengikuti anak perempuan itu memasuki lorong panjang yang berlantaikan karpet bludru berwarna biru dengan aksen anyaman berwarna kuning keemasan yang membelah di tengah-tengahnya. Di sepanjang dinding kayu yang mengkilap di sebelah kirinya berjejeran dengan rapih sofa beserta mejanya. Sedangkan di sepanjang dinding di seberangnya menempel lukisan-lukisan kontemporer dan klasik yang terlihat sangat dramatis berkat sorotan lampu tempel di atasnya. Aroma thinner yang menusuk, menyeruak ketika Jared mencoba mendekati salah satu lukisan. Well, Jared tidak pernah suka aroma itu. Bahkan dia tidak suka mengunjungi galeri seni. Namun anak perempuan itu dengan energinya yang tidak pernah ada habisnya malah menuntun Jared semakin dalam memasuki lorong yang seolah-olah tidak pernah ada ujungnya.
“Kita mau kemana?” tanya Jared mulai jengkel.
“Tadi kami kesini. Mom suka melukis. Mom suka melihat lukisan-lukisan ini.”
Jared tidak lagi bertanya setelah itu. Dia tidak mau anak perempuan itu menangis lagi karena membicarakan ibunya yang entah berada dimana saat ini. Jared bertanya-tanya apakah ibunya sadar puterinya telah menghilang? Lalu orangtua macam apakah mereka yang membiarkan anak sekecil itu berkeliaran di tempat ramai yang mengapung di tengah-tengah samudera? Well¸ pertanyaan yang sama seharusnya diajukan juga kepada orangtua Jared, sekalipun dia menolak dibilang anak kecil!
“Wah apa itu?” tanya anak perempuan itu dengan suara penuh kekaguman yang terdengar familiar di telinga Jared.
Jared berhenti di depan sebuah patung tembaga yang disimpan di dalam kotak kaca yang tipis namun kokoh. Patung itu merupakan patung seorang ballerina muda setinggi 3 kaki. Dia mengenakan rok tutu berwarna kuning serta pita dari bahan tekstil yang membuat patung tembaga itu terlihat sangat aneh dan tidak biasa. Maksudnya siapa yang mengkombinasikan tembaga dengan bahan tekstil?
“Jelek sekali,” komentar Jared gamblang, “Orang seperti apa yang memahat patung seperti itu?”
Saat itulah tiba-tiba saja muncul seorang wanita seperempat baya berambut ikal kecokelatan yang terurai panjang sampai punggungnya, “Edgas Degar,” katanya dengan suara lembut yang berirama, “Little Dancer Aged Fourteen dibuat tahun 1881 oleh Edgas Degar.”
“Aku bisa membacanya sendiri,” sahut Jared.
“Hmm… jadi bagaimana pendapatmu tentang patung ini, nak?”
Selama beberapa saat Jared hanya menatap wanita itu yang memasang senyuman ramah di wajahnya yang cantik sebelum berpaling untuk mengamati patung aneh di hadapannya dengan ketidaktertarikan, “Dia tidak terlihat seperti patung. Dia terlihat seperti manekin dengan pita dan rok tutu,” ungkapnya terdengar bosan.
Wanita itu tertawa mendengarkan komentar sarkatis Jared, “Sebagian kritikus seni memang berpendapat seperti itu, nak,” ungkapnya dengan senyuman yang sama sekali tidak berubah sekalipun mendapatkan reaksi yang buruk dari Jared.
Namun Jared memilih untuk tidak menanggapinya. Saat ini dia sedang tidak ingin bersikap baik terhadap orang dewasa apalagi yang terlihat seperti ibunya. Akhirnya Jared memutuskan untuk menyeret anak perempuan itu keluar dari tempat ini sebelum moodnya memburuk. Sayangnya anak perempuan itu tidak merasakan hal yang sama dengan Jared.
“Mengapa dia mengangkat kepalanya seperti itu?” tanya anak perempuan itu penasaran.
Jared tidak menyukai keingintahuan yang ditunjukan oleh anak perempuan itu terhadap benda seni paling aneh yang pernah dia lihat. Namun Jared tidak kuasa menghiraukan pertanyaannya begitu saja. Akhirnya Jared mencoba untuk memeriksa patung itu terutama di bagian kepalanya yang terlihat agak terangkat karena penari itu mendongakan dagunya dengan angkuh. Well, penari itu memang terlihat angkuh! Dia memiliki bentuk wajah yang kaku dengan dahi yang surut serta hidung dan mulut yang menonjol. Dia menatap langsung kepada Jared yang berdiri di depannya. Sepasang matanya setengah tertutup seolah-olah dia memandang rendah orang-orang di sekitarnya. Well, sekali lihat saja Jared bisa membayangkan betapa menyebalkannya kepribadian penari itu jika dia benar-benar hidup.
“Dia anak nakal,” komentar Jared menjawab pertanyaan anak perempuan itu, “Dan sombong. Pokoknya dia bukan anak yang baik.”
Anak perempuan itu tampak keberatan dengan jawaban Jared, “Apakah benar begitu?” tanyanya kali ini kepada wanita itu yang ternyata belum beranjak dari posisinya.
Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dada sebelum menjawab pertanyaan anak perempuan itu dengan nada profesional seorang kurator museum, “Banyak interpretasi mengenai patung ini, nak. Namun semuanya tergantung dari siapa yang melihatnya. Beberapa fakta yang aku tahu, model patung ini adalah Marie Van Goetham, seorang penari muda di Paris Opera. Pose patung ini sebenarnya ingin menunjukan kualistas fisik yang baik yang dibutuhkan oleh seorang penari. Dan penari ini telah diberkahi oleh bakat alami yang dibutuhkan oleh seorang penari klasik.”
“Wah! Aku ingin seperti dia!” seru anak perempuan itu terkagum-kagum.
Jared memutar bola matanya dengan kesal. Entah mengapa dia merasa seperti dihianati!
Tiba-tiba saja wanita itu berjongkok di hadapan anak perempuan itu agar berada di level yang sama dengannya. Kedua tanganya kemudian mendarat di bahu anak perempuan itu lalu menekannya dengan lembut, “Gadis cantik, apakah kau mau menjadi seperti dia? Menjadi seorang penari yang hebat?” tanyanya.
Anak perempuan itu mengangguk tapi kemudian menggeleng membuat Jared bingung, “Tapi aku tidak bisa menari.”
Tawa wanita itu terdengar melodik ketika mendengarkan jawaban anak perempuan itu, “Makanya kau harus belajar,” katanya.
Anak perempuan itu mengangguk menyetujui ide itu. Namun tak lama kemudian seorang pria datang menghampiri mereka, “Hey! Hey!” dia memanggil-manggil wanita itu dengan ketidaksabaran, “Apa yang sedang kau lakukan di sini? Profesor sudah datang. Seminar akan segera dimulai.”
Wanita itu memandangi pria seperempat baya yang berlari menghampirinya dengan tidak suka. Well, entahlah, mungkin saja dia kesal karena percakapannya dengan anak perempuan itu jadi terganggu, “Tidak usah terlalu berisik, kau merusak ketentraman tempat ini,” komentarnya sinis lalu bangkit berdiri melepaskan anak perempuan itu dari pegangannya.
“Salahmu sendiri pergi tidak bilang-bilang,” sahut sang pria yang langsung saja menarik tangan wanita itu lalu membawanya pergi.
Wanita itu sempat memberikan senyuman kepada mereka sebelum menghilang keluar dari galeri seni. Dan Jared tidak bisa melewatkan tatapan terakhir yang diberikannya kepada anak perempuan itu yang telah kembali berada dalam genggamannya. Jared tidak yakin apa yang salah dari wanita itu. Namun sejak awal wanita itu muncul sampai akhirnya pergi, Jared tidak pernah menyukainya.
“Seharusnya kau tidak boleh bersikap terlalu ramah terhadap orang asing,” komentar Jared ketika mereka keluar dari galeri seni.
“Kenapa?”
Jared sama sekali tidak ragu-ragu ketika dia menjawab, “Karena bisa saja dia punya niat jahat.”
Saat itu Jared melupakan bahwa dia juga termasuk orang asing!
***
“Bersiap-siaplah sebentar lagi kau akan bertemu dengan orangtuamu,” kata Jared ketika mereka menuruni tangga spiral berkarpet merah menuju Grand Lobby di bawah.
Senyuman anak perempuan itu pun langsung merekah. Tidak lama lagi sampai anak perempuan itu bertemu dengan orangtuanya. Tidak lama lagi sampai mereka berdua berpisah. Jared kembali merunduk untuk melihat anak perempuan itu masih memandanginya dengan senyuman lebar yang memperlihatkan gigi-gignya. Sangat melegakan melihatnya tersenyum seperti itu setelah melihatnya menangis. Mereka baru saja mengenal tidak lebih dari satu jam yang lalu namun Jared merasa akan merindukan anak perempuan itu selamanya.
“Siapa namamu adik kecil?” tanya Jared ketika sadar bahwa selama ini dia belum tahu nama anak perempuan itu.
“Zoe,” jawab anak perempuan itu.
Tentu saja Jared tidak mengharapkan seorang anak kecil memperkenalkan diri dengan menyembutkan namanya secara lengkap.
“Jared,” katanya, “Panggil aku Jared.”
Zoe mengangguk antusias, “Jared!” serunya dengan suara riang khas anak-anak yang menggemaskan.
Jared tertawa mendengarkan Zoe memanggil-manggil namanya berkali-kali seolah-seolah ingin merasakan nama itu di mulutnya. Well, Jared tidak pernah tahu anak perempuan bisa begitu menggemaskan. Jared mulai berpikir mungkin memiliki seorang adik perempuan akan sangat menyenangkan. Well, sekarang dia punya kabar yang akan mengejutkan orangtuanya!
Namanya adalah Zoe Jane Foster, puteri dari pasangan Foster yang menempati kabin 4075 di dek ke-4. Itulah informasi yang Jared dapatkan dari petugas yang berjaga di meja pelayanan tamu.
“Kasihan sekali,” komentar seorang petugas berwajah sangar setelah mendengarkan cerita Jared.
Petugas itu kemudian menaruh perhatiannya kepada Zoe yang semakin menyusut di atas sofa biru yang didudukinya. Sekarang Zoe malah menyembunyikan wajahnya di balik lengan Jared.
Sejak kapan Zoe menjadi pemalu? Jared tidak tahu.
“Tenanglah, nak. Aku akan segera menemukan orangtuamu,” kata petugas itu dengan senyuman simpatik yang tidak terlalu cocok dengan rupanya yang sangar,
Well, mungkin Zoe ketakutan karena petugas itu terlihat sangat menyeramkan. Jared pun melingkarkan lengannya di sekitar bahu Zoe dengan protektif untuk memberikan rasa aman.
“Kalian berdua tunggu dulu di sini. Aku akan segera kembali dengan membawa orangtuannya.”
Jared mengangguk mengerti lalu petugas itu pun pergi meninggalkan mereka sendirian.
“Selama menunggu kau mau main tebak-tebakan?” tanya Jared.
Zoe mengangguk setuju.
“Dengar, aku tahu kau sangat pintar jadi kau harus menjawabnya dan aku tidak akan memberikanmu petunjuk.”
Zoe mengangguk tanpa protes. Entah karena dia tidak keberatan atau karena dia tidak mengerti. Namun melihat tatapan matanya yang begitu cemerlang, Jared pun segera menyiapakan tebakannya. Oh, Jared sangat ahli dalam hal ini.
Dengan suara yang lantang Jared melemparkan tebakan pertamanya, “Kau memberikanku makanan, aku akan hidup; kau memberikanku air, aku akan mati. Bisakah kau tebak siapa aku?”
Zoe berpikir sejenak. Matanya berkedip-kedip menimbang-nimbang jawaban yang mungkin muncul di benaknya, “Api…”
Jared menyeringai bangga, “Kau pintar!” serunya sambil menempuk-nepuk puncak kepala Zoe, “Nah, selanjutnya! Apa yang bisa kau tangkap tapi tidak bisa kau lempar?”
“Flu!”
Entah sudah berapa banyak tebakan yang Jared berikan kepada Zoe yang berhasil menjawab lebih dari setengahnya. Jared baru menghentikan permainannya ketika dia mendapati kepala Zoe telah berada di atas pangkuannya. Kedua tangannya yang mungil memeluk lutunya yang ditekuk di depan perutnya. Jared sama sekalitidak bergerak mendengarkan hembusan nafas Zoe yang pelan dan teratur.
“Kau tertidur,” gumam Jared tidak percaya ketika dia merunduk untuk melihat sepasang mata Zoe yang terpejam rapat.
Jared tidak bisa mencegah munculnya senyuman di wajahnya ketika melihat betapa damai wajah cantik Zoe yang tertidur pulas. Jared menganggap pemandangan sosok mungil di atas pangkuannya tidak kalah indah dengan langit malam bertaburan bintang di atas samudera Atlantik.
Lama waktu berselang Jared mulai merasakan betapa tubuhnya sangat kelelahan. Sekujur tubuhnya kaku dan pegal-pegal. Jared ingin bergerak untuk merentangkan kedua tanganya lebar-lebar namun dia tidak bisa karena tidak mau mengganggu Zoe.
“Kau benar-benar membuatku iri,” komentar Jared.
Melihat rekan kecilnya yang sudah lama terlelap membuat Jared tidak kuasa menahan kantuk. Posisi duduknya memang tidak terlalu nyaman, namun dia merasakan tubuhnya sangat kelalahan, “Petugas itu akan membangunkanku ketika datang,” gumamnya sebelum menutup mata lalu terlelap.
***
Suara-suara aneh mengganggu Jared dalam tidurnya. Benaknya yang sedang beristirahat total tidak mampu menebak suara-suara apa itu. Namun semakin lama suara-suara itu malah terdengar semakin keras. Memaksa Jared untuk segera membuka matanya. Sayangnya Jared sudah terlalu lelah. Dia benar-benar tidak kuasa membuka matanya untuk mengecek apapun itu yang telah mengeluarkan suara-suara aneh yang mengganggunya. Jadi Jared memutuskan untuk menghiraukannya saja.
Di antara kegelapan yang mengelilinginya, Jared menyaksikan kemunculan sosok yang perlahan-lahan meneranginya. Seperti cahaya lilin yang temaram dan lemah namun tetap menarangi dan membawa kehangatan. Seperti itulah sosok Zoe yang muncul di hadapannya dengan senyuman lebar yang menunjukan gigi-giginya. Lama Jared memandangi sosok anak perempuan itu. Terpesona oleh kepolosan yang menenangkan batinnya. Sampai akhirnya seluruh kegelapan lenyap lalu digantikan oleh kehijauan emerald tatapan Zoe. Jared mendengarkan Zoe membisikan sesuatu kepadanya. Suaranya selembut hembusan angin yang menghadirkan sensasi di tulang punggungnya.
“Aku ingin bersama dengan mereka Mom dan Dad.”
Ah, Jared ingat Zoe pernah mengatakannya. Tapi bukankah Zoe telah bertemu dengan orangtuanya?
Jared hendak menanyakan hal itu ketika dia melihat senyuman lebar di wajah Zoe tiba-tiba saja hilang digantikan oleh garis lurus di mulutnya yang sama sekali tidak menunjukan kebahagiaan. Jared merenung. Bingung dan tidak mengerti.
Kenapa?
Jared tidak bisa menemukan dimana suaranya ketika Zoe mulai menangis. Pada awalnya bahu kecilnya hanya bergetar sedikit saja lalu lama kelamaan sekujur tubuhnya berguncangan hebat disusul oleh jeritan yang menyayat-nyayat hati. Air mata mengalir deras dari sepasang mata kehijauan yang berubah menjadi kemerahan. Zoe merentangkan pergelangan tangan pendeknya mencoba untuk meraih Jared yang tetap bergeming.
Zoe!
Tidak bisa! Lidahnya terasa berat seperti timbal sedangkan tenggrokannya terasa kering seperti pasir. Jared tidak mampu mengeluarkan suara. Sekujur tubuhnya mati rasa dan lumpuh. Hanya matanya saja yang bergerak-gerak panik melototi sosok di hadapannya yang perlahan-perlahan menjauh lalu hilang sama sekali dari pandangannya.
Zoe!
“ZOE!”
Jared terjaga dari tidur panjangnya dengan sakit kepala yang membuatnya mengerang. Sepasang mata kelabu miliknya kembali terpejam rapat-rapat menerima nyeri yang luar biasa. Hanya ketika Jared teringat akan sosok anak perempuan dalam mimpnya, dia langsung membuka matanya lebar-lebar. Jared bangkit dari ranjang sempit tempatnya berbaring, menghiraukan nyeri di kepalannya yang hampir membuatnya jatuh kembali. Jarum infus yang menacap di pergelangan tangan kirinya hampir saja terlepas ketika Jared menarik tangannya untuk melindungi wajahnya dari sinar matahari yang menyilaukan. Belum sempat Jared menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya, seseorang tiba-tiba membawanya ke dalam pelukan kuat yang membuatnya tersedak.
“Mom…,” ucap Jared dengan suara yang lemah ketika menyadari pelukan siapa itu.
“Oh, sayang. Syukurlah kau sudah bangun!” seru ibunya sambil terisak.
“Mom kau membuatku sesak napas,” keluh Jared berusaha melepaskan diri dari pelukan ibunya.
Jared menghela nafas lega ketika akhirnya sang ibu melepaskannya. Di saat yang bersamaan Jared merasakan sakit di kepalannya mendadak hilang. Saat itulah Jared tersenyum sembari memandangi ibunya yang berusaha menghapus air mata di pipinya. Ibunya balas tersenyum ketika melihat Jared tersenyum.
“Zoe,” gumam Jared tiba-tiba, “Dimana anak itu?”
Mendengar pertanyaan anaknya, sang ibu terkesiap kaget. Lengannya yang tadi memeluk tubuh anaknya dengan begitu erat kini terkulai lemas di atas pangkuan kehilangan tenaganya. Wajahnya yang cantik rupawan berubah pucat kehilangan warnanya. Tatapan matanya yang terang dan hangat berubah menjadi gelap dan dingin kehilangan energinya. Namun Jared yang tidak sabaran dan ingin sekali mendapatkan jawaban, gagal menyadari perubahan kondisi ibunya.
“Mom tahu Zoe, anak yang tertidur di sampingku di Grand Lobby. Dia masih sangat kecil. Usianya pasti tidak lebih dari 6 tahun. Rambutnya pirang matanya hijau. Dia mengenakan gaun berwarna merah yang seragam dengan sepatunya,” tatapan Jared penuh harapan ketika dia bertanya, “Apakah Zoe sudah bertemu dengan orangtuanya?”
Sang ibu hanya diam saja selama Jared menjelaskan.
“Mom,” panggil Jared menyadari kebisuan ibunya, “Ada apa?”
Namun sang ibu malah memalingkan wajahnya dari Jared menuju jendela di sebelahnya. Sinar matahari langsung menimpa rambut kecokelatan miliknya yang tergerai berantakan, membuatnya menjadi kemerahan yang menyala-nyala seperti lidah api. Ada kalanya Jared merasa sangat bersyukur mewarisi rambut hitam legam milik ayahnya.
“Oh, apakah aku berada di dalam klinik kapal? Aku hampir berpikir kita sudah sampai di Tromso,” komentar Jared mengamati ruangan tempatnya berada.
Putih. Ruangan ini hanya berisi warna putih yang membuat Jared merasa tidak enak. Dinding putih, lantai putih, meja putih, kursi putih, tirai putih, vas bunga putih –setidaknya bunga di dalam vas itu tidak berwarna putih.
“Dari semua ruangan keren di dalam kapal pesiar ini. Ruangan ini adalah ruangan terakhir yang ingin kukunjungi,” komentar Jared sinis, “Tapi kenapa aku bisa berada di sini? Aku tidak ingat. Apakah aku pingsan semalam?” tanyanya lagi menghadap sang ibu.
Akan tetapi tidak ada sepatah katapun diucapkan oleh ibunya untuk menjawab pertanyaan beruntun yang dilontarkan oleh Jared. Baru ketika Jared hendak mengatakan sesuatu sang ibu akhirnya membuka mulutnya. Namun suara sang ibu sangatlah lemah hingga mengharuskan Jared untuk mempertajam indera pendengarannya yang agak tumpul akibat tidur panjangnya.
“Sayang, saat ini kau tidak sedang berada di dalam klinik di atas kapal pesiar ataupun di Tromso. Saat ini kau berada di rumah sakit di New York.”
Kening Jared mengkerut mendengarnya, “A.. Apa?”
Sang ibu menggelengkan kepalanya. Secara tidak langsung meminta Jared untuk tidak menginterupsi cukup mendengarkan saja. Kemudian sepasang mata karamel miliki ibunya menatap Jared dengan ketakutan dan kekhawatiran yang bercampur aduk menjadi kepanikan yang juga terdengar jelas dari suaranya yang bergetar, “Sayangku… kau sudah tidak sadarkan diri selama 3 hari. Malam itu kami menemukanmu tergeletak di atas lantai dengan darah mengalir dari kepalamu. Kondisimu… benar-benar mengkhawatirkan. Tapi kami berhasil membawamu ke rumah sakit tepat waktu dengan menggunakan helikopter. Kau tertolong sayang. Oh, Jared, kami sangat menyesal telah meninggalkanmu. Mom berjanji kejadian seperti itu tidak akan pernah terulang lagi. Mom -,”
“Apa yang sebenarnya sedang Mom katakan?” desak Jared tidak sabaran dengan suara yang terlalu keras dari yang dikehendakinya. Jared hampir saja melompat turun dari ranjang tempatnya duduk jika ibunya tidak mencegahnya dengan meletakan tangan di atas lututnya, “Apa maksudnya dengan aku tidak sadarkan diri selama 3 hari? Malam itu kalian menemukanku tergeletak dengan luka berdarah-darah di kepalaku? Helikopter yang membawaku ke New York? Lalu bagaimana dengan Zoe? Bukankah kita akan berli-,” Jared menghentikan serangan pertanyaannya setelah otaknya yang agak lamban berhasil memproses apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan ragu-ragu dia mengangkat tangannya untuk menyentuh perban yang melingkar di sekitar kepalanya yang masih terasa sakit. Seolah-olah kabut yang memenuhi benaknya mulai menghilang dan menunjukan ketakutan luar biasa yang menerjangnya dari segala penjuru. Dia ingat!
Pada akhinya suara yang keluar dari mulut Jared yang kering hanyalah hembusan separuh nafasnya, “Apa… yang … terjadi dengan ... Zoe?”
Sang ibu menarik nafas panjang yang amat menyesakan bagi orang yang mendengarknya sebelum menjawab, “Hilang… anak itu menghilang, sayang.”
Selama beberapa saat Jared hanya diam saja menatapi ibunya. Tatapan kelabunya bertanya-tanya. Sesaat kemudian dia menjatuhkan tangannya dari kepalanya lalu meletakannya di atas pangkuan. Dia menengok ke arah jendela dengan tirai tersibak yang langsung menunjukan pemandangan di luar sana. Tidak perlu waktu lama untuk Jared menyadari bahwa dia benar-benar tidak sedang berada di atas kapal pesiar yang mengapung di tengah samudera Atlantik. Karena di lautan tidak mungkin ada gedung-gedung pencakar langit dengan jendelanya yang berkilauan memantulkan sinar matahari.
Setelah Jared berhasil menemukan kembali suaranya, dia bertanya lagi hanya untuk memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar, “Apa maksudnya dia menghilang?” tanyanya menghadap sang ibu.
Kali ini suara ibunya terdengar kaku dan utuh. Benar-benar bulat seolah-olah ingin menegaskan bahwa apapun yang akan dikatakannya nanti adalah sebuah kenyataan bukanlah sebuah karangan yang absurd, “Malam itu terjadi kepanikan ketika kami mendapatkan kabar tentang peristiwa yang terjadi di lobi. Petugas berhasil mengumpulkan Mom dan Dad serta orangtua Zoe. Ketika kami sampai di tempat kejadian, kami menemukamu di sana sendirian… tanpa Zoe. Melihat kondisimu, mereka memastikan telah terjadi tindakan kekerasan.., dugaan penculikan. Apapun itu yang sebenarnya terjadi, sejak malam itu Zoe Jane Foster dilaporkan menghilang. Dan sampai hari ini tidak ada seorang pun yang tahu dimana keberadaannya,” kemudian sang ibu meraih telapak tangan Jared yang dingin dan gemetaran lalu menggenggamya dengan utuh. Dia ingin memastikan bahwa anaknya memperoleh kenyamanan dan kehangatan yang sangat dibutuhkannya saat ini, “Sayangku, Mom sangat menyesal atas apa yang telah terjadi.”
Ibunya menangis, namun Jared tidak bisa merasakan apa-apa selain rasa sakit yang luar biasa yang berasal dari kepalanya. Tidak lama kemudian, Jared kehilangan kesadarannya. Dia jatuh dengan kepala menimpa bantal lalu tenggelam ke dalam kegelapan dimana dia melihat Zoe Jane Foster tersenyum untuk terakhir kali kepadanya[.]
END - BAGIAN SATU
Komentar
Posting Komentar