"Adalah sebuah keajaiban ketika dua hati yang berbeda bisa memiliki perasaan yang sama,"
"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?" tanya Ai jengkel kepada sosok Ryu yang hanya diam mematung di hadapannya.
Ryu tidak tahu lagi apa gerangan yang akan dia katakan kepada gadis mungil berambut pendek yang sudah menjadi sahabatnya sejak, sejak mereka belum bisa membaca. Atau lebih tepatnya dia telah melupakan serangkaian kalimat nan romantis yang sudah dia siapkan jauh-jauh hari, untuk dikatakan kepada gadis di hadapannya.
Kalimat-kalimat itu hilang begitu saja dari kepalanya, ketika dia melihat sepasang bola mata cokelat yang meneduhkan itu. Tidak ada sepatah kata pun yang diingatnya. Dia benar-benar tidak bisa berpikir lagi.
"Baiklah Ryu," Ai menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan dramatis.
Ai menatap sahabatnya yang semakin lama kelakuannya semakin bertambah aneh. Namun ada sesuatu yang membuat Ai merasa tidak nyaman ketika menatapnya terlalu lama. Sesuatu yang membuat jantungnya seolah-olah mau copot.
Ai akhirnya memilih untuk menatap lantai tempatnya berpijak, menunggu sampai Ryu mengatakan apapun itu yang mau dia katakan. Namun karena Ryu belum juga menunjukan tanda-tanda akan melalukannya akhirnya Ai menyerah. Ayolah! Waktu tidak akan selamanya menunggu Ryu untuk berbicara .
"Jika tidak ada yang ingin kau katakan, aku akan kembali ke kelas," kata Ai.
Ryu hanya bisa menelan ludahnya mendengar perkataan Ai. Akhirnya Ryu merundukan kepalnya pasrah, mengijinkan Ai pergi meninggalnya.
Ai bingung dengan sikap Ryu, namun akhirnya dengan ragu-ragu Ai pun berbalik, meninggalkan Ryu.
" Maaf," gumam Ryu.
Ai kembali memutar badannya untuk melihat Ryu. Untuk beberapa saat Ai hanya diam, menatap Ryu dengan penuh tanda tanya. Sampai tiba-tiba Ai menyunggingkan senyuman manis yang sanggup membuat aliran waktu di sekeliling Ryu berhenti. Tubuhnya bergetar. Hatinya berdebar-debar.
Tanpa terasa Ryu pun menyunggingkan senyuman yang sama kepada Ai. Tanpa siapapun sadari, ternyata diam-diam Ai mengalami hal yang sama dengan Ryu. Wajahnya memerah melihat betapa manisnya senyuman Ryu. Ketika Ryu tersenyum, sepasang bola mata hijaunya bergerak mengikuti lengkungan di bibirnya.
"Ai," panggil Ryu, berhasil membawa Ai kembali dari senyuman Ryu ke koridor di depan perpustakaan.
Ketika Ai tersadar dari lamunanya, Ryu sudah berdiri begitu dekat di hadapannya. Tiba-tiba telapak tangan Ryu yang hangat menyentuh kening Ai yang berkeringat.
Ryu tahu apa yang dilakukannya hanya akan membuat keadaan menjadi semakin rumit. Tapi dia sangat mengkhawatirkan gadis yang amat disayanginya itu. Akhir-akhir ini Ryu sering melihat Ai melamun ketika berbicara dengannya. Ai tidak banyak berbicara dan sering kehilangan fokus . Saat ini wajahnya juga memerah seperti orang yang sedang terkena demam.
"Apa kau sakit? Keningmu panas," tanya Ryu menurunkan tangannya.
Tidak! Ai tahu betul bahwa dia sama sekali tidak sakit. Keningnya panas karena memang wajahnya panas, seolah-olah terbakar ketika Ryu menyentuhnya.
Ai menggelangkan kepalanya, lalu mundur beberapa langkah.
"Aku baik-baik saja. Jika tidak ada lagi yang ingin kau katakan aku akan kembali ke kelas," katanya.
Ryu kembali mematung. Dia sedang bergulat melawan kegugupan yang membuatnya tidak berdaya. Nalurinya berteriak bahwa dia harus mengatakan mengenai perasaannya kepada Ai saat ini juga. Tapi akal sehatnya menentangnya. Ryu berpikir, jika setelah Ai mendengar isi hatinya, lalu ternyata Ai tidak memiliki perasaan yang sama dengannya, apakah Ai akan menjauh darinya? Ryu lebih baik mati jika hal itu terjadi.
"Ryu, apa jangan-jangan kau yang sakit?" tanya Ai menatap Ryu dengan kedua alis matanya yang mengernyit.
"Apa?"
Ai mengerang frustasi, "Ayolah, Ryu. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku?" desak Ai yang masih menjaga jarak dari Ryu.
Sesaat Ryu mengamati suasana di sekelilingnya. Di sekitar koridor di depan perpustakaan tempat mereka berdiri saat ini, tidak banyak orang yang melintas. Mungkin karena bel tanda berakhirnya jam istirahat sudah berdering sejak 15 menit yang lalu. Well, akhirnya Ryu menyadari bahwa dia telah menahan Ai selama 15 menit. Tentu saja saat ini Ai merasa sangat jengkel. Lantas apa yang harus Ryu lakuan sekarang? Haruskah dia membiarkan Ai pergi ke kelasnya tanpa sempat mengungkapkan isi hatinya? Tidak! Tidak ada waktu lagi. Ryu tidak mau menyesal nantinya. Ryu tidak mau kehilangan Ai. Walaupun mungkin bukan kehilangan dalam arti sesungguhnya. Ryu tidak mau jika nanti dia harus melihat Ai bersama dengan orang lain. Ada rumor yang mengatakan bahwa ada seorang cowok yang sedang mendekati Ai. Tentu saja Ryu tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
Dengan mengepalkan tinjunya erat-erat di kedua sisi tubuhnya, Ryu memberanikan diri untuk melakukan apa yang seharusnya dia lakukan sejak 15 menit yang lalu.
“Aku,” gumam Ryu pelan nyaris tidak terdengar oleh Ai.
Ai menatap Ryu tidak sabar, “Apa?”
Ryu menarik nafas panjang sebelum melangkah mendekati Ai. Ryu berhenti sebelum tubuhnya menabrak Ai.
Ai mundur setengah langkah untuk menjaga jarak aman, “A.. Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya salah tingkah.
“Aku menyukaimu,” ungkap Ryu.
Ai menatap horor Ryu. Mulutnya yang terkatup rapat, tidak mampu berkata-kata.
Ryu menelan ludahnya, gugup, melihat reaksi Ai yang nampak ketakutan dari pada terkejut. Tapi Ryu memutuskan untuk mengatakannya sekali lagi.
“Aku menyukaimu Ai,” ungkap Ryu lebih tegas.
Ai hanya diam, berusaha untuk mengumpulkan nyawanya kembali. Jantungnya berdetak tidak karuan, membuat nafasnya menjadi sesak. Wajahnya panas, seolah-olah hendak meledak.
Kening Ryu mulai berkeringat melihat Ai yang belum juga bersuara. Pikirannya mulai melantur kemana-mana, membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi selanjutnya.
Akhirnya Ryu sampai pada titik dimana dia mulai menyesali perbuatannya.
“Ma.. maafkan aku. Aku-,”
“Untuk apa kau minta maaf,” gumam Ai memotong perkataan Ryu, “Aku juga menyukaimu,” katanya.
Ryu nyaris tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
“Apa? Apa yang barusan kau katakan?”
Ai menggigit bibir bawahnya sebelum memutar badannya untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat matang.
“Kubilang aku juga menyukaimu,” ungkap Ai lantang, sebelum melangkah meninggalkan Ryu yang masih membatu di tempatnya berdiri.
THE END
Komentar
Posting Komentar